Riana, seorang CEO wanita yang memegang kendali beberapa perusahaan, bertemu dengan Reyhan, anak muda yang masih sangat....sangat idealis, dengan seribu satu macam idealisme di kepalanya, pada sebuah pesta ulang tahun anak Pak Menteri. Keduanya harus berhadapan dengan wajah garang ibu kota dan menaklukkan ganasnya belantara Jakarta dengan caranya masing masing. Bisnis, intrik dan perasaan bergulung menjadi satu. Mampukah keduanya? Dan bagaimanakah kelanjutan kisah diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 : KECURIGAAN MALIK SETIABUDI
Riana menghela napasnya dalam dalam mendengar ucapan Malik Setiabudi. Telepon Reyhan? Mana mau jam segini Reyhan menerima telepon? Kalau tidak masih tidur pasti dia akan menunggu jam bicaranya tiba.
"Pak Malik, boleh kita bicara sebentar?"
Malik duduk di kursi yang ada di hadapan meja Riana setelah menutup pintu ruangan.
"Saya ingin tahu pendapat Pak Malik. Tolong katakan dengan jujur, apakah bapak mencurigai saya setelah kita dapatkan kembali ke dua proyek itu? Atau bapak percaya pada berita koran pagi ini?"
Orang kepercayaan Riana ini juga ikut ikutan menghela napas panjang. Berat baginya mengemukakan pendapat dihadapan bos yang sudah bersama sama membesarkan perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Tapi apa boleh buat!
"Mencurigai, jelas tidak. Percaya pada berita gosip murahan ini, juga tidak. Tapi membuat kami semua bertanya tanya. Seminggu yang lalu ke dua proyek yang sudah matang ini diterima. Draft perjanjiannya sudah ditanda tangani. Bahkan sedang dibuatkan perjanjian kerjanya di notaris. Lalu mendadak dibatalkan. Dengan surat penjadwalan resmi dari Kementerian. Ada cap dan tanda tangan pihak yang berwenang. Tentu hal ini membuat kami kecewa dan kehilangan harapan. Kami juga bertanya tanya mengapa dibatalkan? Tapi untuk sementara kami percaya, sebagaimana disebutkan dalam surat tersebut bahwa keuangan Pemerintah sedang tipis sehingga harus mengubah prioritas proyek. Lalu kemarin Ibu berusaha mengklarifikasi dengan anak Pak Menteri, bahkan beliau kemari dan Ibu mengantarnya. Tiba tiba hari ini ada berita seperti ini. Walaupun narasinya negatip, tapi tersurat jelas bahwa proyek ini kembali kepada kita. Belum ada pemberitahuan resmi, karena itu kami juga belum tahu, bahkan orang luar yang tahu lebih dahulu. Wajar kan kalau kami bertanya tanya dalam hati, apakah Ibu mendapatkan kembali proyek ini atas nama badan usaha yang lain? Hal yang sangat mungkin karena perusahaan Ibu kan banyak. Suatu pemikiran yang wajar."
Riana mencoba memahami ucapan bawahannya itu. Kalau ia berada di posisi Malik, mungkin dia juga akan memiliki pendapat yang sama. Maklum, bagi Malik perusahaan ini merupakan satu satunya tempatnya mencari nafkah. Berbeda dengan Riana, Clara atau Meredith atau bahkan ayahnya yang memiliki beberapa perusahaan. Sumber uang mereka bisa dari perusahaan manapun.
"Dengan kata lain, Pak Malik tidak percaya kalau saya memprioritaskan usaha di sini?"
"Percaya sepenuhnya, karena Ibu Riana adalah pimpinan utama di sini. Akan tetapi dalam dunia bisnis, banyak hal yang bisa terjadi. Bahkan hal yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya."
Dengan kata lain, kecurigaan Malik masih tetap ada. Walaupun ia membungkusnya dengan diplomasi yang halus, batin Riana
"Maaf, tanpa Ibu minta saya telah berkata terus terang. Karena saya tahu Ibu menyukai keterus terangan dalam hal ini, di antara kita sendiri."
"Terima kasih Pak Malik. Sekarang kita bicara soal lain. Kalau wartawan sialan itu ada di sini, bukankah kita bisa mengatakan hal yang sebenarnya? Sebagai klarifikasi saja, maksud saya."
