Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Hendra
Hari terus beranjak, siang berganti senja, dan senja terus bertukar dengan kegelapan malam. Waktu yang tepat dan memang disediakan alam untuk mengistirahatkan tubuh dari segala aktivitas kehidupan.
Lita berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah menunggu. Setelah pertengkaran mereka, Zafran belum muncul di rumah itu. Perasaan cemas tersirat di wajahnya yang kuyu, bukan apa-apa. Ia hanya takut kehilangan semua setelah dengan susah payah mendapatkannya.
"Di mana, sih, Mas Zafran? Kenapa udah malem begini belum pulang juga. Awas kamu, Mas, kalo berani macem-macem di luar sana!" gumamnya sambil mengigit kuku.
Pandangannya tertuju pada pintu utama rumah, berharap laki-laki itu muncul dengan segera dan mengusir gelisah di hatinya. Namun, sampai jarum jam berhenti pada angka sepuluh pun, Zafran tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Lita membanting diri di sofa, kepalanya berdenging hebat. Ribuan tanya berseliweran dalam pikiran, berdesakan ingin dimuntahkan. Lidahnya berdecak berulangkali, kesal sekaligus gelisah. Sudah dua botol air ia habiskan sejak hari berganti malam.
Dari kamarnya Ibu hanya diam membiarkan meskipun melihat. Acuh tak acuh karena kepergian Zafran memang salahnya.
"Ngapain dia terus di situ, sih? Udah kayak satpam aja jagain maling. Aku mau ke dapur juga jadi segen. Dasar orang-orang serakah, gara-gara mereka jatahku dikurangi Zafran. Terpaksa harus hemat," cerocos Ibu sendirian sambil mengintip Lita yang samar terlihat dari balik pintu.
Ibu menimbang rasa, tapi cacing di perutnya tak bisa diajak kompromi. Mereka terus mengamuk di dalam sana, membuat perutnya terasa perih.
"Duh, laper lagi. Bodo, ah."
Wanita tua itu membuka pintu, memperbaiki sikapnya sebelum melenggang keluar melewati Lita. Ibu bahkan enggan berpaling padanya, terus menatap ke depan seolah-olah di sana tak ada orang.
Melihat Ibu, Lita gegas berdiri. Menjagal langkah wanita itu tanpa menutupi kecemasannya.
"Bu, Ibu tahu ke mana Mas Zafran? Kenapa, kok, udah malem begini belum pulang juga?" tanya Lita.
Ibu mendengus, memalingkan wajah dari menantunya itu sambil melipat kedua tangan di perut.
"Ibu nggak tahu ke mana Zafran? Seumur hidup dia nggak pernah marah kayak tadi, apalagi pergi dari rumah sampe malam begini. Minggir, Ibu mau lewat. Nyusahin aja jadi orang," ketus Ibu seraya berjalan sambil menyenggol bahu Lita agar menyingkir dari jalannya.
Semakin kesal Lita dibuatnya, ia melirik Ibu dengan kedua tangan yang dikepalkan. Mengancam lewat sorot mata yang memancarkan dendam.
"Awas aja kamu nenek sihir, aku akan buat perhitungan sama kamu nanti."
Lita mendengus, hidupnya benar-benar di ambang kehancuran sekarang. Semua telah berbalik melawan dirinya sendiri, sedangkan ia tak ada sokongan dari siapapun. Orang tuanya bahkan hanya tahu soal uang, tak mau tahu permasalahan yang sedang dihadapinya.
Ia kembali menjatuhkan diri di sofa, melirik jam yang terus berputar tanpa peduli padanya yang gelisah. Wanita hamil itu akhirnya beranjak meninggalkan ruang tengah, menaiki anak tangga menuju kamar. Merebahkan dirinya yang lelah di atas ranjang empuk. Biarlah dia lupa pada masalah untuk beberapa saat saja. Tidur, itulah yang dia inginkan sekarang.
Sementara Ibu mendatangi ruang makan, pembantu telah pulang sejak sore tadi. Setelah memasak untuk makan malam semua orang. Dibukanya tudung saji memeriksa setiap makanan.
Mata Ibu membelalak pada semua hidangan yang tersedia, semuanya hanya tersisa sedikit, dan hanya cukup untuknya sendiri.
"Kurang ajar. Menantu sialan! Ternyata kamu cuma pura-pura, diam-diam ngabisin semua makanan. Sebenarnya wanita kayak apa si Lita itu? Kok, beda banget sama Seira," gerutu Ibu sambil menyendok nasi ke atas piringnya.
