Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Menunggumu.
Menjelang malam, Bang Rama baru memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar rawat Dilan. Itu pun bersamaan dengan visit dokter yang memeriksa kondisi Dilan.
Dilan yang melihat Bang Rama masuk menjadi salah tingkah begitu pula sebaliknya.
Saat dokter memeriksa kondisi Dilan, Bang Rama pun ikut memperhatikan dengan teliti.
"Bagaimana, dok. Apa masih ada bahaya dengan kandungannya?" Tanya Bang Rama.
"Sudah tidak ada lagi, Pak Rama. Pendarahan sudah tidak ada jadi besok pagi ibu sudah boleh pulang, tapi tetap tidak boleh beraktivitas yang terlalu berat." Pesan dokter pada Bang Rama.
:
Beberapa saat setelah pemeriksaan, dokter juga sudah undur diri dari kamar rawat tersebut.
Bang Rama pun mengambil duduk di samping ranjang Dilan. Ia seperti memantau kembali informasi dari ponselnya.
Setelah beberapa saat tidak ada sepatah kata pun terucap dari bibir Bang Rama akhirnya Dilan.
"Bang..!!"
"Dalem. Kenapa, dek?" Bang Rama meletakan ponselnya di atas nakas dan merespon Dilan.
"Hmm.. Apakah asrama tentara sudah cukup aman?" Tanya Dilan.
"Memangnya ada apa?"
"Jika suatu saat nanti Abang bertemu dengan seseorang dengan nama Mala, tolong jangan di respon. Kalau bisa, kalau Abang percaya, tolong jangan biarkan wanita itu masuk ke wilayah asrama." Kata Dilan.
Bang Rama mengangguk santai. "Oke. Ada lagi?"
"Baaang......" Nada suara Dilan kini terdengar di antara rengekan dan takut.
"Iyaaa.. Abang dengar, Abang juga tau kalau Mala bukan kakak kandung atau pun kakak tirimu." Kata Bang Rama.
Untuk kesekian kalinya Dilan terkejut mendengar ucapan Bang Rama.
"Apakah punya suami intel cukup menyenangkan?? Jangankan untuk hal seperti itu, warna pakaian yang kamu suka pun Abang tau." Imbuh Bang Rama.
Air mata Dilan menetes. "Dilan tidak ingin bertemu dengan Mala.........."
"Abang sudah mengurusnya, mudah-mudahan suaminya dan juga Mala sekali pun tidak akan bisa mengganggumu lagi. Abang janji.. seperti apapun tingkah Mala, Abang tidak akan tergoda." Janji Bang Rama.
Paham Dilan kembali ketakutan, Bang Rama pun mengusap perut Dilan dengan lembut.
"Seikhas itukah hati Abang? Seluas itukah kesabaran Abang?" Tanya Dilan melihat sosok pria bagai hadiah dari Tuhan untuknya.
Bang Rama memangku dagunya sembari menatap lekat wajah Dilan kemudian ia mengusap pipi Dilan dengan punggung jarinya.
"Manusia adalah jiwa yang di pinjami raga dan nafas, dia berlakon sesuai dengan kehendak Tuhan. Baik dan buruk manusia.. kita tidak memiliki kuasa untuk menilai dan menghakiminya. Ketakutan di hatimu, apa yang kamu rasakan dan apa yang terjadi hanya bagian dari skenario Tuhan. Saya memilihmu tanpa sesal dan saya menerima calon bayi kecil ini tanpa paksaan. Saya tulus menerima dan menyayangi kalian karena saya percaya, pasti Allah memiliki alasan untuk mempertemukan kita."
Dilan mendengarnya, ia terdiam meskipun ada perkataan Bang Rama yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Hingga saat ini Bang Rama masih belum bisa untuk menerima Mama Arlian namun dirinya belum berani untuk bertanya.
Dengan adanya hal ini, sebenarnya Dilan mengerti bahwa sebenarnya Bang Rama bukanlah laki-laki yang jahat.
"Terima Abang ya, dek..!! Mulai saat ini.. kita 'pacaran'??" Bang Rama mengacungkan jari kelingkingnya. "Lepaskan semua beban, jadilah dirimu sendiri. Mulai detik ini, dunia ini hanya ada Rama dan Dilan."
'Ya Allah Ya Tuhanku, sebenarnya hamba tidak ingin banyak berharap dariMu tapi tolong buat Dilan mau dengan saya, kalau hatinya tetap tidak terbuka, hamba mohon paksakan saja Ya Allah.'
Dilan masih menatap Bang Rama. Beberapa saat kemudian Dilan pun menyambutnya.
Senyum Bang Rama pun mengembang lebar. "Alhamdulillah."
***
Pagi hari Dilan terbangun dan melihat Bang Rama membawa satu bucket 'bunga' uang dan satu set perhiasan. Terselip disana sebuah hasil laporan dokter tentang kehamilan Dilan.
"Selamat pagi Bu Danton. Assalamu'alaikum." Sapa Bang Rama.
"Waalaikumsalam Pak Danton." Jawab Dilan malu-malu dengan pipi memerah.
"Hari ini kita persiapan pulang ke asrama. Nanti malam Abang ada syukuran kecil-kecilan untuk acara empat bulanan si Abang."
Dilan menerima bunga tersebut dan membacanya turut penuh haru. Dilan tidak bisa berkata apapun, betapa dirinya ingin menghilangkan nyawa bayinya namun ternyata Tuhan mengirimkan 'ayah' yang luar biasa seperti Bang Rama.
"Terima kasih ya Bang." Ucap Dilan terbata-bata menahan tangis.
"Tidak perlu berterima kasih. Apa pun yang Abang lakukan sudah sewajarnya seorang ayah lakukan untuk anaknya." Jawab Bang Rama kemudian mengecup kening Dilan. "Ternyata dia sudah besar di dalam sana. Makan yang banyak, biar si Abang sehat." Kecupan Bang Rama beralih pada perut Dilan.
Dalam posisi berbaring seperti itu, dirinya baru bisa melihat perut Dilan yang tipis namun sedikit membuncit. Tak hentinya Bang Rama mencium perut tersebut dengan gemas, namun setitik air mata ikut menetes di pipinya. "Saya ini Papamu. Kelak kamu harus mewarisi seluruh apa yang ada dalam diri Papa. Kamu putra kebanggaan Letnan Satu Kibar Maharaja Sambas."
Dilan mengusap puncak kepala Bang Rama. Agaknya kini dirinya sudah bisa lebih menerima keadaan yang ada.
"Iya Pa. Abang putra kebanggaan Letnan Satu Kibar Maharaja Sambas." Jawab Dilan.
Bang Rama pun akhirnya memeluk Dilan dengan erat. Setelah ada batin yang semakin kuat, Bang Rama membacakan do'a di perut Dilan lalu meniupnya pelan.
"Sehat-sehat ya anak sholeh..!! Papa tunggu kamu, Le..!!" Bisik Bang Rama.
.
.
.
.