NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:509
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 The Seed

Aku merasa sedang berada di hotel bintang lima saat ini, yah walaupun tampak debu dimana-mana, tetap saja lantainya marmer, dan karpetnya masih empuk di bawah kakiku yang telanjang. Pria itu membawaku turun satu lantai dari tempat aku bangun tadi lalu memasuki sebuah ruangan yang persis seperti kamar hotel dan aku masuk ke kamar mandinya yang luas.

Saat aku melewati lantai atas tadi, semua ruangannya terasa luas. Aku lihat banyak sekat dinding yang dirobohkan meninggalkan sisi-sisi bergerigi yang tidak rata. Tampaknya mereka menggempur dinding-dindingnya tanpa repot-repot mempolesnya. Selain bekas di dinding, semuanya masih tetap terlihat bagus dan rapi. Sedangkan di lantai bawah seperti hotel yang tidak berpenghuni, kosong dan agak gelap. Penerangannya hanya lampu-lampu darurat yang terletak berjauhan.

Setelah selesai, aku menatap pantulan wajahku di cermin sejenak sambil mencuci tanganku. Aku tahu aku sudah tertidur berjam-jam lamanya, tapi wajahku tampak pucat dengan lingkar hitam di bawah mataku terlihat jelas seolah aku kurang tidur. Ada tiga titik biru samar di sisi wajahku, aku yakin itu bekas jari Suster Theresia. Tidak perlu di tanya seperti apa rupa pergelangan tangan dan kakiku.

Saat aku keluar dari kamar mandi aku terkisap keras melihat pria itu bersandar santai di dinding, menungguku di luar ruangan. Sayap hitamnya menjulang di balik tubuhnya. Padahal tubuhnya sudah sangat tinggi, sedangkan sayapnya lebih tinggi beberapa senti dari puncak kepalanya dan ujung bawah sayapnya terseret ke bawah seperti jubah. Berbeda dari sayap-sayap milik temannya yang lain, sayap pria ini lebih besar. Entah perasaanku atau apa, tapi rasanya sayap itu yang lebih membuatku terkejut ngeri.

“Apa aku mengejutkanmu?” Tanyanya namun aku bisa mendengar sedikit tawa kecil dari suaranya.

“Kenapa kamu harus berdiri di tempat gelap?” Aku mengusap dadaku yang terasa nyeri karena kaget. Sebenarnya aku tahu dia pasti menungguku di luar karena dia tadi bilang akan menunggu diluar. Hanya saja… Ya, itu tadi aku bilang, kenapa dia harus berdiri di tempat gelap? Aku bisa melihatnya tapi tidak benar-benar melihatnya. Apalagi rasanya tempat ini semakin gelap dan itu agak membuatku paranoid.

“Maaf.” Katanya dan rasanya suasana menjadi agak terang, seolah seseorang menyalakan lampu. Kini aku bisa melihatnya seutuhnya seperti sebelumnya dan itu agak membuatku lega. “Kegelapan biasanya otomatis mengikutiku.” Jelasnya. Walau aku mendengar ada nada bersalah tapi tetap saja bibirnya terulas sebuah senyum.

Aku menghela nafas panjang. “Yah…” Gumamku pelan. Memang apa yang kuharapkan darinya? “Thanks.” Ucapku padanya. “Mereka bahkan nggak memperbolehkanku ke toilet.” Ucapku getir.

Jadi siapa sebenarnya yang malaikat? Tadi aku benar-benar ingin ke toilet bukan seperti sebelumnya di ruang bawah tanah yang hanya menguji keberuntunganku saja.

Sekilas aku melihat amarah di kedua mata pria itu sebelum kembali menghilang. “Kamu bisa kemanapun kalau kamu disini. Tapi jangan keluar dari gedung ini.”

Tawa kecil keluar dari bibirku. Aku benar-benar harus terbiasa dengan kalimat itu. “Yah, Pastor Xaverius juga berkata yang sama sampai akhirnya aku di ikat di ranjang.” Aku tidak tahu apa Pastor Xaverius terlibat dalam penyekapanku atau tidak. Tapi mengingat itu rasanya aku masih bisa merasakan getir di mulutku seolah aku sedang mengulum pil pahit.

“Aku tidak akan mengikatmu, Amy.” Walaupun kedua matanya tampak kesal, ucapannya cukup meyakinkanku.

