DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM10
Nanti siang kami akan ke rumah Bulek Darmi. Sudah ku rekap pesanan yang harus diantar hari ini. Aku sudah resmi minta bantuan Mbak Niken untuk mengolah risol dan pastelku, mau yang matang maupun frozen. Aku juga sudah memberitahu kehamilanku ke Mbak Niken.
Mulai senin nanti aku akan membuka lapakku di aplikasi oren. Sekarang sudah ku mulai menyusun produknya.
...****************...
Setelah makan siang, aku dan Mas Rama bersiap untuk pergi. Ku titipkan rumah dan penyelesaian pesanan ke Mbak Niken.
Sudah ada ibu, bapak, dan Mbak Raya sekeluarganya saat kami sampai di rumah Bulek. Mungkin ini kali ketiga kami bertemu selama hampir setahun ini aku jadi menantu di keluarga bapak.
Kami menghampiri bapak, ibu dan Mbak Raya serta suaminya. Tak lupa juga keluarga Bulek Darmi sebagai yang punya hajat.
"Sudah datang rupanya kamu, Ram? Sudah kaya kamu sekarang? Atau masih aja sial?" sapa Bulek Darmi dengan sinisnya.
"Syukurlah kami baik-baik saja, Bulek." jawab Mas Rama berusaha tersenyum.
Bapak dan ibu hanya diam saja anaknya dihina begitu. Mbak Raya apalagi, cuek, seolah tidak dengar adik kandungnya dihina. Aku sudah gemas sendiri. Tapi masih ku tahan. Langsung saja ku hampiri Mbak Marni yang duduk di sebelah Bulek.
"Selamat ya, Mbak Marni. Semoga Mbak dan dedek bayinya sehat sempurna. Lancar sampai lahir nanti," ucapku dengan tulus.
Berarti nanti anakku akan sepantaran dengan anak Mbak Marni.
"Selamat ya, Mbak. Semoga lancar sampai persalinan." Mas Rama menyusulkan ucapannya.
"Terima kasih Ram, Na."
"Eh Alana, sana bantuin mbakmu menyuguhkan makanan ke para tamu," perintah ibu kepadaku.
Aku menatap Mas Rama untuk izin ke belakang. Mas Rama mengangguk kecil.
"Iya, Bu."
Ku langkahkan kaki ke belakang menyusul Mbak Raya.
"Bawa nampan kue itu ke bapak-bapak yang di teras, Na."
"Iya, Mbak."
Kurapikan isi nampan, dan kubawa keluar. Saat keluar, tak kulihat Mas Rama di posisi tadi. Entah ada di mana suamiku itu.
"Kulihat-lihat aura menantu mu itu agak suram ya, Mbak Yu. Tapi mestinya cocok dengan aura Rama yang sial itu," kata Bulek Darmi ke ibu, tak sengaja aku menguping saat tengah mengantar ini dan itu.
"Namanya juga jodoh, ya pasti cocok," jawab ibu dengan sinis.
Segitunya mereka menghina Mas Rama sampai aku terseret juga. Tapi kulihat muka bapak agak berubah. Terlihat tegang tapi tetap tidak bicara apa-apa.
Tak kupedulikan omongan yang baru kudengar. Aku terus mondar mandir membawa suguhan, sampai bagian bawah perutku sedikit agak kencang. Aku juga tidak melihat Mas Rama di manapun saat mengantar suguhan tadi. Entah ke mana lah suamiku itu?
Aku keluar dari pintu samping. Niatnya mau duduk dulu sampai kaku di perut ini hilang. Tapi malah kulihat pemandangan mengenaskan.
Suamiku yang gagah pakai batik sarimbit, coupelan denganku, sedang duduk di kursi kecil di pojokan yang berfungsi sebagai tempat cuci piring. Ya Allah, suami ku mencuci piring-piring bekas acara. Tega sekali mereka ini.
Kuhampiri suamiku dengan wajah yang sudah penuh air mata. "Mas ayo kita pulang. Aku gak rela kamu diperlakukan begini," sambil ku tarik lengan suamiku dengan keras.
"Sayang, kok kamu ada di sini? Tidak di dalam?" tanya Mas Rana dengan khawatir.
"Perutku tadi terasa kaku, Mas. Jadi Alana nyari dudukan di luar sini sambil ngaso. Rupanya dedek bayi mau ngasih tahu kalo bapaknya sedang disiksa. Keluargamu ini keterlaluan, Mas. Alana gak rela pokoknya. Kalau cuma omongan, aku masih akan berusaha menahan marah. Tapi sudah begini? Aku gak terima."
"Sabar, Sayang. Tadi Mas cuma dimintain tolong dikit, tapi piring dan gelasnya ini gak habis-habis. Tenang ya, Yank, nanti perutnya kaku lagi." Kata Mas Rama sambil mengelus punggungku.
"Sekarang Alana tanya, Mas sudah makan belum dari tadi?" Aku berkacak pinggang.
Mas Rama menggeleng, tentu saja aku semakin marah.
"Mereka sudah selesai acara makannya Maaaaass. Makanya cucian piringmu makin banyak. Terus kenapa yang dimintain tolong cuma Mas Rama? Anak-anak dan mantu Bulek Darmi sendiri malah enak-enakan di luar nongkrong dengan para tamu. Mereka juga sudah sewa rewang untuk acara ini. Ini penghinaan, Mas. Sudah cukup ya Mas disebut anak sial. Kalau ditambah perlakuan menghina begini, aku yang jadi istrimu tidak terima. Ayo kita pamit aja. Pokoknya aku mau pulang sekarang!"
Kuseret Mas Rama ke depan. Halaman samping ini tembus dari teras. Makanya Mas Rama bisa ke sini tanpa berpapasan denganku.
"Mbak Marni, kami pamit pulang dulu ya." Pamitku sambil menahan marah.
"Bapak Ibu, kami pamit pulang dulu," gantian ku pamiti Bapak dan Ibu.
"Tamu yang lain belum pada pulang, kok kalian duluan? Tidak menyumbang itu mestinya mau bantu-bantu. Yang tau diri gitu lho jadi orang," Bulek Darmi mulai nyinyir.
"Maaf ya, Bulek, kalau kami tidak membawa apa-apa ke sini. Tapi, tadi kami juga memberikan sumbangan tenaga," jawab Mas Rama.
Malu rasanya berdebat di tengah acara begini. Tapi yang punya hajat ini kok malah cari gara-gara. Untungnya sudah banyak tamu yang pulang.
"Nyumbang tenaga apa kalian ini?"
"Lho yang tadi Alana bolak balik nganter suguhan bersama Mbak Raya itu apa, Bulek? Belum lagi Bulek yang dengan jahatnya minta Mas Rama mencuci piring dan gelas kotor sementara yang lainnya sedang menikmati makanan. Padahal kan Bulek sudah bayar orang untuk masak dan beberes."
Bulek Darmi membuang muka sambil mencebikkan bibirnya.
"Ya kalau Rama lapar kan bisa ambil sendiri makanannya," masih pengeyelan Bulek ini.
"Rama tidak makan gak apa-apa kok, Bulek. Tadi sebelum berangkat sudah makan, kenyang dulu. Sekarang ... Rana dan Alana mau pamit pulang dulu," kata Mas Rama dengan sabar.
"Harusnya kamu buang aja dia di panti asuhan sejak dulu, Yu. Dari pada rugi merawat dan memberi makan sampai gede gitu. Eh tetep aja bawa sial. Sekarang punya istri makin membangkang, mending makin kaya. Kaya mah enggak, mandul iya." Bulek Darmi masih meneruskan hinaannya.
Seandainya bukan orang tua, dan seandainya hanya di depan keluarga saja, pasti sudah kuuleg mulutnya itu. Amit-amit jabang bayi, semoga anak keturunanku tidak ada yang bertingkah dan berbicara seperti itu.
"Rama itu anakku, Dar. Kok kamu dengan lancang mau naruh dia di panti asuhan? Rama makan juga tidak minta kamu, kan. Jadi rugi mu apa? Jangan karena sedang di atas, kamu jadi lupa diri." Tiba-tiba bapak menjawab dengan tenang dan datar.
Kami semua menatap bapak dengan kaget. Ibu sampai melotot di samping bapak.
"Apa yang kalian lakukan kepada Rama dan Alana hari ini adalah penghinaan untukku. Anak-anak dan mantuku sudah membantumu di acara Marni masih aja kamu hina. Kami yang miskin ini juga sering membantumu. Coba kamu ingat-ingat, siapa yang merelakan tanahnya untuk memberimu modal sampai kaya begini. Lalu kamu pernah bantu apa ke kami, saudara miskinmu ini, Dar?"
"Kamu juga, Bu. Makin tua mestinya makin sadar kalau Rama bukan penyebab kematian Bapak, waktunya saja yang kebetulan bersamaan. Bapak kan sudah sakit parah lama. Adikmu ini kan yang tidak mau membantu gantian merawatnya meski kamu sedang hamil tua. Kalau ada yang mau disalahkan, ya salahkan Darmi adikmu ini. Sudah tahu bapaknya sakit, malah dia pergi tamasya. Sudah kelamaan aku mendiamkan kalian yang selalu menghina Rama."
"Maaf ya, Ram, Bapak baru membelamu. Bapak malu sama istrimu, malah dia yang terhina sebagai istri. Padahal Bapak ini yang sudah merawatmu sejak bayi. Bapak baru sadar sekarang kalau mereka menghinamu berarti menghina bapak juga, karena bapak ini bapakmu. Maaf nak." Kata bapak sambil memeluk mas Awan.
Mereka berpelukan sambil menangis. Ibu dan Mbak Raya juga menangis, tapi entah menangis sadar, sedih atau tidak terima. Ku lihat masih ada amarah di wajah ibu. Bulek Darmi hanya menatap kami dengan wajah angkuhnya yang penuh amarah.
"Kalian semua ke rumah, Bapak ya dari sini."
"Kami pamit Dar, Marni. Semoga lancar sampai lahiran." Pamit Bapak sambil menarik lengan Ibu.
"Kami juga pamit Mar, Bulek," pamit Mbak Raya dan mas Budi.
Kami pergi dari rumah Bulek Darmi menuju rumah bapak dengan kendaraan masing-masing.
Aku berharap tak lagi ada keributan setelah ini.
*
*
Jangan lupa subscribe ya, Readers 😇
akhirnya ya rama 😭
dah aq vote n kasih bunga biar semangat ya... sukses selalu