Chan Khotthot naa ... dilarang boom like.
Kenzie, seorang wanita berusia 27 tahun, sering mendapat olokan perawan tua. 'Jika aku tidak dapat menemukan lelaki kaya, maka aku akan menjadi jomblo hingga mendapatkan kriteriaku' Itulah yang dikatakannya. Namun, ibunya tidak tahan ketika para tetangga menghina anaknya yang tidak laku. Akhirnya memutuskan untuk membuat perjodohan dengan sahabat lamanya! Akankah Kenzie bersedia ataukah menolak perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShiZi_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memilih diam (11)
"Ternyata selain tuli kamu juga buta."
Sungguh Ardi tidak mengerti dengan yang dikatakan oleh Kenzie.
"Jika ingin marah, makanlah terlebih dulu untuk memenuhi energimu!" Seraya meletakkan kantong berwarna putih di atas meja. Lantas Ardi pun pergi, merasa tak ada gunanya jika terus bertengkar.
"Berhenti di situ!" teriak Kenzie karena ia butuh melampiaskan kekesalannya.
"Jangan membentakku, bukankah sedari awal sudah sepakat untuk tidak saling ikut campur urusan masing-masing."
Kalimat Ardi seketika membungkam mulut Kenzie, benar. Itulah kesepakatan ketika mereka usai menikah. Namun, sepertinya Kenzie jugalah yang melanggar peraturan itu.
"Bukankah aku yang membuat pilihan itu? Tetapi kenapa aku juga yang melanggar," batin Kenzie, hingga kepergian Ardi tidak disadarinya.
Memegang erat kantong berisikan foam, wajahnya setengah menahan kesal. Untuk pertama kalinya Ardi membuatnya tak berkutik selama dua bulan pernikahannya.
Tiba-tiba.
Suara guntur membuat Kenzie yang semula menikmati makanannya, tiba-tiba menutup kedua telinganya. Suara teriakan dari arah dapur, menjadikan Ardi buru-buru untuk melihat.
"Apa yang terjadi?" Itulah yang ada dipikirannya sekarang.
"Zie ...!"
Melihat Kenzie ketakutan, mau tak mau Ardi menghampirinya. Sedangkan wanita itu sendiri masih dengan tubuh gemetar.
"Zie, apa yang membuatmu takut?" tanya Ardi di samping Kenzie.
Lagi, suara guntur semakin membuat Kenzie histeris. Hingga tanpa sadar memeluk erat pinggang Ardi. Hujan pun akhirnya turun juga di gelapnya malam. Suasana sedikit menjadi tak biasa karena sikap penakut dari wanita tersebut masih enggan melepaskan kedua tangannya.
"Zie, aku tidak ke mana-mana. Baiknya lepaskan tanganmu," pinta Ardi.
Seakan Kenzie-lah yang tuli karena terus memeluk pinggang Ardi tanpa mengatakan satu kalimat sedikitpun.
"Zie, jika aku terus begini. Yang terjadi aku akan mati karena kesemutan!" Lagi ... Ardi mengungkapkan apa yang dirasakannya saat ini.
"Bawa aku ke kamar, jangan pergi dan tetap temani aku."
Ingin rasanya Ardi menolak, tetapi sebagai seorang lelaki ia juga masih memiliki nurani. Biar bagaimana pun, Kenzie adalah istrinya yang dinikahinya dua bulan lalu. Meski tanpa adanya cinta di hati masing-masing.
"Baik, aku akan membawamu."
Digendongnya wanita itu. Tak ada dendam sedikitpun yang terlihat di mata Ardi. Mungkin benar kata pepatah bahwa kita ... harus berdamai dengan rasa sakit itu. Hingga suatu hari nanti akan berubah menjadi setitik kebahagiaan.
"Tidurlah, aku akan merokok sebentar." Kata Ardi.
"Jangan pergi," tahan Kenzie yang mana langsung melepas kedua alat pendengar dari telinga Ardi, dan saat itulah ada sebuah perasaan berbeda tengah memenuhi hatinya saat ini.
"Tidurlah."
Hujan begitu deras, jika dua insan saling membutuhkan sebuah kehangatan, tetapi tidak untuk dua orang yang kini saling membelakangi.
"Bahkan aku sendiri tidak mengerti dengan isi hatiku sendiri," batin Kenzie yang kini tengah berkecamuk.
Menjadi seseorang yang jahat bukanlah keinginannya. Namun, dibalik sikapnya yang arogan ada alasan di mana terbentuknya sifat itu sendiri.
"Aku membencinya, tapi kenapa hatiku juga sakit ketika seseorang tidak menginginkannya."
Entah Ardi sudah tertidur atau belum, tetapi kali ini Kenzie merasa bahwa sudah mempermalukan dirinya sendiri.
Pagi hari, ketika Kenzie terbangun. Dilihatnya arah samping, tetapi Ardi sudah tidak ada di tempat. "Mungkinkah lelaki itu sudah berangkat." Dalam hati Kenzie bertanya-tanya.
