Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Merasa Konyol
Kenangan pahit itu seolah muncul kembali, membawa bayangan wajah Diana yang hilang di antara ombak. Rahangnya mengeras, namun bibirnya sedikit bergetar, menahan perasaan yang sudah berusaha ia kubur. Pandangannya kosong, seperti terjebak di antara masa kini dan memori yang menyayat hati.
"Ell," panggil Angga lembut, menangkap perubahan di wajah Ello yang seketika terlihat muram. "Ada apa?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Ello tersadar dari lamunannya dan menggeleng, mencoba tersenyum meski ekspresi itu tak sepenuhnya menyembunyikan rasa pilu yang masih membekas di matanya. "Ah, nggak apa-apa," ucapnya, suaranya sedikit bergetar namun cepat ia kendalikan. "Yuk, kita ke toko!"
Angga hanya mengangguk pelan, menatap sahabatnya dengan senyuman tipis yang penuh pengertian. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu Ello, namun ia memilih untuk tidak memaksanya bercerita. "Ayo!" sahutnya ringan, berjalan di samping Ello sambil sesekali melirik wajah sahabatnya yang tampak menyimpan kepedihan.
Ello dan Angga tiba di toko kue Elin, dan suasana sore ini tampak cukup ramai. Aroma kue manis dan kopi yang menggugah selera memenuhi udara, membuat Ello merasa betah. Angga, di sisi lain, sibuk menatap ke sekeliling, mencari sosok Dona yang akhir-akhir ini menarik hatinya. "Di mana dia?" batinnya. Dia merasa sedikit canggung, berharap bisa melihat gadis itu dan berinteraksi tanpa rasa gugup.
Ello memerhatikan Angga dengan senyuman, menyadari ketertarikan sahabatnya itu dan merasa senang melihat Angga berusaha menemukan kebahagiaan baru. "Semoga saja Angga berjodoh dengan Dona. Aku merasa, gadis itu gadis yang baik," batinnya.
Namun suasana seketika pecah saat mereka mendengar suara Ziel yang keras dan ceria. "Om Ello! Om Angga!" serunya sambil melompat-lompat kegirangan. Dia berlari menghampiri mereka dengan senyum lebar di wajahnya, tampak tak sabar untuk berbagi berita atau sekadar bercanda. Ello tidak bisa menahan tawanya melihat semangat Ziel yang selalu ceria, sementara Angga terlihat sedikit terkejut, namun sesaat kemudian tersenyum hangat pada Ziel.
"Ziel, kenapa kamu di sini?" tanya Ello, sedikit heran. Ia ingat benar bahwa sore ini Ziel seharusnya bersama guru les privatnya.
"Tentu saja karena Om Ello ada di sini," jawab Ziel dengan senyuman yang penuh arti, seolah menyimpan sebuah rahasia.
Ello mendesah pelan, merasakan campur aduk antara bingung dan kagum. Entah dari mana keponakan tengilnya ini selalu bisa mengetahui keberadaannya. Dalam pikirannya, muncul anggapan bahwa Ziel mungkin memata-matai dirinya. Namun, mustahil rasanya seorang anak berusia tujuh tahun bisa melakukan itu. Ello tak habis pikir dengan kecerdasan dan ketajaman insting keponakannya ini, membuatnya semakin penasaran.
Sedangkan Angga hanya tersenyum, merasakan kehangatan dalam interaksi mereka. Ia terhibur oleh dinamika antara Ello dan Ziel, melihat bagaimana hubungan mereka penuh dengan keakraban dan candaan. Senyum Angga mengungkapkan pengertian, seolah ia tahu betapa berartinya momen-momen kecil seperti ini bagi Ello, meskipun ada ketegangan yang menyelimuti hari itu.
"Hari ini waktunya ke pantai. Apa Om Ello lupa?" jawab Ziel sambil menatapnya polos. Ello tersenyum kecut, tapi di balik senyum itu wajahnya mendadak muram.
Tentu saja ia tak lupa, tanggal ini, setiap bulannya, menjadi momen yang tak pernah mudah baginya. Hari ketika Diana, cinta pertamanya, hilang di laut. Sejak saat itu, tanpa pernah absen, Ziel selalu memintanya untuk pergi bersama ke pantai, penuh keyakinan bahwa suatu hari Diana akan kembali.
Angga ikut menghela napas berat, tatapannya berubah serius saat menyadari tanggal hari ini. "Aku hampir lupa kalau tanggal ini adalah tanggal di mana Diana menghilang," batin Angga. Ia tahu kebiasaan Ziel, meminta Ello menemaninya ke pantai setiap bulan pada tanggal yang sama. Ia pun tahu bagaimana setiap kunjungan itu mengguncang hati Ello.
