(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 21
Livia keluar, dia menghubungi Anita untuk menanyakan kabar anaknya. Livia mendongak dan kedua netranya bertemu dengan netra elang pria yang sedang melihatnya. Pria itu menggunakan sebuah masker dan seorang pria juga menggunakan masker yang mengekorinya dari bepakang.
Dia menoleh namun dia kembali berbicara dengan Anita. Kennet menoleh, ia menghapus air matanya dan merasa bersalah.
"Bernad kamu tunggu di sini." Titah Kennet. Dia masuk dan melihat anaknya tidur, sebuah selang infus di tangan kirinya. Dia mendekat dan mencium kening Damian. "Maafkan ayah Sayang." Dia duduk di kursi di sampingnya sambil menatap hangat pada Damian.
Ingin sekali ia menunggu Damian sampai bangun namun ia tidak bisa berlama-lama, ia belum siap untuk bertemu dengan Livia. Ia merasa malu dan ia juga tidak tau bagaimana kelanjutan selanjutanya.
"Tuan, nyonya ..."
Ceklek
"Maaf anda siapa?" tanya Livia. Melihat seorang pria di depan pintu dia langsung masuk mengekori pria itu.
Bernad memejamkan kedua matanya. Ternyata Livia lebih cepat sebelum ia dan bosnya pergi.
"Saya salah tempat, ternyata bukan di sini. Maafkan saya mengganggu, saya salah ruangan." Kennet bergegas pergi.
Livia memandangi punggungnya yang terasa familiar. Dia melihat punggung itu dan mengingatkan pada Kennet. "Dia tidak mungkin berada di sini." Ia menghampiri Damian dan mengusap pucuk kepalanya. Besok ia harus menghubungi Alan bahwa ia tidak bisa bekerja.
Kennet membuka penutu hidungnya. Dia merasakan debaran aneh di dadanya. Ia merasakan dadanya semakin panas. "Livia." Ia ingin menemuinya tapi ia tidak tau harus mengatakan apa. Selama ini ia sudah membuat Livia menderita.
"Tuan, nyonya Kalisa menghubungi saya."
Kennet teringat Kalisa. Ia lupa jika mensilent ponselnya. "Angkat saja, katakan bahwa aku sudah tidur." Dia tidak ingin Kalisa khawatir. Entah bagaimana selanjutnya, haruskah ia katakan. Tetapi ia takut Kalisa tidak menerima anak-anaknya. Anehnya kenapa selama ini ia dan Kalisa tidak memiliki anak jika dengan Livia ia bisa memiliki anak.
"Bernad besok kita kembali ke Prancis. Aku ingin mengurus dokter itu."
Ingin sekali ia lebih lama di sini. Akan tetapi ia harus mengurus masalah dokter itu dulu. Namun sebelum pulang ia harus berbicara dengan Anita.
Keesokan harinya.
Setelah pulang berpamitan dan ikut sarapan di rumah Livia, Anita dan Erland pun pulang. Namun sampai di rumahnya mereka melihat Kennet yang membaringkan tubuhnya di sofa.
"Kennet kau belum pulang?" tanya Anita.
"Livia sudah pulang. Kami ikut sarapan bersama. Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan?"
Kennet teringat dengan wajah Caesar. "Bagaimana dengan anak itu?"
"Caesar? Dia terlihat biasa saja. Sepertinya kerasa kehidupan membuatnya bepikir dewasa." Ia bisa melihat bagaimana anak itu menyikapi seperti orang dewasa. "Selanjutanya kau ingin bagaimana? Apa kau mau menemui Livia atau kau ingin mengatakan semuanya pada Kalisa?"
"Aku tidak tau, aku sudah membawa Kalisa tapi aku ingin menebus kesalahan ku."
"Kau berpikir menebus kesalahan dengan menikahi Livia? Tidak Kenet jangan pernah memikirkan seperti itu." Entah bagaimana ruaknya rumah tangga mereka nanti. Livia juga tidak akan mau kembali. "Kau bisa menebus kesalahan mu tanpa menikah dengan Livia."
Ucapan Erland terasa tidak menyentuh hatinya. Hatinya berkata lain, entahlah ia bingung untuk memikirkannya saat ini.
"Aku tau, aku akan kembali ke paris. Aku titip anak-anak. Aku akan mentransfer uang ke rekening mu untuk mereka. Ajak mereka jalan-jalan dan penuhi kebutuhan mereka."