"Sudahlah, lebih baik aku segera bangun."
Sejenak Kenzie mendekat ke jendela, menatap tetesan air sisa semalam. "Baiklah, mari kita pulang karena aku sudah merindukan ibu."
Kenzie pun segera bersiap-siap karena ingin menemui bu Leiha dan pertemuan mereka terakhir kali, ketika di mana hari pernikahan diadakan.
Di bengkel.
Seperti biasa, Deva membawakan makanan untuk Ardi.
"Makanlah selagi hangat."
Ardi mengangguk, dan menerima bungkusan dari Deva.
"Sampai kapan kamu akan bertahan dengan keadaan seperti ini?" tanya Deva.
"Aku tidak tahu." Jawab Ardi singkat.
"Jika kamu terus menerus menyakiti dirimu sendiri dengan cara seperti ini, haruskah aku mendukungku juga!" ucap Deva lagi.
"Aku tidak tahu-."
Brak!
Sebuah gebrakan membuat Ardi sedikit terkejut. Pasalnya, selama ini dirinya tidak pernah melihat sahabatnya semarah itu. Namun, apa yang dilakukannya sekarang? Tidak, tidak ada yang bisa diperbuat selain memilih diam dan mengalah.
"Aku ... Deva–peduli denganmu, tapi pernahkan kamu mendengarkan nasehatku dan mengutamakan harga dirimu Ardi! Pernahkah otak gilamu itu memikirkan masa depanmu nanti seperti apa jika terus begini, katakan Ardi, katakan!"
Murkanya Deva tak terkendali lagi. Mungkin jika kalimat halus tidak dihiraukan dan kemarahan akhirnya meledak.
"Maaf." Hanya itu yang dikatakan oleh Ardi.
"Mudahnya mulutmu meminta maaf, di sini aku yang selalu ada buatmu. Selalu menemanimu, tidakkah sedikit saja menghargai perjuanganku padamu."
Ardi benar-benar dibuat mati kutu, tak ada yang bisa dikatakan. Semuanya benar jika Deva-lah sosok sahabat satu-satunya dimilikinya sekarang.
"Ar, jangan membuang waktumu hanya untuk seorang wanita yang tak pernah menghargaimu," imbuh Deva lagi.
"Sudahlah, aku minta maaf karena kata-kataku."
Ardi pun menggeleng kecil dan mengangguk, bahwa tak ada yang perlu diperdebatkan kali. Mungkin benar jika dirinya sebagai seorang lelaki pengecut.
"Dev, aku ingin ke makam." Kata Ardi dengan tiba-tiba mengajak Deva ke makam.
"Makanlah dulu, setelah itu kita pergi!" tukas Deva.
"Aku kenyang, sekarang ajak aku pergi."
Jika sudah begini Deva pun tak berani menolak. Ia tahu jika kedatangannya ke makam untuk mengeluarkan sesuatu di hatinya. Membagi beban yang selalu menumpuk hingga tidak tahu cara membuangnya.
"Kamu bukan anak kecil yang harus aku suapi, kamu boleh menjadi dirimu sendiri. Namun, setidaknya jangan terlalu naif."
"Ar, maaf jika emosiku meledak. Aku hanya tidak ingin kamu menjadi lelaki yang selalu mengalah, dulu dengan keluargamu dan sekarang istrimu." Deva menatap Ardi yang kini sedang makan. Rasa sayangnya pada Ardi mengalahkan sebuah persahabatan, karena ia menganggap bukan sebatas itu, tetapi sebagai adik.
Sedangkan Kenzie sendiri kini sudah berada di tempat di mana dirinya terlahir.
"Zie, ada apa?" tanya bu Leiha.
"Bu, kenapa kedatanganku ke sini seakan-akan menggiring opini yang tidak-tidak pada Ibu!" Kenzie pun decak pinggang, merasa jika ibunya tidak menginginkannya lagi.
Apa benar jika pernikahannya itu memang direncanakan untuk membuang Kenzie?
Apa betul, jika bu Leiha memang tidak ingin putrinya datang?
Semua itu kini ada di dalam pikiran Kenzie, semenjak dirinya menikah. Ada perubahan banyak di diri sang ibu. Entah apa yang membuatnya seperti sekarang ini, bahkan Kenzie belum mendapatkan jawabannya.
"Ibu hanya bertanya, memangnya ada yang salah." Jawab bu Leiha.
"Namun, pertanyaan Ibu seakan tidak ingin aku datang ke sini!" balas Kenzie dengan nada sedikit tinggi.
"Suamimu tidak ikut?"
Sungguh, Kenzie benar-benar ingin marah pada ibunya. Pada kenyataannya dialah anaknya, tetapi justru orang lain yang dipertanyakan.
semangatt..
jgn lamalama Up nyaa...