Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 : Menuju Rumah Arya
Raisha dan Arya terus mencari drone yang baru saja ditembak jatuh. Mereka menyusuri gang-gang sempit di sekitar pertokoan dan rumah-rumah warga, mencoba menemukan tempat di mana benda itu jatuh. Langkah kaki mereka terdengar samar di antara hiruk-pikuk kota yang entah kenapa berangsur-angsur sepi.
Raisha berhenti di atas sebuah benteng pendek, matanya tajam mengawasi sekeliling. “Arya, apa kamu melihatnya?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari area di depan.
Arya, yang berada di bawah, menggeleng. "Tidak," jawabnya dengan napas sedikit tertahan. Pikiran Arya masih berkutat pada kejadian sebelumnya, saat Raisha menembak drone itu dengan presisi luar biasa. Satu tembakan yang sempurna, dari balik jaket hoodie pink-nya. Arya tak menyangka gadis berpenampilan lugu ini memiliki keterampilan semacam itu. Jelas sekarang, penampilan Raisha hanya penyamaran.
Tiba-tiba, Arya melihat sesuatu yang membuatnya tersentak. "Ada! Di sana! Lihat!" teriaknya sambil menunjuk ke arah atas.
Raisha mengikuti arah pandangan Arya dan melihat drone itu tersangkut di kabel listrik yang melintang di atas gang sempit. Tanpa ragu, Raisha segera melompat turun dari atas benteng itu.
Raisha mendekati beranda rumah terdekat, meminjam tongkat panjang yang tergantung di sana. Dengan gerakan lincah, Raisha melompat ke sebuah tembok rendah, kemudian naik ke loteng rumah lain dengan menggunakan teknik parkour yang begitu mulus, seakan-akan sudah dilatih bertahun-tahun.
Arya hanya bisa melongo melihatnya. Baru saja ia terkejut dengan tembakan akurat Raisha, kini gadis itu kembali menunjukkan keterampilannya yang lain. Raisha memanjat ke balkon loteng dengan mudah, bergerak gesit di antara dinding-dinding sempit tanpa sedikit pun kesulitan.
Dari balkon loteng rumah itu, Raisha mengulurkan tongkat panjangnya ke arah drone yang tersangkut. Ia menggerakkan tongkat dengan hati-hati, memastikan agar drone tidak jatuh terlalu keras. Setelah beberapa detik yang penuh konsentrasi, drone itu pun terlepas dan jatuh ke jalan gang dengan suara bruk yang pelan.
Tanpa menunggu perintah Arya segera memungut drone itu. Raisha turun mendekati Arya. Namun, sebelum mereka bisa memeriksa drone tersebut lebih lanjut, Raisha mendadak membeku. Dari sudut matanya, ia melihat titik hitam bergerak cepat di langit.
"Sembunyi!" serunya dengan cepat, nadanya tegas dan mendesak.
Arya langsung patuh. Keduanya bersembunyi di balik tembok, menyelinap di balik bayangan bangunan yang lebih besar. Raisha menarik Arya lebih dalam ke kegelapan saat suara dengungan lain terdengar semakin mendekat.
Drone susulan tiba-tiba muncul. Bergerak perlahan, tampak seolah-olah sedang mencari sesuatu.
Arya dan Raisha menahan napas, mendengarkan dengungan drone yang semakin mendekat, memindai sekitar. Detik-detik terasa sangat lambat, sampai akhirnya drone itu terbang menjauh, melesat ke arah yang lebih jauh, meninggalkan mereka di dalam keheningan.
Raisha perlahan mengintip dari balik persembunyiannya. “Aman,” katanya pelan, kemudian berdiri dan mendekati Arya yang masih tampak gugup.
"Sudah pergi?" tanya Arya, suaranya masih sedikit bergetar.
Raisha mengangguk. “Sudah. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum drone itu kembali.”
Tanpa banyak bicara lagi, Raisha segera memimpin Arya menuju jalan raya. Langkah mereka cepat, tapi penuh kewaspadaan.
Begitu mereka tiba di pinggir jalan yang ramai oleh kendaraan-kendaraan terparkir, Raisha mengeluarkan ponselnya, mengetikkan beberapa perintah di layar dengan jari-jarinya yang cekatan. Hanya dalam beberapa detik, sebuah mobil hitam muncul dari kejauhan dan berhenti tepat di depan mereka.
Arya melihatnya, ia masih tak bisa menyembunyikan kekagumannya, “Dia datang sendiri lagi?” tanyanya, masih terengah-engah, sambil terus memegang drone yang tampak terkoyak bagian tengahnya.
Raisha hanya meliriknya singkat, lalu menjawab dengan suara tenang. “Seperti tadi. Aku mengendalikannya dari sini.”
Mereka segera masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan cepat. Arya duduk di kursi penumpang dengan napas yang masih belum stabil, tangannya memegangi drone. Sementara Raisha, duduk di kursi pengemudi. Tampak tepi jaket hoodie pinknya bolong bekas peluru, dan sedikit bau hangus merebak dalam mobil.
Raisha segera menekan beberapa tombol di dashboard untuk memastikan keamanan mereka.
"Raisha, siapa mereka?" tanya Arya, suaranya rendah, penuh kebingungan dan rasa penasaran. Tapi Raisha tidak langsung menjawab. Gadis itu hanya memfokuskan matanya ke jalan di depan, sementara mobil mulai bergerak perlahan di antara lalu lintas.
“Aku tidak tahu!” jawab Raisha, akhirnya.
Arya menatap Raisha yang kemudian sibuk dengan layar hologram di dashboard mobil. Arya masih terguncang setelah melihat drone misterius susulan tadi, namun ketegangan di dadanya belum sepenuhnya hilang.
"Raisha," akhirnya Arya kembali berkata, "Ke mana kita sekarang?"
Raisha tak langsung menjawab. Pandangannya tetap fokus pada hologram yang berkedip di depannya. Setelah beberapa detik, Raisha berkata pelan, “Bagaimana kalau ke NIMBIS?”
“Tidak!” Arya langsung menyergah dengan nada tegas.
Raisha mengerti, Arya belum siap berurusan dengan NIMBIS. Raisha melirik sekilas ke arah Arya sebelum menundukkan pandangannya lagi pada layar. "Kalau begitu, kita ke rumahmu. Cepat sebutkan alamatnya."
Arya membuka mulut, hendak menyebut alamatnya, tetapi sebelum ia sempat berkata, Raisha segera memprogram komputer mobilnya dengan cepat. Mobil mereka melaju dengan kecepatan yang stabil, mengarungi jalanan kota terdengar semakin sepi, meski kendaraan terparkir di mana-mana.
Begitu Arya menyebutkan alamatnya, sistem mobil segera merespons. "Alamat tercatat," suara otomatis dari komputer terdengar. Peta digital segera tertampil di layar hologram di depan mereka, menunjukkan rute menuju rumah Arya. “Bawa kami segera ke sana,” perintah Raisha tanpa ragu.
Mobil merespons dengan sinyal kecil yang terpancar di layar, dan tanpa jeda, kendaraan itu mulai bergerak lebih cepat, menuju tujuan yang dituju. Dalam keheningan yang mendadak itu, Arya merasakan ketegangan yang semakin meningkat.
Raisha duduk diam untuk beberapa saat sebelum membuka data lain di komputer hologram. Setelah melakukan serangkaian operasi, sebuah gambar terpampang di hadapan mereka: foto mayat dengan mata terbelalak. Di dada mayat itu terdapat cap fluoresen yang menyala dalam kegelapan, bertuliskan:
Dr. Brain
"Kamu lihat ini?" Raisha menatap Arya serius. "Ini mayat yang ditemukan dengan tulisan Dr. Brain di dadanya. Inilah mengapa aku diutus. Pertama, untuk melindungimu dari kemungkinan kejahatan Dr. Brain, karena mereka mengincar orang-orang jenius.