“Boleh tahu kenapa?” Tanyaku. “Karena disana mereka berkata kalau aku keluar dari Gereja, kalian akan memburuku. Dan disinilah aku di sarang pemburu dan ternyata sama saja, aku tidak boleh keluar.”

“Karena masih banyak pemburu di luar sana.” Kali ini bukan pria itu yang menjawab. Wanita itu. Wanita yang beberapa hari lalu duduk di depan pria ini.

Rambutnya berwarna coklat tua terikal sempurna, membingkai wajahnya yang menggoda. Berbeda dengan wanita yang tadi duduk di sisi ranjangku, wajah wanita itu lebih manis dan cantik. Tapi wanita ini lebih dewasa, setiap sisi wajahnya menampakkan keanggunan yang mutlak.

Wanita itu mengambil langkah mendekatiku, namun pria rahasia beranjak kedepannya. Kedua sayapnya sedikit terkembang. Wanita itu tetap menusukku dengan pandangannya dari balik sayap si rahasia. “Seharusnya kamu kembali ke Gerejamu.” Katanya seolah sedang meludah padaku. “Kamu tidak diterima disini.”

“Deyna.” Si rahasia mengeram rendah.

Tatapan wanita itu tampak goyah sebelum dia mengetatkan rahangnya.

“Sebenarnya aku juga nggak mau berada di mana pun selain di rumahku.” Itu artinya aku hanya ingin kembali ke pantiku. Aku pun juga tidak sudi kembali ke rumah Mikaela.

“Baik, kembalilah kesana.”

“Deyna!” Tegur rahasia lebih keras membuat Deyna mundur satu langkah.

“Dia bukan tanggung jawab kita, Raz!”

“Memang bukan! Tapi dia tanggung jawabku!”

“Kenapa kamu harus bertanggung jawab atas dia?! Dia bukan siapa-siapa!”

“Karena dia milikku.” Geramnya rendah.

Tak hanya Deyna yang tersentak, aku pun juga tersentak mendengarnya. Kalimat itu terdengar primal, seperti hukum kuno yang tidak bisa diganggu gugat. Seketika aku merasa aku ini adalah buruannya yang tidak bisa disabotase oleh siapapun. Rasanya pria ini memegang hak sepenuhnya atasku.

Kedua mata Deyna tampak goyah sebelum api mulai menyulutnya. Api itu berupa amarah yang membuatku mundur satu langkah kebelakang. Kalau tadi pria ini rasanya dilingkupi kegelapan yang mengerikan, wanita ini berbeda. Dia memancarkan hawa panas yang seolah hidup bak api yang berderak dipenuhi emosi, murka, dan kepahitan. Perlahan merasukkiku hingga rasanya membuat dadaku hampir meledak dengan emosi-emosi mengerikan itu. Tubuhku bergetar dan rasanya aku ingin mencakar dadaku untuk menarik kepahitan itu keluar dariku. Aku tidak bisa menahan rengekan kecil yang terlepas dari mulutku.

“Deyna!” Teriak pria itu. Hanya sekejap mata pria di depanku mendorong Deyna dengan kuat. Mereka berdua bergulung beberapa meter di depanku dan emosi itu hilang. Aku terjatuh berlutut di atas kedua tanganku yang masih bergetar hebat. Perasaan yang masih tersisa cukup membuat air mataku jatuh menetes deras di karpet di bawahku. Aku mendengar pergulatan pria itu dan lengkingan suara Deyna, tapi aku masih sibuk ketakutan.

Ya, Tuhan. Ini terlalu mengerikan.

Aku merasakan kepakan sayap dan hembusan angin ringan sebelum aku menyadari seseorang berlutut di sampingku. Wanita cantik itu. “Hei, Amy.” Sayapnya melingkupiku, namun dia agak menjaga jarak denganku. “Kamu baik-baik saja?”

Aku ingin menggeleng dan berteriak kalau aku tidak baik-baik saja. Tapi perlahan dengan pasti, emosi-emosi mengerikan itu mulai merembes keluar dariku. Seolah memang emosi itu adalah sebuah cairan yang merembes keluar dari pori-poriku dan perlahan aku kembali normal. Rasanya aneh, tapi memang itu yang kurasakan. Akhirnya aku mengangguk seraya mengusap air mataku dengan tanganku yang bergetar.

