Dilarang Boom Like!!!
Tolong baca bab nya satu-persatu tanpa dilompat ya, mohon kerja sama nya 🙏
Cerita ini berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga yang terlihat sempurna ternyata menyimpan rahasia yang memilukan, merasa beruntung memiliki suami seperti Rafael seorang pengusaha sukses dan seorang anak perempuan, kini Stella harus menelan pil pahit atas perselingkuhan Rafael dengan sahabatnya.
Tapi bagaimanapun juga sepintar apapun kau menyimpan bangkai pasti akan tercium juga kebusukannya 'kan?
Akankah cinta segitiga itu berjalan dengan baik ataukah akan ada cinta lain setelahnya?
Temukan jawaban nya hanya di Noveltoon.
(Please yang gak suka cerita ini langsung Skipp aja! Jangan ninggalin komen yang menyakitkan. Jangan buka bab kalau nggak mau baca Krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertian nya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bilqies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENDUA 26
🍁Masih di Hotel🍁
Malam itu, suasana di dalam hotel masih begitu hening, meski di luar jendela, suara gemericik air hujan sesekali terdengar. Stella berdiri dengan kaki gemetar berusaha kuat menopang tubuhnya supaya tidak tumbang. Wajahnya pucat pasi, tatapan matanya kosong, dan bibirnya terkatup rapat, seolah mencoba menahan segala sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Baru beberapa saat yang lalu, dia memergoki suaminya, Rafael, tengah bercumbu mesra dengan Angel, perempuan yang bahkan sudah dia anggap sahabat. Itu adalah pengkhianatan terbesar yang pernah dia alami.
Setelah satu detik yang terasa seperti selamanya. Dengan langkah cepat, Stella keluar dari kamar Rafael. Dia tak mampu lagi menatap wajah suaminya, tak ingin lagi mendengar alasan apa pun yang mungkin akan keluar dari mulut Rafael. Tanpa memperdulikan kekacauan yang baru saja terjadi, Stella menutup pintu kamar dengan keras.
Kakinya melangkah cepat menuju pintu kamar sebelah, yang tak jauh dari kamar Rafael, tempat dia seharusnya merasa aman bersama anak dan ibunya. Pintu kamar terbuka dengan suara pelan, dan Stella segera masuk ke dalam.
Setibanya di kamar, Stella tidak langsung masuk, melainkan berhenti sejenak di depan pintu. Suara nafasnya berat, tubuhnya gemetar, namun dia berusaha menenangkan diri. Jangan sampai sang buah hati dan Mama nya terbangun, pikirnya. Tapi, kekesalan itu terlalu besar untuk ditahan. Dengan hati yang penuh luka, Stella langsung berjalan menuju kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, tubuhnya langsung lunglai, dan dia menumpahkan semua amarahnya. di dalam ruangan itu hanya ada dirinya dan dinding kamar mandi yang seolah menjadi saksi bisu dari penderitaan yang sedang dia rasakan.
Di dalam kamar mandi, air mata Stella jatuh seperti hujan yang tak bisa lagi di bendung,
Stella meremas wajahnya dengan kedua tangan. Dia berteriak pelan, mencoba untuk mengeluarkan semua perasaan yang sudah terpendam begitu lama di benaknya. Amarah, kekecewaan, perasaan dikhianati, semuanya bercampur menjadi satu.
Setiap detik yang dia habiskan di sana seperti menggoreskan luka baru di hatinya. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa sahabatnya, yang selalu ada di sampingnya, bisa melakukan hal seperti itu? Mengapa Rafael, suami yang sudah bertahun-tahun dia cintai, bisa tega berkhianat begitu saja di belakang punggungnya?
Suara isakan tangisannya bergema di dalam kamar mandi. Air mata mengalir deras, disertai isakan yang tak bisa dia tahan lagi. Setiap kenangan manis tentang Rafael, setiap janji yang pernah dia percayakan, kini berubah menjadi kebohongan.
