LUKA ITU PENYEBABNYA
"Kau yakin nak? Wanita seperti dia? Bukan maksud ayah merendahkannya, tetapi dia berasal dari strata sosial yang lebih rendah dari kita. Selama ini ayah dan ibu diam, karena mengira kau hanya sekedar berpacaran biasa saja, lalu putus seperti yang sebelumnya. Tetapi Valerie? Wanita itu anak yatim piatu, ia bahkan memiliki dua adik yang masih harus ia sekolahkan. Tidak nak, jangan dia!"
*****
Direndahkan! Itulah yang Valerie Maxwel rasakan atas penuturan orang tua calon suaminya. Sejak saat itu, ia berjuang untuk dirinya sendiri dan adik-adiknya. Hingga Valerie menjadi seorang Independent Woman, dan memiliki jabatan tinggi di sebuah perusahaan ternama. Valerie pun tak pernah lagi percaya dengan pria, maupun cinta. Namun, kemunculan CEO baru di perusahaannya membuat Valerie bimbang. Pria itu bernama, Devan Horwitz . Pria dengan usia tiga tahun lebih muda dari Valerie. Dan memiliki segudang daya tariknya untuk memikat Valerie.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Semesta Ayi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbuka
* * *
Rasanya antara puas bercampur sakit di hatinya, Valerie berjalan tegas meninggalkan Joshua begitu saja. Sudah cukup ia dibayang-bayangi trauma masa lalu tersebut dari pria yang pernah ia cintai. Dada Valerie bergemuruh hebat, ia tersenyum saat ini. Seperti ada sedikit beban yang terangkat.
Valerie terus berjalan dengan menarik tangan Devan. Walau ia sendiri bahkan tidak sadar jika Devan bersama dengannya. Namun kini Valerie tersentak kaget kala ia merasa tubuhnya melayang. Devan menggendongnya ala bridal style. Valerie pun menatap sang pria dengan mata membulatnya, "Dev?"
Devan tersenyum menatap Valerie, "Menyala independent womanku."
Mata Valerie mengerjap, ia pun menunduk dengan kedua tangannya ia lingkarkan di leher Devan. Pria itu mengeratkan pelukannya, berjalan tenang menggendong Valerie.
"Aku merasa puas Dev." lirih Valerie.
Deban tersenyum mengangguk, "Awal yang sangat bagus Vale. Seperti itu yang benar, lawan dia. Lawan rasa takut di dadamu."
Valerie menatap sang kekasih, "Ya, kau benar. Aku tidak menyangka aku bisa melakukannya Dev. Selama ini aku selalu merasa ketakutan."
Devan membawa Valerie ke sebuah taman, ada kursi santai disana. Ia pun mendudukkan sang kekasih disana, "Sebentar." ujar Devan.
Pria itu tampak berjalan ke arah seorang pedagang makanan, Devan pun membelinya. Ia juga membeli minuman untuk mereka. Valerie terus menatap pergerakan Devan, ia tersenyum melihat betapa siaganya pria itu. Terkesan lucu namun juga takjub menatapnya.
Tak berapa lama Devan datang, membawa apa yang ia beli. Pria itu tersenyum, meletakkannya di atas kursi samping Valerie. "Kita tidak jadi sarapan tadi. Jadi aku beli ini saja untuk kita. Cemilan Jepang untuk sarapan terbilang lezat."
Valerie tersenyum tipis dan mengangguk, "Terima kasih."
Dua insan itu pun makan dengan tenang bersama, sembari menatap taman indah disana. Devan tersenyum, "Aku senang kau berani melawannya tadi. Sebelumnya, jujur saja..aku tahu kau ketakutan jika berhadapan dengan Joshua. Walau aku tidak mengerti kenapa, tapi aku paham itu seperti trauma."
Valerie tertegun sejenak, ia menatap Devan dengan lekat. Pria itu tampak menatap pemandangan di sekitarnya sembari mengunyah sarapannya. Valerie mengangguk, "Ya, aku memiliki trauma yang cukup dalam dan lama. Bahkan sudah berjalan delapan tahun."
Devan menatap Valerie dengan alis yang bertaut, "Selama itu?"
Valerie mengangguk, "Benar Dev. Karena itulah aku tidak mau berhubungan dengan lawan jenis lagi. Aku juga tidak mau memiliki kekasih di usiaku yang sekarang. Luka itu penyebabnya, antara karena kebodohanku juga atau memang karena aku yang lemah. Banyak yang mengatakan jika aku bodoh, begitu saja langsung trauma. Tetapi..apa yabg kurasakan, hanya aku yang tahu."
Devan menatap Valerie dengan serius, "Setiap orang pasti punya alasan kenapa demikian bukan? Kenapa mereka mengatakan kau bodoh jika begitu?"
"Ya, karena mereka menganggap, hanya karena putus dari Joshua yang sudah lima tahun bersama lalu aku trauma menjalin hubungan dengan pria lain lagi. Tetapi, bukan itu alasan utamanya Dev. Bukan hanya sekedar karena Joshua, dan hanya kedua adikku yang mengerti. Sebab kami merasakannya, seperti apa rasa sakit itu."
