KETIKA SECUIL CINTA TUMBUH
Riana memarkir mobil kesayangannya, Mercedes C class warna silver, di dekat pos security. Ini akan memudahkan mencari mobilnya saat pulang nanti, setelah memenuhi undangan makan siang bersama di Restoran Rich Palace yang terletak di The Street Tower, sebuah office tower yang banyak dipergunakan untuk perkantoran, di bilangan Jakarta Selatan.
Rich Palace Resto terletak di lantai empat belas, dan untuk naik kesana dapat menggunakan lift khusus yang ada di sebelah kiri bagian resepsionis The Street Tower. Ada beberapa lift untuk menuju lantai lantai yang lain dari The Street Tower, tetapi Rich Palace Resto memiliki akses lift khusus yang hanya akan berhenti di lantai empat belas tempatnya berada.
Bagi Riana restoran itu terasa menyenangkan. Terutama karena pelayanannya yang sangat istimewa. Tentu saja! Karena semua pelayanan itu sudah dimasukkan ke dalam harga makanan dan minuman yang harus dibayar oleh setiap tamu yang bersantap disana.
Agak diluar dugaan Riana, pelayanan kali ini justru lebih istimewa lagi. Di depan lift khusus ke lantai empat belas, sudah ada penjaga memakai jas hitam mengangguk ramah ke arahnya.
"Selamat siang......"
Riana mengangguk pendek, melangkah masuk ke dalam lift disertai penjaga ber jas hitam tersebut. Lift tertutup dan meluncur ke atas. Kadang ia berpikir, apa perlunya penjaga itu mengantarnya ke atas. Toh lift ini hanya akan berhenti di lantai empat belas, tanpa berhenti di tingkat yang lain.
Tapi Riana tak begitu perduli. Ia bahkan tak sempat memikirkan hal hal yang begitu mengganggu pikirannya. Sebagai seorang eksekutif muda yang tengah naik daun, pikirannya melulu tentang bisnis.
Makan siang bersama ini merupakan salah satunya. Kalau bukan anak Pak Menteri yang mengundangnya, ia lebih suka mengurusi hal lainnya. Mungkin rapat, bisa juga meeting dengan kelompok lain, atau mengadakan negosiasi dengan kontraktor yang kini sedang mempersiapkan pembangunan jalan tol.
Sampai di lantai empat belas, pintu lift terbuka, penjaga itu mengantar dengan sikap yang sopan dan wajah yang ramah. Ia tetap berdiri disisinya ketika Riana mengisi buku tamu, yang segera disambut oleh penjaga lain yang tidak kalah ramah. Hanya karena undangan khusus yang mencuat dari tas VS yang terlihat jelas, tak ada yang menanyakan.
Ia tersenyum sambil menerima tanda bunga kecil. Lalu berjalan ke dalam resto.
Tak terlalu terlambat, pikirnya. Karena masih ada tamu lain yang antri untuk memenuhi undangan ini dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada putri Pak Menteri - yang sumpah mati Riana lupa namanya.
Cuma yang membuat Riana kurang enak ialah, lelaki muda penjaga yang berjas hitam dengan dasi kupu kupu itu berjalan terlalu dekat dengannya. Waktu dia menoleh, pria itu masuk ke dalam toilet bertanda man. Kok tidak kembali kembali ke lantai dasar? Ah peduli amat! Bukan urusanku, pikirnya.
Hampir saja Riana merasa ada kekeliruan. Karena ia merasa lelaki berjas hitam yang mengawalnya dari bawah tadi juga ikut menerima bunga kecil sebagai tanda pengenal. Masa sih penjaga lift juga dapat tanda khusus seperti tamu yang lain?
Di ruang dalam, lampu lampu rekaman video menyala terang. Menyorot semua tamu yang tampak berseri seri. Di beberapa sudut yang berbeda tampak wartawan dan beberapa kru stasiun televisi yang meliput seluruh kegiatan. Riana tak merasa kikuk sedikitpun, walau ia datang sendirian.