Erland menyetujuinya, ia hanya ingin jadi perantara saja. "Baiklah."
....
Caesar teringat dengan Kennet. Dia menatap ibunya. "Ma, apa Mama tidak pernah bertemu dengan Papa?" tanya Caesar.
Livia mengelus kepala Caesar. "Kenapa Sayang? Apa kamu merindukan Papa mu?" Sekalipun ia menjadi ayah dan ibu, tapi sejatinya ia tetap seorang ibu dan tidak mungkin menjadi ayahnya.
Caesar menggelengkan kepalanya. "Tidak Ma, aku hanya bertanya saja. Aku memiliki Mama sudah senang, aku bahagia jadi aku tidak butuh sosok Papa."
Charles, Killian dan Khanza turun bersama. Mereka akan ke rumah sakit karena ingin melihat keadaan Damian walaupun hanya sebentar.
"Ma kita sudah siap." Khanza tersenyum senang. Akhirnya ia melihat saudaranya.
"Iya ayo Sayang kita berangkat." Livia merasa ada sesuatu yang mengusik pikiran Caesar hingga anak itu menanyakan kembali ayahnya. Ia berharap Kennet tidak lagi mengganggunya. Anak-anaknya bisa tau siapa Kennet.
Sesampainya di rumah sakit, Alan sedang menyuapi Damian untuk sarapan. Livia senang anaknya tidak rewel karena ia harus berperan menjadi dua orang ibu di waktu yang bersamaan.
"Ma." Damian memanggil. Ia ingin di manja, ingin dekat ibunya itu.
"Iya Sayang. Alan biar aku saja." Livia mengambil mangkok bubur itu dan menyuapi Damian. "Ma tadi Damian merasa ada yang nyentuh dahi Damian."
"Menyentuh Sayang? Memangnya siapa?" tanya Livia. Dia tersenyum melihat wajah Damian yang tidak terlalu pucat lagi.
"Papa." Sahut Damian.
Livia tersenyum tipis. Tidak mungkin Kennet hadir dalam mimpinya sekali pun. "Sayang apa kamu masih merindukan Papa?"
"Damian, ada Om. Jujur saja Om cemburu kalau Damian selalu menanyakan Papa." Alan berpura-pura sedih. Sejujurnya ia memang sedih, anak-anak Livia masih berharap kehadiran ayahnya.
"Maaf Om, tapi rasanya tadi itu dahinya Damian dingin. Ada yang menyentuh. Terus Damian mendengar ada sebuah suara."
Alan mengelus pucuk kepala Damian. Wajar saja bagi seorang anak kecil di saat sakit memanggil ayahnya. "Sudah, Damian pasti paham sendiri."
Caesar menunduk, sebenarnya pria itu memang hadir. Tetapi ia tidak tau, pria itu hadir atau tidak di hadapan adiknya.
"Damian jangan mengingat Papa lagi. Kita tidak membutuhkannya," ucap Charles. "Dari dulu kita hidup tanpa Papa. Lihatlah kita sekarang, kita bisa tumbuh besar tanpa di dampingi oleh Papa."
"Benar Damian, kau harus sembuh. Aku tidak ingin berpisah dengan Mama setiap malam." Sanggah Khanza.
"Iya, aku akan cepat sembuh supaya kita bisa bermain lagi dan tidur bersama lagi."
Livia merasa terharu, putranya dan putrinya saling menjaga dan saling memahami. Ia berharap, suatu saat nanti tidak ada keretakan di antara mereka.
Ceklek
"Livia, Damian." Sapa Anita.
Dia dan Erland menjenguk Damian di rumah sakit karena Kennet juga memintanya untuk sesering mungkin. Apa lagi ia sudah kenal dengan Liviaz jadi tidak enak jika tidak menjenguk dan kasihan pada Livia jika tidak membantunya.
"Bagaimana keadaan Damian?" tanya Anita. Ia yakin Kennet pasti datang dan menemuinya. Pria itu pasti sedih melihat putranya sakit dan malah meninggalkan mereka karena urusan mendesak.
"Aku sudah sembuh Tante." Sahut Damian. "Aku akan secepatnya pulang." Imbuhnya. "O iya Tante, tadi aku merasakan kehadiran Papa."
Anita melunturkan senyumannya, dia menoleh ke arah Erland.