Pantai yang menjadi saksi hilangnya Diana, wanita yang pernah Ello cintai sepenuh hati. Setiap ombak yang bergulung, setiap deru angin, seolah membawa kembali bayang-bayang Diana, yang sampai sekarang jasadnya belum juga ditemukan. Angga hanya bisa terdiam, memahami luka yang tak kunjung sembuh di hati sahabatnya.
Ello mendesah pelan, menatap Ziel yang berdiri di depannya dengan tekad membara. “Ziel, tak bisakah kita berhenti pergi ke pantai?” tanyanya dengan nada lembut, penuh harap.
“Tidak,” tegas Ziel tanpa ragu, matanya menatap langsung ke arah Ello. “Aku akan menunggu Tante Diana di pantai.”
“Ziel, Tante—” Ello mencoba membujuk, namun Ziel segera memotongnya.
“Kalau Om Ello tak mau antar aku, aku akan pergi sendiri.” Nada ancamannya terdengar jelas, dan Ello tahu Ziel tak main-main.
Ello menghela napas kasar, menyadari bahwa Ziel benar-benar serius. Ia tahu betul bahwa bocah itu pasti punya cara untuk melakukannya, apa pun risikonya. “Baiklah, kita akan pergi,” jawabnya akhirnya, menyerah pada tekad kuat Ziel.
Angga hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. Bagaimanapun, ia mengerti mengapa Ziel begitu keras kepala soal ini, kerinduan dan harapan bocah itu pada Diana selalu terpancar dengan begitu kuat.
Ello melirik Angga dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. “Ngga, kamu usaha sendiri, ya?” ucapnya, mengingat tujuan Angga ke toko kue ini sebenarnya untuk mendekati Dona. Ia tadinya berniat membantu, namun kehadiran Ziel yang tiba-tiba membuat rencananya berubah.
“It’s okay,” jawab Angga dengan senyum tipis penuh pengertian. Ia menepuk bahu Ello dengan ringan. Angga menatap sahabatnya yang keluar bersama Ziel, perasaan haru menyelinap. Bagaimanapun, ia sangat memahami kondisi Ello, sahabat baik yang selama ini menemaninya dalam masa-masa sulit.
Sementara itu, Ello memasuki mobilnya, dan Ziel duduk di sampingnya dengan mata berbinar penuh harapan. Dengan napas panjang, Ello menyalakan mesin dan mulai melaju menuju pantai terdekat. Ia merasa sedikit lega karena Ziel tak meminta pergi ke pantai tempat Diana menghilang, yang jaraknya cukup jauh dan akan memperburuk luka batinnya. Namun, baginya, setiap pantai tetap memiliki kesan perih yang sama. Ombak, pasir, dan angin laut selalu mengingatkannya pada kejadian tragis itu.
Di belakang, Angga menatap kepergian mereka dengan tatapan sendu. "Seandainya Ello bisa membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu itu," gumamnya pelan.
Namun sesaat kemudian, perhatian Angga teralihkan. Dari sudut matanya, ia menangkap sosok yang sebenarnya menjadi alasan kedatangannya ke toko kue ini, Dona. Wanita itu tengah sibuk merapikan etalase kue dengan cermat.
"Ah, kenapa aku bodoh sekali?" Angga berbisik pelan sambil mengacak rambutnya, frustrasi. "Dia di sini sebagai karyawan, tentu saja sulit bagiku untuk mendekati kalau hanya datang sebagai pelanggan." Pikirannya berputar cepat, memutar strategi baru.
"Aku harus mengubah cara pendekatanku ... mungkin mencari tahu kapan dia pulang dan naik apa. Setidaknya, aku bisa mencoba memulai percakapan di luar pekerjaannya." Angga mendesah, merasa sedikit malu atas kebodohan rencana awalnya. "Ya ampun, konyolnya aku. Kenapa aku jadi kayak ABG yang baru jatuh cinta gini?" batinnya sembari menyusun rencana baru untuk mendapatkan perhatian Dona.
Sedang di sisi lain, sambil merapikan barisan kue di etalase, Riri melirik ke arah Angga yang duduk tak jauh dari sana, lalu berbisik pada Dona, "Eh, Don, kamu ngerasa nggak? Aku perhatiin, setiap kali temannya Kak Ello itu datang ke sini, dia selalu fokus lihat ke kamu."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued