Di tahun terakhir mereka sebagai siswa kelas 3 SMA, Karin dan Arga dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka sering bertengkar, tidak pernah sepakat dalam apapun. Namun, semua berubah di sebuah pesta ulang tahun teman mereka.
Dalam suasana pesta yang hingar-bingar, keduanya terjebak dalam momen yang tidak terduga. Alkohol yang mengalir bebas membuat mereka kehilangan kendali, hingga tanpa sengaja bertemu di toilet dan melakukan sebuah kesalahan besar—sebuah malam yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Setelah malam itu, mereka mencoba melupakan dan menganggapnya sebagai kejadian sekali yang tidak berarti. Namun, hidup tidak semudah itu. Beberapa minggu kemudian, Karin mendapati dirinya hamil. Dalam sekejap, dunia mereka runtuh.
Tak hanya harus menghadapi kenyataan besar ini, mereka juga harus memikirkan bagaimana menghadapinya di tengah sekolah, teman-teman, keluarga, dan masa depan yang seakan hancur.
Apakah mereka akan saling menyalahkan? Atau bisakah kesalahan ini menjadi awal dari sesuatu yang tidak terduga? Novel ini mengisahkan tentang penyesalan, tanggung jawab, dan bagaimana satu malam dapat mengubah seluruh hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardianna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Tau
Setelah beberapa saat di ruang kesehatan, Karin akhirnya mulai sadar.
Matanya perlahan terbuka, dan ia melihat sekeliling, dengan rasa lemas di tubuhnya. Arga, yang duduk di samping tempat tidurnya, langsung berdiri ketika melihat Karin sadar.
Arga: penuh kekhawatiran "Karin”
Karin: suara pelan "Gue... Gue pusing, Arga. Gue mau pulang."
Petugas kesehatan mendekat dan memeriksa kondisi Karin lagi.
Petugas Kesehatan: "Sepertinya kamu hanya kelelahan. Tapi kalau masih merasa pusing, lebih baik istirahat di rumah. Kamu bisa pulang sekarang, tapi pastikan untuk istirahat yang cukup dan minum banyak air, ya."
Karin: mengangguk lemah "Makasih, Bu."
Arga: memandang petugas kesehatan "Saya antar dia pulang, Bu. Dia nggak bisa pulang sendirian dalam kondisi kayak gini."
Petugas Kesehatan: "Baik, jaga dia baik-baik, ya."
Setelah itu, Arga membantu Karin berdiri perlahan dan menuntunnya keluar dari ruang kesehatan. Beberapa teman mereka, seperti Revi, Intan, dan bela, memandang dari jauh dengan rasa khawatir.
Intan: berbisik ke Revi "Kasihan banget, karin, pasti kecapean gara-gara liburan kemaren”
Revi: "Iya, semoga karin nggak apa-apa."
Sambil berjalan menuju parkiran, Arga terus menggenggam tangan Karin dengan lembut, mencoba menenangkannya.
Arga: "Karin, lo yakin mau langsung pulang? Kalau mau istirahat dulu di sini nggak apa-apa, kok."
Karin: lemah "Nggak, Arga... Gue cuma pengen istirahat di rumah. Gue capek banget."
Arga: mengangguk "Oke.“
Mereka pun tiba di motor Arga. Dengan hati-hati, Arga memasangkan helm pada Karin, lalu naik ke motornya. Setelah Karin duduk dengan nyaman, Arga mulai melaju pelan menuju rumah Karin.
Sepanjang perjalanan, Karin diam saja, menatap jalanan yang seakan terasa lebih panjang dari biasanya.
Pikirannya penuh dengan rasa takut dan khawatir tentang kejadian malam itu. Dia terus bertanya-tanya apakah itu penyebab ia merasa lemas dan pusing akhir-akhir ini.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di depan rumah Karin. Arga membantu Karin turun dari motor dan memastikan dia berdiri dengan stabil.
Arga: dengan suara pelan "Lo bisa jalan sendiri ke dalam? Atau mau gue temenin masuk?"
Karin: menggeleng pelan "Nggak usah, Arga. Gue bisa sendiri. Makasih udah nganter gue."
Arga: sedikit ragu "Karin, lo jangan mikir yang aneh-aneh, ya. Gue tahu lo kepikiran, tapi semuanya bakal baik-baik aja. Kalau ada apa-apa, bilang gue. Oke?"
Karin: mengangguk lemah "Iya, Arga. Gue bakal istirahat sekarang."
Arga hanya bisa melihat Karin masuk ke rumahnya dengan perasaan bersalah yang makin dalam. Dalam hati, dia tahu betapa berat beban yang Karin rasakan.
Ketika Karin membuka pintu rumahnya, aroma masakan langsung menyambutnya. Di dapur, terlihat Ibu Salma, ibunya, sedang sibuk memasak.
Suara sutil yang menghantam wajan terdengar jelas di antara keheningan rumah. Ibu Salma mendengar pintu terbuka dan menoleh dengan wajah terkejut.
