Chan Khotthot naa ... dilarang boom like.
Kenzie, seorang wanita berusia 27 tahun, sering mendapat olokan perawan tua. 'Jika aku tidak dapat menemukan lelaki kaya, maka aku akan menjadi jomblo hingga mendapatkan kriteriaku' Itulah yang dikatakannya. Namun, ibunya tidak tahan ketika para tetangga menghina anaknya yang tidak laku. Akhirnya memutuskan untuk membuat perjodohan dengan sahabat lamanya! Akankah Kenzie bersedia ataukah menolak perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShiZi_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba meraih hatinya (22)
Malam itu, keduanya sedikit memiliki sebuah perdebatan, Ardi yang kala itu sudah berada di titik lelah. Benar-benar ingin menyerah, tetapi siapa sangka pada saat dirinya menyerah justru Kenzie memberi sebuah pengakuan kepadanya.
Melewati hari dengan beberapa masalah, menjadikan Ardi enggan untuk membahasnya saat itu hingga pagi ini. Sang mentari terbit dari atas sana. Sinarannya memantulkan cahaya dari balik tirai dan mata indah itu pun mulai memandang keindahan di luar jendela.
"Ke mana wanita itu," batin Ardi karena pada saat matanya terbuka. Ia pun tidak melihat Kenzie.
"Ugh!" Suara helaan napas diiringi dengan rentangan kedua tangannya. Tubuhnya sedikit kaku hingga membuatnya untuk mengguyur tubuhnya agar sedikit lebih segar.
Seusai keluar dari kamar mandi, bau wangi masakan menerobos masuk ke indra penciumannya. "Bukankah jarak antara rumah tetangga sedikit jauh? Tapi kenapa pagi-pagi sudah bau masakan." Itulah yang ada di dalam pikiran Ardi.
"Sudahlah, lebih baik aku segera bersiap untuk berangkat ke bengkel." Mengabaikan bau tersebut karena pekerjaannya jauh lebih penting.
Ardi yang sudah siap untuk berangkat, tiba-tiba mendapat tepukan di bahunya.
"Ayo makan, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu!" Kata Kenzie dengan menampakkan binar di wajahnya.
"Terima kasih, tapi aku harus segera berangkat karena Deva sudah beberapa kali telepon." Ardi pun menjawab dengan isyarat juga.
"Tunggu, tapi bisakah kamu sedikit menghargai usahaku—."
"Kalau begitu sisihkan dan hidangkan setelah aku pulang!" sahut Ardi karena terlalu malas untuk berdebat.
Sekarang Ardi sudah pergi. Wajah Kenzie menatap dalam ke arah piring dengan berbagai lauk. "Kenapa sesakit ini ketika usahaku sama sekali tidak dihargai," ucap Kenzie dengan wajah tampak murung.
Meninggalkan meja makan, lalu melepas celemek. Mendapat ide dan beruntungnya hari ini dirinya mendapat shift pagi. Itu artinya makanan tak akan terbuang dengan sia-sia.
Sedangkan di bengkel.
"Ar, kenapa wajahmu ada luka memar?" tanya Deva, tapi anehnya Ardi tidak merespons.
"Ar, apa yang sebenarnya terjadi denganmu?" Lagi ... Deva mengulang pertanyaan tersebut, tapi nihil karena Ardi tidak membalas.
"Aneh, kenapa Ardi tidak merespons ketika aku tanya?" Dalam hatinya kini Deva dibuat bertanya-tanya karena rasanya aneh jika alat bantu itu lepas lagi.
Tak ada pilihan selain menepuk bahu Ardi, itulah ciri khas yang harus dilakukan ketika hendak berkomunikasi.
"Ada apa?" Barulah Ardi merespons.
"Ke mana alat yang aku belikan itu? Mustahil jika rusak! Lantas kenapa ada memar di wajahmu juga?" Lelah seharusnya bagi Deva untuk berinteraksi menggunakan kedua tangannya. Namun, tak ada pilihan lagi.
"Hanya luka ringan, sudahlah. Lagi pula sekarang aku baik-baik saja," jelas Ardi yang tak mau Deva khawatir terhadapnya.
"Apa cuma ini yang bisa kamu jelaskan kepadaku? Apa tak ada yang lain untuk kamu katakan denganku," ujar Deva.
"Aku sudah mengatakannya, kalau ini hanya luka ringan akibat terbentur tembok karena tersandung." Jawab Ardi yang mana harus terpaksa berbohong.
"Lalu, di mana alatnya?" Ketika Deva mulai mempertanyakan alan pendengar, barulah Ardi terlihat gugup.
"Jawab sekarang atau aku yang harus mencari tahu!" ucap Deva lagi, seandainya Ardi tidak tuli, mungkin saja ia akan berteriak dan memakinya dengan sangat keras.