“Dr. Brain? Dia… mengincar orang-orang jenius? Jadi… kasus-kasus kematian yang terjadi di berita kriminal baru-baru ini, ulah Dr. Brain?”
“Kami yakin begitu! Tetapi yang ada di berita hanya sebagian kecil. Sebenarnya kasus kematian ini masih terus berlangsung, bahkan hingga saat ini,” jelas Raisha. “Dan… kedua, aku diutus untuk meminta bantuanmu memecahkan kasus ini."
Arya menatap foto mayat itu dengan perasaan mual yang semakin membuncah. "Memecahkan kasus ini?" suaranya sedikit gemetar.
Raisha mengangguk. "Ya. Aku rasa tulisan Dr. Brain di tubuh korban, seperti yang dikatakan pihak intelejen, tampaknya merupakan sebuah julukan yang mengacu pada seorang pelaku. Kita harus segera menemukan pelaku itu dan segera menangkapnya."
Arya hanya terbelalak memandang foto mayat di layar hologram. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi pemandangan mengerikan itu membuatnya hampir kehilangan kendali. Perutnya terasa mual, dan pikirannya berputar-putar mencoba mencerna semua informasi.
“Menurut hasil autopsi,” lanjut Raisha, “korban-korban ini bukan hanya memiliki tulisan Dr. Brain di tubuh mereka. Volume otak mereka juga mengecil. Entah apa yang dilakukan pelaku terhadap para korban, dan apa tujuannya.”
Arya menelan ludah, masih berusaha memproses semua yang baru saja dia dengar. Keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat, sementara mobil terus melaju.
Arya terdiam lama, tenggelam dalam pikirannya. Namun, tiba-tiba ia bicara dengan suara yang sedikit parau, “Apa mungkin tujuannya... seperti simulasi tadi?”
“Simulasi?” Raisha menoleh ke arahnya, keningnya berkerut penuh tanya.
“Di acara Car Free Day tadi. Dan… lihat sekeliling kita,” Arya melirik keluar jendela dengan tatapan heran. “Tak satu pun mobil bergerak. Dan orang-orang… mereka tampak mematung di pinggir jalan.”
Raisha menahan napas sejenak, baru menyadari apa yang dikatakan Arya. Mobil-mobil itu bukan terparkir, lebih tepatnya berhenti dari perjalanan.
Hanya mobil mereka yang bergerak. Di sekitar mereka, jalanan kosong dan orang-orang yang berdiri di tepi jalan tampak membeku, seperti manekin yang kehilangan nyawanya.
Raisha terdiam beberapa saat, menahan keterkejutannya. “Mungkin…” jawabnya, suaranya terdengar bergetar.
Arya mendesah berat, mencoba memahami apa yang terjadi. “Sebuah pengendalian masal…” katanya sambil memandang keluar jendela, suaranya penuh keterkejutan. “Untuk apa pelaku melakukan kegilaan ini? Dan... kenapa hanya kita yang tidak terpengaruh?”
Raisha menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku juga tidak tahu," jawabnya jujur. Matanya kembali fokus ke jalan di depan, seolah berusaha menemukan jawaban yang lebih jelas.
Keheningan kembali mengisi suasana di dalam mobil. Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak ada satu pun dari mereka yang tahu apa yang sedang terjadi, atau bagaimana bisa mereka bebas dari pengaruh aneh yang membuat hampir seluruh kota terdiam.
Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana di kawasan perumahan yang tenang. "Itu rumahku," kata Arya dengan suara lemah.
Raisha memarkir mobil di halaman dengan cekatan. Ketika mesin mobil dimatikan, keheningan di luar terasa semakin menekan. Mereka turun dari mobil, melangkah menuju pintu depan rumah Arya tanpa banyak bicara, masing-masing masih tenggelam dalam kebingungan dan ketegangan yang belum terjawab.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!