“Bisa berdiri?” Tanya wanita itu dan sekali lagi aku mengangguk. “Ayo, ikut denganku.”

Perlahan aku berdiri di atas kedua kakiku yang rasanya kebas dan mengikuti wanita itu berjalan ke arah sebaliknya. Aku dengar teriakan marah dari Deyna namun tampaknya mereka sedang berbicara dengan bahasa lain yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku menoleh ke belakang, namun sayap wanita ini menghalangiku.

“Tidak apa.” Ucapnya ringan dengan senyum di bibirnya. “Mereka sudah sering berdebat. Namaku Kaliyah.” Katanya memperkenalkan diri sambil membuka pintu tangga darurat. Setelah di dalam dia melipat sayapnya kembali, tidak lagi menaungiku. Sayapnya tampak berbeda dengan pria tadi, sayap wanita ini lebih kecil dan tipis namun tampak fleksibel, hampir mirip sayap burung layang-layang. “Namamu Amy?”

Aku menyedot ingusku. “Amethyst.” Jawabku. Aku harus menelan rasa malu mendengar suaraku yang serak dan bergetar. Dibanding suara wanita ini yang terdengar merdu, suaraku seperti kodok tergencet.

“Hmm… Cantik sekali.” Ucapnya sambil terkikik. “Tenang saja, aku nggak segalak Deyna. Dia memang galak sejak hari jadinya.”

“Hari jadi?” Tanyaku bingung cukup mengalihkan pikiranku dari kengerian tadi.

“Hari saat dia diciptakan.” Ucapnya, namun dia melanjutkan saat aku mengerutkan dahiku lebih dalam. “Kami ini nggak melewati proses kelahiran seperti kalian manusia, kami hanya ada. Kami menyebutnya hari jadi.” Jelasnya ringan.

“Oh.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Rasanya ada yang aneh dengan kepalaku. Aku tahu mereka ini siapa, tapi melihat mereka rasanya aku hanya melihat manusia dengan kostum sayap di belakangnya. Seperti hari *halloween* kemarin. Kecuali kegelapan dan kengerian itu yang membuat mereka lebih nyata.

Sesampainya di lantai atas, Kaliyah membawaku ke sebuah meja marmer besar yang tampaknya berfungsi sebagai meja makan dan mengulurkan sebotol air yang tadi sudah tersedia di atasnya. Aku hampir mendesah saat air menuruni tenggorokanku yang terasa kasar dan kering.

Seorang pria mendatangi Kaliyah. Rambutnya dipotong cepak, dia agak kurus di bandingkan si rahasia tapi tinggi mereka sama. Sekilas dia menatapku seolah aku ini barang tidak penting sebelum menatap Kaliyah dengan tatapan lembut. “Jangan terlalu dekat dengan gadis itu.” Ucapnya dengan suaranya yang dalam seolah aku tidak sedang berada di samping gadisnya.

“Ini Sa’el.” Ucap Kaliyah padaku dengan ringan. “Nggak usah pedulikan kata-katanya.” Lanjutnya.

Sebuah hembusan angin menerpaku sebelum seorang malaikat lagi muncul. Dia melipat sayapnya sebelum berkata, “Jadi apa yang terjadi denganmu dan Raziel?” Tanyanya tanpa basa basi. Pria ini memiliki rambut yang tergulung berantakan di atas kepalanya dan banyak helai-helai yang tidak terikat menghiasi sisi wajahnya. Dia tampak seperti penyanyi rock dengan gelang-gelang yang bergerincing di kedua tangannya.

“Astar.” Tergur Kaliyah. “Biarkan dia beristirahat dulu. Deyna tantrum dibawah,” Kaliyah menggiringku ke kursi tinggi di dekat meja. “Duduklah.” Ucapnya padaku dan aku menurutinya. “Amy terkena imbasnya.” Jelasnya lagi pada para pria itu.

“Kenapa Deyna marah?” Tanya Astar seraya memiringkan kepalanya, mendapatkan tatapan malas dari Kaliyah dan Sa’el seolah dia tidak memahami sesuatu yang seharusnya dia sudah tahu. “Apa?” Tanyanya lagi masih tampak bingung.