"Sangat bisa, Bu. Akan tetapi menurut saya, setiap kata yang Ibu ucapkan kepada mereka, dapat memperkeruh suasana. Bisa diartikan lainoleh mereka. Bisa diputar balik seratus delapan puluh derajat. Yang penting bagi kita, sejauh mana yang namanya RH ini berpengaruh dalam hal ini. Apakah Ibu pernah mengecewakan dia sebagai rekan usaha atau tidak. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana kita menghadapi Pak Wirata. Atau bahkan Pak Menteri. Kita belum tahu dan tidak bisa menebak apa pendapat mereka, apalagi tindak lanjut yang akan mereka ambil, setelah membaca berita pagi ini. Mungkin mereka akan marah sekali atau bahkan acuh tak acuh karena cuma koran gosip yang membuat beritanya. Kita bersyukur sampai saat ini, berita ini tidak dimuat di harian Kompas. Bisnis ini tidak main main bagi kami semua, Bu." Malik menekankan kalimat terakhirnya.
Riana terdiam. Dia bisa meraba arah pembicaraan Malik. Bagi Malik dan kawan kawan, usaha ini merupakan satu satunya usaha besar. Yang bisa menyebabkan gulung tikar atau justru panji panji perusahaan makin berkibar. Wajar saja kalau Malik menduga bahwa ini salah satu usaha saja dari sekian banyak perusahaan Riana. Masih banyak usaha yang lain.
Padahal bagi Riana, semuanya sama. Tidak ada yang dibeda bedakan. Ia mencurahkan seluruh energinya untuk semua perusahaannya dengan perhatian yang sama. Tidak ada yang dikorbankan demi yang lain. Hanya saja persoalan kali ini menyangkut nama baik. Nama baik perusahaannya, yang pasti juga menyangkut nama baik ayahnya sebagai pendiri. Nama baiknya sebagai pengusaha dan nama baiknya sebagai wanita. Ia tidak akan tinggal diam, ia harus melakukan sesuatu dan membela diri. Agar menjadi pelajaran dan kasus seperti ini tidak dijadikan senjata oleh orang orang yang kalah bersaing dengannya.
"Kalau begitu segera hubungi pengacara saya untuk menyelesaikan kasus ini. Saya mau segera, agar tidak berlarut larut dan menjadi konsumsi orang banyak. Kalau perlu kita akan lapor polisi dan tuntut balik koran nya bila tidak bisa membuktikan kebenarannya. Dengan tuduhan pencemaran nama baik. Saya yakin, dua tau tiga hari ke depan akan ada pemberitaan lagi karena kita tidak mau terpancing menemui wartawannya. Saya tidak mau tahu............"
"Baik, Bu. Akan segera saya kerjakan. Rasanya kita belum perlu melakukan tuntutan balik. Nanti biar pengacara perusahaan saja yang berbicara dengan Ibu. Agaknya ada sesuatu di balik pemberitaan media gurem seperti ini. Mereka cari duit dengan berita berita tak bermutu seperti ini, tergantung siapa yang mau bayar dan menguntungkan buat mereka. Sekarang pun, asal kita beri sesuatu yang jumlahnya lebih besar, berita yang sebaliknya pasti akan di muat besok atau lusa. Tapi masalah yang sebenarnya tetap ada, tidak hilang begitu saja. Bahkan akan jadi bahan yang dimainkan oleh media sehingga mereka akan memperoleh keuntungan dari ke dua belah pihak. Kanan kiri oke, istilahnya."
"Menurut Pak Malik, siapa itu?"
"Benar dugaan Ibu Riana. Persoalannya bukan apa itu. melainkan siapa itu. Sebenarnya dengan mudah kita bisa menduga, ada orang yang tadinya kebagian rejeki dengan proyek ini, lalu tiba tiba terpenggal karena proyeknya dikembalikan kepada kita. Kehilangan rejeki membuatnya dendam kepada kita. Tapi alasannya diputar putar seperti yang ditulis di koran."
Riana mengangguk. Komputer di kepalanya memutar kembali rekaman kejadian semalam ketika empat orang pimpinan Bright Hope datang ke rumahnya. Sampai bersedia menunggu. Hanya untuk meminta bagian, Ia ingat benar pada ancaman Denny. "...............daripada terjadi hal hal yang pada akhirnya merugikan kita semua....." Inikah realisasi ancaman tersebut?
Malik masih melanjutkan pendapatnya.
"Mungkin RH ini................"
"Tidak mungkin........" refleks Riana menyahut. Malik kaget!