"Kenapa kamu lakukan ini padaku ... apa salahku, Mas?" Gumamnya, wajahnya tertunduk, menempel pada tangan yang menutupi mulutnya.
Setelah beberapa lama, Stella mengangkat kepalanya, Stella masih duduk terdiam di lantai kamar mandi. Perasaan kosong dan hampa menguasai dirinya. Tidak ada yang bisa mengembalikan apa yang sudah hilang. Dia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini.
Waktu terasa terhenti, entah berapa lama dia duduk di sana, berusaha mengatur nafas dan meredakan gemuruh yang ada di dadanya. Namun, tetap saja, luka itu terlalu dalam.
Dengan nafas berat akhirnya Stella beranjak berjalan menuju cermin yang ada di dalam sana. Melihat dirinya di dalam pantulan cermin, terlihat begitu jelas wajahnya yang memerah dan penuh dengan air mata. Sontak dia mengusap wajahnya, seolah ingin membersihkan semua rasa sakit itu, tetapi itu tak akan pernah cukup.
Dengan langkah pelan, Stella keluar dari kamar mandi.
Namun, saat pintu kamar mandi terbuka, sebuah suara lembut terdengar di indra pendengarnya. "Stella?" suara Mama Elena, ibunya, memanggilnya dengan nada pelan.
Stella terkejut, seolah baru tersadar bahwa Mama Elena sudah terbangun.
Mama Elena mendapati sang anak keluar dari kamar mandi dengan mata yang sembab.
"Menangis lah jika itu membuatmu lega." Ucapan Elena pelan tetapi sangat menyentuh untuk di dengar Stella.
Tanpa berkata apa pun, Stella langsung berjalan menuju tempat tidur, di mana Mama Elena duduk dengan setengah terbangun.
Bruk
Dalam sekejap, tubuhnya terjatuh ke dalam pelukan ibunya, seolah tak ada tempat yang lebih aman selain dalam dekapan ibu yang selalu penuh kasih.
Semua perasaan yang selama ini tertahan akhirnya tumpah begitu saja.
Air mata Stella mengalir deras, dia menangis seolah tak ada habisnya, sementara Mama Elena hanya duduk memeluknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mama Elena tahu bahwa kata-kata tak akan cukup untuk menenangkan hati Stella. Yang dia butuhkan hanyalah hadir di sisi putrinya, menjadi pendengar terbaik dan tempat untuk menumpahkan segala kesedihan.
"Mengapa ini terjadi pada Stella, Ma?" Lirihnya yang menangis dalam pelukan sang Mama.
"Mama ... Rafael ... dia ... dia selingkuh dengan Angel. Aku melihatnya, Mama. Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana lagi." Bisiknya, tubuhnya terisak di pelukan Mama Elena. Suara Stella terpotong-potong, masih tak bisa mengontrol tangisannya.
Mama Elena memeluknya lebih erat, membiarkan putrinya menangis sepuasnya. Meskipun terkejut mendengar pengakuan itu, Mama Elena tidak berkata apa-apa. Dia tahu, terkadang yang dibutuhkan seorang anak adalah seorang pendengar yang baik. Sebagai ibu, dia tahu betul bahwa waktu dan kata-kata bisa menyembuhkan luka, tetapi lebih dari itu, kehadirannya sekarang adalah yang dibutuhkan Stella.
"Apa pun yang terjadi, Mama ada di sini. Mama selalu ada untukmu, Stella. Jangan pernah merasa sendirian." Ujar Mama Elena mengelus rambut Stella dengan lembut, suara tenangnya berusaha memberi kekuatan pada putrinya yang tengah rapuh.
Tapi ada satu hal yang tak Stella ketahui.
Di luar kesedihannya, di balik ketenangan ibunya, Mama Elena sedang merencanakan sesuatu. Dia sudah lama merasa ada yang tidak beres dengan pernikahan Stella dan Rafael. Dia tahu betul bagaimana karakter menantunya itu terlalu sempurna di luar, namun ternyata penuh rahasia gelap. Kini, setelah mendengar semuanya, Mama Elena tak akan tinggal diam.