Devan semakin penasaran, "Lalu?"
Valerie menarik nafas dalam terlebih dulu, rasanya ia kini ingin terbuka pada pria itu. "Kami anak yatim piatu sejak aku dulu duduk di bangku kuliah semester pertama. Kedua orang tua kami mengalami kecelakaan. Saat itu adik-adikku masih sekolah. Saudara kami, seperti paman dari orang tuaku tidak ada yang mau menanggung jawabi kami. Kami di biarkan begitu saja, mereka hanya datang di hari pemakaman, lalu setelahnya pergi tanpa ada pembicaraan bagaimana nasib kami bertiga saat itu. Seolah mereka buang badan, itulah yang aku rasakan. Aku hanya diam, menunduk menahan tangis. Membayangkan bagaimana nasibku dan adik-adikku kelak?"
Valerie menahan tangis mengingat kejadian itu, Devan kini menggenggam satu tangannya. "Tidak perlu dilanjutkan jika kau tidak kuat."
Valerie menggeleng, ia pun melanjutkan. "Sejak saat itu, aku bertekad apapun yang terjadi aku dan adik-adikku tetap harus sekolah. Kami harus bisa mengubah nasib kami. Uang dari sumbangan meninggalnya orang tuaku, menjadi modal awal kami bertahan hidup. Lalu, aku pun bekerja beberapa pekerjaan paruh waktu. Mulai dari menjaga toko, menjadi tukang cuci piring, dan yang lainnya. Aku bekerja sambil kuliah, mati-matian setiap hari menjalaninya. Tidak ada yang namanya libur, hari minggu pun aku bekerja. Adikku bahkan sempat minta berhenti sekolah karena tidak tega melihatku, tetapi aku menyuruh mereka agar tetap sekolah dan mengatakan jika aku baik-baik saja. Namun yang namanya lelah, terasa kosong dan hampa tentu aku rasakan tetapi aku hanya memendamnya sendirian. Hingga muncul sosok Joshua hadir di dalam hidupku saat itu."
Devan mengusap lembut sebelah pipi Valerie, "Dan kalian menjadi sepasang kekasih?"
Valerie mengangguk, "Ya, dia adalah kakak kelasku di perkuliahan. Dia mendekatiku lebih dulu saat itu. Awalnya aku menghindar, namun ia pria yang baik dan begitu ramah. Kemunculannya seperti mengisi kekosongan di hatiku saat itu. Rasa lelahku yang berjuang untuk hidup dan adik-adikku, seolah menjadi hilang saat Joshua muncul. Pria itu menjadi tempat ternyamanku selama lima tahun. Sejak bertemu dengannya aku bisa tersenyum, bahkan ia mengenalkanku dengan keluarganya dan aku seperti merasa memiliki keluarga lengkap lagi."
Bibir Valerie bergetar, Devan mendekat merangkul kekasihnya tersebut dengan hangat. "Tapi di hari wisudaku, tepat saat itu Joshua memberi surprise dengan melamarku dan aku pun menerima lamarannya. Dan tepat di saat itu juga, kedua orang tua Joshua mengatakan hal yang menyakitkan tentang diriku dan kedua adikku."
"Apa yang mereka katakan?"
"Aku hanya anak yatim piatu, aku tidak setara dengan mereka, aku dan adikku hanya akan menjadi beban untuk Joshua. Mereka meminta Joshua menggagalkan lamaran itu. Ternyata kebaikan mereka selama ini, tidak setulus yang aku kira Dev. Joshua dan orang tuanya yang selama ini begitu sangat aku sayangi, ternyata menganggapku dan adikku seperti hama pengganggu. Aku tidak menyangka mereka mengatakan itu tentangku. Sungguh, aku shock dan rasanya hatiku sangat sakit. Mulai saat itulah aku bertekad untuk pergi dari hidupnya. Tetapi aku pergi dengan tetap membawa cintaku yang masih tertanam di hati saat itu. Itulah kenapa bertemu dengan Joshua, membuat hatiku pun masih terasa sakit Dev. Karena, karena.."
Valerie sulit melanjutkan kalimatnya, Devan pun menyentuh dagu sang wanita dan menatap dirinya dengan lekat.
"Katakan jujur padaku Vale, apa kau masih mencintainya?"
Valerie tertegun, matanya berkaca-kaca saat ini. "Aku..aku.."
Devan menatapnya dengan serius, "Katakan saja, aku tidak masalah."
Air mata Valerie mengalir, wanita itu memeluk Devan dengan erat. "Dev, bantu aku melupakannya. Bantu aku melupakan Joshua." pintanya sembari menangis terisak.
* * *
semoga devan bisa tegas sm keluarganya dan ga ninggalin vale, kalo itu terjadi kedua kali pada vale fix dia akan mati rasa selamanya bahkan seumur hidup 😥