Ibu Salma: dengan nada khawatir "Karin? Kok udah pulang? Ini kan belum waktunya pulang sekolah. Kamu kenapa?"
Karin merasa lemas dan masih sedikit pusing, tapi ia mencoba bersikap tenang. Dengan suara pelan, dia menjawab.
Karin: "Aku sakit, mah.Kayaknya aku kecapean.”
Mendengar itu, ekspresi Ibu Salma berubah dari khawatir menjadi kesal. Dia segera mematikan kompor dan berjalan mendekati Karin.
Ibu Salma: dengan nada tegas "kecapean? Udah tahu sekarang kamu kelas 3, dan pelajaran penting. Kamu mau ketinggalan pelajaran dan susah masuk kedokteran nanti?"
Karin yang awalnya merasa lelah dan butuh istirahat, sekarang merasa lebih terbebani dengan perkataan ibunya. Dia diam saja, menunduk sambil mendengarkan.
Karin: berbisik lemah "Aku capek,mah..."
Ibu Salma: menyilangkan tangan di dada "Capek? Semua orang juga capek, Karin. Tapi kamu harus bisa atur waktu, jangan gampang nyerah gitu aja. Mangkanya gausah kamu libur-liburan jadi ganggu kamu belajar kan! Kamu pikir kalo nanti ketinggalan pelajaran, gimana kamu bisa ngejar cita-cita jadi dokter?.”
Karin hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai menggenang di matanya. Dia tahu ibunya peduli, tapi saat ini, yang dia inginkan hanyalah istirahat.
Badannya terasa semakin lemah, dan pikirannya penuh dengan kecemasan yang tidak bisa dia ceritakan.
Karin: suara hampir tak terdengar "Maaf, ma… aku ke kamar dulu ya."
Tanpa menunggu jawaban, Karin bergegas menuju kamarnya, menutup pintu pelan-pelan, dan langsung berbaring di tempat tidur.
Matanya terasa berat, tapi pikirannya terus berputar. Kata-kata ibunya terngiang-ngiang di telinganya, sementara ingatan tentang malam itu terus menghantuinya.
Karin duduk di pojok kamarnya, menarik lututnya hingga menempel di dadanya, sementara air mata tak henti-hentinya mengalir dari sudut matanya.
Pikirannya tak bisa lepas dari malam itu, malam yang menghantui dirinya dengan rasa penyesalan yang begitu dalam.
Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang semakin keras, namun akhirnya tangis itu meledak tanpa bisa ia bendung lagi.
Karin: dalam hati, penuh rasa jijik pada dirinya sendiri “Kenapa gue bisa sebodoh itu? Kenapa gue bisa sampai kayak gitu sama Arga?”
Tangisannya semakin keras, tubuhnya bergetar karena emosi yang tak bisa dia tahan lagi. Dia merasa kotor, penuh dosa, dan yang paling membuatnya hancur, dia tak bisa menghapus malam itu dari pikirannya.
Setiap detik mengingat kejadian itu membuatnya merasa semakin jijik pada dirinya sendiri. Tangan Karin gemetar saat dia menyeka air matanya, tapi percuma, tangisannya terus mengalir.
Karin: menatap bayangan dirinya di cermin, penuh rasa benci "Gue jijik sama diri gue sendiri... gue udah ngerusak semuanya."
Dia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan perasaan yang semakin menghimpit.
Pikiran tentang apa yang mungkin terjadi, tentang kemungkinan dirinya hamil, membuat rasa takut itu berubah menjadi kepanikan.
Karin: berbisik pelan, dengan suara parau "Gimana kalau gue hamil? Gue nggak siap... gue nggak bisa..."
Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha meredam isakannya.
Namun, rasa bersalah dan rasa takut itu terlalu kuat. Dia merasa sendirian.
Karin: dalam hati, dengan putus asa "Kenapa gue harus ngalamin ini? Gue cuma mau semuanya balik kayak dulu lagi..."
Di antara tangisannya, Karin merasakan dorongan kuat untuk mengakhiri semua ini. Tapi di sudut hatinya, ada rasa takut yang lain, takut kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hidupnya, meski sekarang semuanya terasa terlalu sulit.
Dia meringkuk lebih erat di sudut kamar, berharap rasa sakit di hatinya perlahan bisa mereda, meskipun tahu bahwa luka ini mungkin akan terus membekas.
Di tempat lain, Arga berjalan masuk ke sebuah toko buku dengan langkah yang agak gugup. Kepalanya penuh dengan rasa bersalah dan cemas setelah kejadian malam itu bersama Karin. Hatinya berdebar kencang setiap kali dia memikirkan kemungkinan Karin hamil.
Dia berdiri sejenak di depan rak buku yang penuh dengan berbagai buku kesehatan, mengamati judul-judul yang terpajang.
Tangannya sedikit gemetar saat dia meraih salah satu buku tentang kehamilan. Dia menunduk, mencoba membaca halaman demi halaman sambil berpura-pura tenang, padahal pikirannya berantakan.
Arga: berbisik pada dirinya sendiri "Gue harus tau... apa ciri-ciri orang hamil."
Bersambung….