Sebagai wanita karir yang sedang menanjak, hal seperti ini tak menjadi soal baginya. Ia sudah terbiasa datang sendiri bila menghadiri acara acara seperti ini. Waktu antri menyalami tuan rumah, Riana mendekati Jatmiko, yang lebih suka dipanggil Miko.
Miko dikenalnya sejak masih sama sama kuliah ekonomi di Bergman University Los Angeles. Bia ia mengambil jurusan Business Analyst, Miko lebih suka berjibaku di jurusan ekonomi makro. Kini lebih dikenal sebagai agen tunggal dari Bright Hope Tech, yang bulan lalu namanya muncul dalam Journal of Economic Review.
"You look great, Ria....."
"Thanks! Bagaimana, apakah kamu jadi masuk ke proyek pipa gas, Mik.....?"
"O, come on Ria, jangan bicara soal kerjaan. Kita sedang beriang ria sekarang ini. Tumben kamu datang berdua, Ria."
"Apa?"
Miko mengangkat alisnya.
Barangkali hanya alis itu saja yang bukan berasal dari barang impor. Seluruh pakaian dan asesoris yang dikenakan oleh Miko, mulai dari dasi sampai alas kaki, punya label impor yang sering diiklankan.
"Dulu katanya nggak mau pacaran, nggak mau menikah. Never.....never.....and never and never."
Memang dulu, waktu masih sama sama kuliah Riana pernah ngomong demikian. Mungkin maksudnya saat itu agar fokus pada kuliah aja. Tentu tidak, setelah ia lulus, setelah ia menjadi seorang eksekutif di beberapa perusahaan.
"Saya kan memperhatikan kamu sejak keluar dari lift, Ria." Miko menyambung ucapannya. Riana tersenyum masam.
"Gue masih nggak laku, Mik...! Makin lama permintaan cewek berusia dan punya karir makin sedikit di pasaran. Tolong carikan, Mik...."
"Yang tadi kamu bawa mau dikemanain? Kenapa tidak dikenalkan? Boleh juga dong kita kenalan? Takut jelous ya?"
Riana berumur dua puluh tujuh tahun. Cantik, tinggi, dengan penampilan yang boleh dikatakan hampir sempurna. Salah satu kekurangannya - dan cuma satu satunya - adalah menganggap sepi pembicaraan mengenai pacar, menikah, atau ledekan semacam itu.
Cuma kali ini wajahnya jadi berubah.
"Ini pelajaran pertama, Ria! Kalau ia pergi ke toilet, kau mesti tunggu. Rendah hati sedikit lah. Bagian dari sandiwara. Seperti tawar menawar tender, harus bisa sedikit mengalah untuk menang." Miko melanjutkan ceramahnya.
"Ngomong apa sih......"
Alis Miko terangkat lagi. Lalu ia berbalik.
Tak urung Riana menoleh. Bagai mendapat kabar bahwa proyeknya diterima ketika ia melihat seorang lelaki yang keluar dari pintu toilet. Rasanya ia kenal lelaki itu! Tapi dimana?
Wajahnya tenang, langkahnya pun mantap. Lelaki itu melangkah masuk ke dalam ruangan resto, seolah menerobos antrian, dengan senyum tipis menghiasai wajahnya. Senyum yang tak bisa dilupakan begitu saja oleh Riana.
"Sori, Ria. Saya kira dia cowok kamu." Miko nyeletuk melihat lelaki itu melangkah begitu saja dan hanya melewati Riana.
Riana berpikir, pantas saja Miko menduga lelaki itu pacarnya. Memang tadi mereka masuk bersama sama. Cuma tadi dia mengira bahwa lelaki itu adalah penjaga lift di lantai satu. Itulah sebabnya kenapa lelaki itu juga menerima bunga kecil sebagai tanda pengenal khusus. Memang dia bukan penjaga lift. Bahkan sekarang ada yang lain pada diri lelaki itu. Dia tidak lagi mengenakan dasi kupu kupu, jasnya juga tidak bewarna hitam. Lebih ke abu abu tua dan ada garis garisnya. Pantas ia juga tidak langsung mengenalinya saat lelaki itu baru keluar dari toilet
Riana tidak ambil peduli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Griselda Nirbita
aku mampir kak... semangat
2024-09-05
0