"Semalam Kenzie diganggu para preman jalanan. Waktu aku melawan mereka tahu kalau aku tuli hingga dengan sengaja mencabut alat tersebut dan menginjaknya," jawab Ardi.
Seketika Deva menghela napas. "Dasar perempuan tidak tahu diri!" umpat Deva karena sudah membawa Ardi ke dalam situasi yang sangat berbahaya.
Ketika keduanya sedang bercengkrama. Tiba-tiba saja Salma datang dengan membawa beberapa kotak makanan. "Dev, Ardi! Maaf aku datang tidak memberitahu terlebih dulu," ucap Salma dengan cara meminta maaf terlebih dahulu.
"Tidak apa-apa, lagi pula kamu juga teman kita. Lalu ... apa yang kamu bawa itu?" tanya Deva seraya melirik ke arah kantong kresek di tangan Salma.
"Oh ini, makanan dan aku sengaja membelinya untuk kalian, katanya om Surya Ardi sulit untuk sarapan." Dengan senyum yang merekah Salma pun menjelaskan. Namun, bisa diketahui jika Deva kini berbeda dari sebelumnya.
"Dasar lelaki tua, apa dia sengaja mengacaukan anaknya sendiri dengan mengirim seseorang." Dalam keadaan hati yang dongkol, beberapa kali Deva mengutuk pak Surya, yang mana begitu kejam dengan darah dagingnya sendiri.
"Dev, kenapa Ardi sama sekali tidak bicara denganku?" tanya Salma karena sedari tadi dirinya berceloteh, tetapi hanya Ardi yang tak menanggapinya.
"Dia tidak memakai alat bantu. Itu mengapa hanya diam," ujar Deva.
Salma pun tersenyum, lalu meminta izin untuk menggunakan dapur karena ingin menyiapkan makanan.
"Kenapa kali ini kepulanganku sama sekali tidak disambut hangat oleh Ardi," batin Salma.
Kedua tangannya benar menata tiap piring, tetapi pikirannya kini hanya tertuju pada Ardi, yang mana lebih acuh dari sebelumnya. "Mungkinkah karena adanya wanita itu? Sehingga aku tidak mendapat perhatian darinya."
Semua makanan sudah selesai di tata. Meminta dua lelaki itu pun untuk segera makan. Melihat Salma begitu perhatian, membuat Deva tidak berhenti menatapnya. "Bahkan sekelas kamu bisa ditolak olehnya, tapi dengan Kenzie, dia mau menikahinya." Itulah yang ada di dalam hati Deva sekarang. Merasa tidak masuk akal, tetapi ia juga tidak ingin bertanya apa alasannya.
"Ar, makanlah yang banyak." Kata Salma seraya terus mengambilkan beberapa lauk untuk lelaki itu.
"Sudah cukup, ini terlalu banyak. Aku tidak dapat menghabiskannya," ujar Ardi lewat isyarat.
Mendengar itu pun, Salma seketika melangkah mundur.
Sore hari, tepatnya pukul empat. Dengan senyum penuh, Kenzie pun mengangkat rantang yang ia tenteng. Tidak lupa kota kecil di tangan satunya. "Semoga dia suka," gumamnya.
Setengah jam telah berlalu. Melihat mobil mewah terparkir di garasi bengkel. Membuat senyum bahagia itu pun seketika pudar. "Ternyata dia juga ada di sini," gumam Kenzie dengan suara tak bersemangat.
"Tidak mungkin aku kembali, lagi pula aku juga belum mendapatkan maafnya." Menghela napas dalam-dalam dan membuangnya pelan, setelah yakin Kenzie pun masuk. Hingga tiga orang yang sedang bergurau sedikit terkejut akan kedatangan Kenzie.
"Zie ...!" sapa Ardi dengan wajah linglung.
Kenzie pun langsung mengangkat rantang tersebut. Agar Ardi tahu jika isi di dalamnya adalah adalah masakan sewaktu tadi pagi.
"Maaf aku telat membawa makan siang karena hari ini jadwal pagi. Jadi, aku pulang dulu untuk membuatkan yang baru dan datang ke sini." Kenzie pun berusaha menjelaskan dan mengetiknya agar Ardi langsung membacanya.
"Aku akan memakannya." Jawab Ardi tanpa ekspresi.
Sedangkan Deva hanya menatap tidak percaya ketika seseorang seperti Kenzie bisa bicara dengan lembut.
"Baiklah, tapi aku perlu menghangatkannya lagi." Kata Kenzie.
"Ikut aku!"
Namun, ketika Kenzie hendak mengikuti langkah Ardi. Ponselnya berdering dan ia pun mencoba melihat nama di layar tersebut.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang,” batin Kenzie setelah melihat siapa yang baru saja menghubunginya.
Ardi yang melihat situasinya itu pun seketika angkat bicara. “Jika kamu butuh sebuah jawaban, maka selesaikan masalahmu dengannya.”
semangatt..
jgn lamalama Up nyaa...