"Kalo Zafran pulang nanti gimana? Mau makan apa anakku itu coba? Jadi istri, kok, nggak berguna. Nggak bisa masak, nggak bisa beres-beres, cuma bisanya ngabisin duit aja. Nggak tahu diri."
Ibu terus saja menggerutu sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Emosi yang hampir meledak membuat perutnya terus berbunyi nyaring. Beruntung, bunyi itu tidak sampai terdengar Lita. Jika tidak, sudah pasti dia akan menertawakannya.
Sementara Zafran, sejak kepergiannya dari rumah, dia mendatangi Hendra di rumahnya. Akan tetapi, dokter itu sudah hampir dua bulan tak pulang.
Sekarang, Zafran duduk di depan rumah sakit, menunggunya selesai bekerja. Dia sedang bertugas malam hari itu, jadilah tetap di rumah sakit. Lagipula, pasien-pasien selalu berdatangan dan tak pernah sepi.
"Masnya lagi nungguin siapa? Ini warung saya udah mau tutup, udah malem," tegur seorang laki-laki tua dengan rambutnya yang telah beruban.
Zafran linglung, tak tahu harus apa dan untuk apa sebenarnya dia ada di sana.
"Bapak tutup aja, tapi nggak apa-apa, kan, saya numpang duduk di sini? Saya lagi nunggu temen saya soalnya," ucap Zafran sambil memelas pada tukang warung itu.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Saya tinggal, ya. Maaf nggak bisa nemenin," ucapnya seraya menutup warung dan menguncinya.
Ia berpamitan pada Zafran, pergi dengan sepeda tuanya yang terlihat usang. Jadilah Zafran sendirian, berharap Hendra segera keluar. Sebenarnya ia sempat mendatangi ruangannya, tapi dokter muda itu menolak karena terlalu banyak pasien hari itu.
Warung depan rumah sakit, dari sana ia bisa melihat lalu-lalang manusia berseragam putih. Tempat itu selalu terlihat sibuk dan tak pernah sepi. Pantas saja Hendra menolak kedatanganya.
"Hendra?" Zafran tersentak disaat melihat orang yang ditunggunya muncul bersama seorang perempuan.
Gegas ia berdiri dan berlari masuk ke rumah sakit. Tak ingin tertinggal, matanya mengawasi Hendra yang membukakan pintu mobil untuk wanita itu dan menutupnya kembali setelah ia masuk.
Hendra berjalan memutar menuju kursi pengemudi, tapi dengan cepat Zafran mencekal tangannya.
"Tunggu, Hen! Aku mau ngomong sama kamu," sergah Zafran berhasil menghentikan Hendra yang hendak membuka pintu.
Dokter muda itu menoleh, menatap tak suka pada sahabat lama yang melupakannya. Ia urung membuka pintu dan bersandar pada badan mobil sambil melipat kedua tangan.
Wanita di dalam sana memiringkan kepala untuk melihat mereka. Dahinya berkerut, hatinya bertanya-tanya. Akan tetapi, ia hanya bisa diam dan menunggu. Tak ingin membuat kesal sang dokter yang pastinya akan berdampak pada hubungan mereka yang beberapa waktu lalu baru kembali hangat.
"Mau ngomong apa?" tanya Hendra sedikit ketus.
Hati Zafran berdenyut, setelah lama menunggu dan dokter itu seolah-olah tak suka dengan kehadirannya.
"Bukannya kemarin kamu mau ngomong sama aku soal Sei? Maaf, waktu itu aku emang lagi sibuk. Jadi, nggak ada waktu buat nemuin kamu," ungkap Zafran memulai bahasan.
"Terus sekarang kamu mau ngapain? Bukannya itu nggak penting buat kamu? Kenapa sekarang malah berubah? Kamu ada masalah sama perempuan itu?" Sederet pertanyaan dari dokter muda itu menohok hati Zafran.
Ia diam untuk beberapa saat lamanya, tapi tidak menyerah. Terus mendesak Hendra untuk mengatakan soal apa yang ingin dia bicarakan kemarin.
"Maaf, ya. Hari ini aku sibuk, kamu nggak liat perempuan di dalam? Aku mau antar dia pulang. Kalo kamu penasaran, cari tahu aja sendiri."
Hendra tak peduli, membuka pintu mobil dan terus melaju meninggalkan Zafran dengan seribu pertanyaan yang mengganjal di hati. Pandangnya nanar menatap mobil putih yang terus meninggalkannya itu. Dia sendirian sekarang, benar-benar sendirian.
"Argh!" Zafran menjerit, tubuhnya jatuh berdebam. Tak peduli gerimis turun menghantam bumi.