'Rafael, kamu sudah menyakiti putriku cukup lama. Sekarang saatnya kamu merasakan akibatnya.'
Bisik Mama Elena dalam hati, matanya yang semula penuh kelembutan kini menyiratkan tekad yang kuat.
Tanpa diketahui Stella, ibunya sudah menyusun strategi untuk melindunginya, untuk membela kebahagiaan putrinya. Tidak peduli siapa yang harus dihadapi, tidak peduli seberapa besar kedudukan atau pengaruh yang dimiliki Rafael, bagi Mama Elena, kebahagiaan dan keselamatan Stella serta cucunya adalah yang terpenting. Dan kini, Mama Elena siap untuk memberi perhitungan pada menantunya yang telah berani menyakiti hati putrinya.
Dia akan memastikan, Rafael akan membayar harga dari setiap air mata yang jatuh malam itu.
🍁🍁🍁
Sementara di tempat lain ....
Malam itu terasa sangat berat bagi Rafael. Setelah kejadian yang mengejutkan, dia tahu bahwa hidupnya kini berada di ujung jurang. Di dalam kamar hotel yang sepi, dia masih bisa mendengar suara Stella yang berteriak marah, kalimat-kalimat yang penuh dengan kecemasan dan kekecewaan, serta suasana gaduh yang mengiris hati. Stella baru saja memergokinya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa Rafael dan Angel, sahabat dekatnya, begitu mesra di dalam kamar hotel itu.
Pada saat Rafael ingin melangkah keluar tiba-tiba langkahnya terhenti.
"Jangan pergi, Rafael." Angel menarik tangan besar Rafael.
"Aku harus menjelaskan ini pada Stella. Aku harus memperbaiki semuanya." Rafael menggertakkan giginya menatap tajam pada Angel yang berusaha menahannya.
"Tidak! Kamu tidak boleh keluar sebelum kita bicara." Ucap Angel menggenggam erat tangan besar Rafael seolah dia tidak ingin Rafael pergi mengejar Stella.
Rafael menatap Angel tajam, hatinya kacau dia hanya ingin melarikan diri dari kenyataan, tapi Angel di depannya seakan menjadi tembok yang sulit ditembus. Angel menarik nafas dalam-dalam, kemudian bicara dengan suara yang agak bergetar.
"Aku ... aku hamil, Rafael."
Ada jeda sejenak. Rafael mengerjap, otaknya seakan berhenti berfungsi sejenak, mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut Angel. Matanya melebar, tidak percaya.
"Apa! H-hamil?" Ucapnya sambil terbata Rafael tersentak kaget dengan apa yang dia dengar, dia menatap tak percaya pada wanita yang ada di hadapannya kini.
"Iya, Rafael. Ini ... anakmu." Balas Angel mengangguk.
Rafael terdiam, seakan semua dunia berhenti berputar. Kata-kata Angel menggantung di udara, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dia ingin berteriak, ingin menyangkal, tapi hanya keheningan yang mengisi ruang antara mereka. Tak ada yang bisa dia katakan untuk beberapa detik yang panjang itu.
"Itu ... tidak mungkin. Ini gila, Angel. Kamu cuma ... kamu cuma ingin menahanku agar tidak pergi menemui Stella, kan?" Rafael memegangi kepalanya yang terasa pening mendengar fakta yang baru saja dia dengar.
Angel menggigit bibirnya mencoba menahan air mata, berusaha mengungkap fakta yang selama ini dia sembunyikan dari Rafael pacar virtualnya.
"Tidak, Rafael. Aku bukan orang yang bisa berbohong tentang hal ini. Aku tahu kamu mungkin tidak mau mendengarnya, tapi ini fakta yang harus kamu hadapi. Aku ... aku hamil anakmu."
Rafael mundur beberapa langkah, hampir tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja dia dengar. Kejutan itu seperti tamparan keras yang membuatnya kebingungan, antara rasa bersalah yang sangat besar terhadap Stella dan perasaan yang begitu rumit tentang Angel.
