Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Turnamen Sepakbola Antar Kampus
Hari itu, aku berdiri di sisi lapangan dengan seragam sepak bola kampus, mencoba menenangkan diri sebelum pertandingan dimulai. Sebenarnya, aku tidak terlalu berambisi untuk ikut turnamen ini. Awalnya, aku hanya iseng bergabung dengan ekskul sepak bola karena ajakan Daniel. Namun, siapa sangka, mereka menilai aku cukup bagus bermain sebagai bek. Ketika tim kami kekurangan pemain bertahan untuk turnamen ini, Daniel dan teman-teman memaksaku untuk ikut, dan akhirnya aku setuju.
Tapi saat melihat tim lawan masuk ke lapangan, perasaanku langsung berubah. Di antara mereka, ada Rian, yang tak lain adalah musuh lamaku. Rian melihatku dan memberikan tatapan sinis. Aku tahu ini akan menjadi pertandingan yang tidak biasa.
Sebelum pertandingan dimulai, aku mendengar suara Dinda dari pinggir lapangan. “Mas, semangat, ya!” katanya dengan senyum khasnya, sambil melambaikan tangan. Aku membalas dengan anggukan.
Tidak jauh dari Dinda, aku juga melihat Monika bersama teman-temannya. Dia tampak memperhatikan dari kejauhan. Saat mata kami bertemu, dia tersenyum kecil. Ada sesuatu dalam senyum itu yang membuatku lebih semangat.
Wasit memanggil kedua tim untuk berjabat tangan sebelum pertandingan dimulai. Ketika giliran Rian menyalamiku, dia meremas tanganku dengan kuat sambil berbisik, “Hari ini habis kau.”
Aku hanya tersenyum, menahan diri untuk tidak terpancing.
Babak Pertama
Pertandingan dimulai dengan intens. Tim lawan langsung menyerang habis-habisan, dan Rian, sebagai striker utama mereka, sering menjadi ujung tombak. Namun, aku selalu berhasil membaca pergerakannya dan menggagalkan peluangnya.
Permainan Rian memang agresif, tapi emosinya yang meluap-luap membuatnya mudah ditebak. Berkali-kali aku berhasil merebut bola darinya, dan itu membuatnya semakin frustasi. Hingga peluit babak pertama berbunyi, Rian tidak berhasil mencetak satu gol pun.
Saat aku berjalan ke pinggir lapangan untuk istirahat, Dinda sudah menungguku dengan sebotol air minum. Dia menyerahkannya dengan cepat. “Mas, minum dulu,” katanya, tampak cemas melihatku kelelahan.
Ketika aku sedang minum, mataku tanpa sengaja bertemu dengan Monika. Dia tersenyum manis dari kejauhan. Senyum itu membuatku hampir tersedak.
“Pelan-pelan, Mas,” kata Dinda dengan nada khawatir.
Sementara itu, Monika tertawa kecil, seolah menikmati kejadian itu. Aku hanya bisa menghela napas, berusaha mengalihkan perhatian.
Babak Kedua
Pertandingan kembali dimulai, dan tensi semakin tinggi. Duel ku dengan Rian makin sering terjadi. Setiap kali dia mencoba mencetak gol, aku selalu berhasil menghalanginya.
Puncaknya terjadi ketika Rian menggiring bola dengan kecepatan tinggi. Aku melakukan tackel bersih yang membuat bola keluar lapangan. Rian terjatuh karena mencoba menghindar. Saat aku baru saja berdiri, tiba-tiba dia langsung memukul wajahku dengan keras.
Aku terjatuh, rasa sakit menyebar di wajahku. Situasi langsung memanas. Daniel dan teman-teman segera mengamankan Rian yang hendak memukulku lagi. Wasit meniup peluit panjang, menghentikan pertandingan yang berubah menjadi keributan.
Dari pinggir lapangan, Dinda dan Monika langsung berlari ke arahku. Mereka tampak panik melihat darah mengalir dari bibirku. Teman-temanku membawaku ke ruang pengobatan yang disediakan panitia.
Di ruangan itu, seorang dokter puskesmas segera merawat ku. Dinda dan Monika berdiri di dekat pintu, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.