"Ini ... ini tidak mungkin. Aku sudah pernah bilang padamu bukan, aku tidak ingin memiliki anak darimu. Dan aku sudah memberikanmu pil kontrasepsi untuk kamu minum, tapi kenapa sekarang kamu berkata seperti itu." Kata Rafael dengan nada rendah mengingatkan kembali pada Angel atas ucapan yang selama ini dia katakan.
"Kamu tidak ingat malam itu, Rafael? Pada saat aku menemanimu keluar kota pertama kali, kamu sangat bergairah begitu menginginkanku, dan akhirnya kita melakukannya tanpa aku meminum butiran bulat itu terlebih dulu." Terang Angel berusaha mengingatkan Rafael pada kejadian di malam panas itu.
"Aku tidak tahu bagaimana, tapi kenyataannya aku hamil. Ini adalah anakmu, Rafael. Jangan pernah kamu lari dari kenyataan!" Sambungnya dengan penekanan di akhir kalimat.
Rafael terpaku, wajahnya memerah. Kepalanya dipenuhi oleh segala macam pertanyaan. Sebuah kilatan kebingungan menyelimuti bola matanya.
"Kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang kamu bilang soal ini?" Rafael mengguncang tubuh Angel dengan kuat. Dadanya bergemuruh seolah dia belum sanggup menerima fakta yang ada.
"Aku tidak tahu bagaimana harus memulai, Rafael. Aku ... aku begitu takut, dan tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya padamu, tapi ini kenyataan yang tidak bisa disangkal. Kamu harus tanggung jawab, Rafael!" Angel terus berusaha meyakinkan Rafael dan menekannya.
"Tangung jawab? Aku baru saja kehilangan semuanya. Bagaimana aku bisa tanggung jawab atas sesuatu yang ... yang tidak pernah aku rencanakan?" Rafael menatap tajam Angel terdengar gigi yang bergemeletuk di dalam sana.
"Kamu harus menghadapi ini, Rafael. Ini bukan hanya tentang kita, ini tentang janin yang sedang tumbuh di dalam rahimku. Ini ... ini adalah anakmu. Dan aku tidak bisa ... aku tidak bisa terus hidup dengan rahasia ini sendirian." Angel memegang perutnya yang masih rata, lagi dan lagi Angel terus meyakinkan Rafael yang notabenenya tidak mengakui janin yang saat ini dia kandung.
Rafael mundur beberapa langkah lagi, berbalik dengan cepat dia berjalan kembali menuju pintu kamar. Semua yang baru saja terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tidak bisa dia bangun dari sana. Tetapi, saat dia menginjakkan kakinya keluar melewati pintu kamar, dia tiba-tiba berhenti. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengikatnya untuk kembali menatap Angel.
Rafael berbalik, dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. "Kamu harus berhenti membebaniku dengan hal ini, Angel. Aku ... aku tidak bisa bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak aku inginkan!"
"Apa kamu bilang? Semudah itu kamu berbicara. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa ini benar, ini adalah kenyataan. Tidak ada yang bisa mengubahnya, bahkan jika kamu berusaha menghindarinya."
"Maafkan aku Angel. Besok setelah urusan proyek ku disini selesai, aku harus pulang bertemu dengan Stella. Aku akan menjelaskan semuanya, dan aku akan memperbaiki nya, aku... aku tidak bisa memikirkan apa yang kamu katakan sekarang."
Angel menatapnya dengan mata yang penuh kepedihan, namun dia tahu bahwa Rafael tidak akan bisa menghindari kenyataan ini selamanya. Saat Rafael melangkah pergi, Angel hanya bisa menatapnya, perasaan bingung dan cemas bercampur aduk dalam dirinya.
*
"Sayang, kamu dimana ...."
.
.
.
🍁Bersambung🍁
Jgn jadi wanita lemah dong stell
percuma kau menyakiti Stella yg ada kau dan Gio akan masuk penjara karena suruhan Mama Elena sudah mengikuti kalian. Kasihan bayi Jeslyn nanti tak ada yang merawat karena kalian tinggal menjalani hukuman