Setelah selesai diobati, mereka mendekat hampir bersamaan.
“Bagaimana keadaan Mas?” tanya keduanya serempak.
Aku hanya tersenyum kecil meskipun masih menahan sakit. Namun, Dinda langsung menyela. “Ngapain sih kamu di sini? Udah pergi aja, biar Mas Alan sama aku aja.”
Monika tak mau kalah. “Terserah aku dong. Kenapa nggak kamu aja yang pergi?” jawabnya dengan nada tajam.
Aku mengangkat tangan, mencoba menghentikan pertengkaran mereka. “Udah, udah. Jangan berantem di sini. Aku perlu istirahat sebentar.”
Keduanya terdiam, meski masih saling melotot. Mereka akhirnya keluar dari ruangan, tapi sempat terdengar suara Dinda berkata, “Kalau Mas butuh sesuatu, panggil aku aja. Jangan panggil Monika.”
Monika membalas dengan nada kesal. “Ih, terserah Mas Alan mau panggil siapa.”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar mereka masih berdebat. Meski wajahku masih terasa sakit, entah kenapa aku tersenyum kecil. Hari ini memang penuh drama.
Setelah pertandingan selesai, aku sedang duduk di ruang perawatan, beristirahat setelah bibirku diobati. Rasa nyeri masih terasa, tapi tidak seberapa dibandingkan rasa penasaran tentang bagaimana hasil pertandingan. Aku belum sempat kembali ke lapangan ketika Daniel tiba-tiba masuk dengan wajah berseri-seri.
“Lan, kita menang!” katanya sambil menepuk bahuku.
Aku menatapnya, setengah tidak percaya. “Serius? Berapa skornya?”
“Skor 1-0,” jawab Daniel dengan senyum lebar. “Setelah lo ditarik keluar, kita semua main lebih semangat. Tim lawan jadi kacau banget gara-gara mereka harus main dengan 10 orang. Rian kan kena kartu merah habis mukul lo.”
Aku mengangguk, sedikit lega. “Pasti gara-gara emosi dia nggak bisa kontrol. Tim mereka jadi nggak fokus ya?”
“Bener banget,” lanjut Daniel. “Lini belakang mereka bolong banget setelah Rian keluar. Nah, di menit-menit akhir, si Rizky berhasil nyetak gol lewat tendangan jarak jauh. Kita langsung bertahan mati-matian sampai peluit panjang.”
Aku tersenyum kecil, meski bibirku yang bengkak membuatnya terasa sedikit perih. “Syukurlah kita menang. Berarti lo bakal traktir tim kan? Bukannya lo janji kalau kita menang, lo mau traktir semuanya?” godaku.
Daniel tertawa kecil. “Yaelah, baru menang sekali aja udah nagih traktiran. Tapi, boleh lah. Gue traktir, tapi lo bayarin es teh gue nanti, hahaha.”
Aku ikut tertawa kecil, meski harus menahan sakit. Mendengar cerita kemenangan ini membuat rasa nyeri di bibirku sedikit terlupakan. Meskipun aku tidak bisa menyelesaikan pertandingan, aku merasa bangga bisa berkontribusi untuk tim, terutama karena aku berhasil menghentikan Rian sepanjang babak pertama.
Namun, di balik rasa bangga itu, Aku merasa bahwa emosi Rian bukan hanya sekedar karena sepakbola. Tapi ini pasti ada hubungannya dengan Monika. Seperti saat dia dan taman-tamannya mengeroyokku pada saat itu.
Sambil termenung, aku berkata pada Daniel, “Thanks, Dan. Kalau bukan karena lo yang maksa gue ikut turnamen ini, gue nggak bakal ngerasain momen ini. Meskipun kena pukul, kayaknya tetep nggak nyesel.”
Daniel menepuk bahuku sekali lagi. “Santai, Lan. Lo bagian penting dari kemenangan ini. Rian nggak bakal lupa gimana lo bikin dia frustasi di lapangan.”
Aku hanya tersenyum tipis, merasakan rasa puas yang sulit dijelaskan. Hari itu menjadi salah satu momen tak terlupakan dalam hidupku.