Sa’el mengulurkan tangannya, menepuk punggung Astar agak terlalu keras lalu menyeretnya pergi. Saat aku menoleh, ternyata Kaliyah sudah duduk di depanku sambil tersenyum, memangkukan kepalanya di kedua tangannya. Beberapa saat dia hanya menatapku seperti itu sampai akhirnya aku bertanya, “Mmm… Ada apa?” Tanyaku agak salah tingkah.

Bayangkan saja ada seorang wanita cantik yang menatapmu dalam-dalam dengan senyum di bibirnya. Bukan aku yang terpesona, malahan dia yang menatapku tampak terpesona. “Sebenarnya malam itu aku sudah mengintai di depan rumahmu.” Ucapnya santai sambil tersenyum tapi entah kenapa lama-lama menatap senyum itu rasanya agak mengerikan.

Aku berkedip dan berkedip. “Mmm… Ooke…?”

“Aku bertanya-tanya kalau kamu mati nanti,” Duh, tidak jadi oke. “Kamu akan jadi malaikat seperti apa?” Tanyanya sambil terkikik. Oke, lama-lama tawanya memang agak mengerikan seperti boneka porselen yang cantik tapi sudah rusak yang biasanya ada di film-film horor.

Aku mengusap tanganku yang merinding dan berusaha tersenyum. “Memangnya ada malaikat seperti apa saja?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Senyumnya melebar. “Banyak sekali!” Ucapnya bersemangat sampai dia melonjak-lonjak di kursinya. “Pelindung anak-anak, orang tua, pernikahan, pekerja, anak sekolah, rumah tangga. Masih banyak sekali!”

“Jadi dulu kamu juga manusia?”

Tawa Kaliyah terdengar nyaring dan ringan. “Seandainya!” Ucapnya bersemangat. “Pasti akan menyenangkan menjadi manusia! Tapi sayangnya aku dan yang lain hanya diciptakan, karena ordo kami lebih tinggi daripada malaikat pelindung.”

Aku mengangkat kedua alisku dengan takjub. Aku pernah mendengar kalau ada hirarki malaikat yang bermacam-macam, tapi aku tidak tahu apakah itu benar atau hanya karangan manusia saja. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan, namun sebelum aku menanyakannya, kisapan keras keluar dari bibirku saat Kaliyah tiba-tiba mengembangkan kedua sayapnya dan melonjak untuk memajukan tubuhnya mendekatiku. Wajahnya tepat berada di depan wajahku. Separuh tubuhnya berada di atas meja, dia menumpukan tubuhnya dengan kedua sikunya dan dia tersenyum lebar. “Jadi kenapa Raziel mengklaimmu? Beritahu aku! Beritahu aku!” Ujarnya bersemangat dengan kedua sayapnya mengepak-ngepak kecil.

Aku menelan ludah susah payah dan perlahan memundurkan tubuhku sampai punggungku terantuk sandaran kursi. Bukan hanya kaget karena tindakannya yang tiba-tiba tapi juga karena kalimat ‘klaim’ itu.

Sebelum aku menjawab dua orang pria mendekat. Sa’el dan Raziel. Sa’el memegang pinggang Kaliyah dengan kedua tangannya dan menurunkannya kembali ke lantai lalu dengan lembut dia menurunkan rok mininya yang tadi terangkat naik. Walaupun dahinya berkerut dalam, Sa’el melakukannya dengan sangat lembut. Diam-diam aku menarik senyum walau tipis. Menurutku itu terlalu lembut untuk seorang malaikat kegelapan.

“Kamu mau makan, Amy?” Tanya Raziel dan kini perhatianku teralih padanya. Kalau tadi aku bilang Kaliyah cantik, Raziel pun bisa dibilang cantik dalam kemaskulinannya. Seperti bintang film yang biasanya berperan menjadi penjahat. Di dalam cerita memang dia belum melakukan kejahatan, tapi kita sudah tahu dia itu penjahat hanya dari wajahnya. Yap, seperti itulah Raziel. Apalagi kerutan dalam di dahinya membuat kedua matanya lebih tajam. “Kamu baik-baik saja?” Raziel maju selangkah namun berhenti sebelum terlalu dekat.

“Mmm…” Buyar sudah lamunanku. Aku mengangguk. “Nggak apa.”

“Kamu mau makan?” Rasanya tadi dia sudah menanyakan hal itu.

“Tepatnya aku mau mandi.” Aku menoleh pada Kaliyah. “Apa ada pakaian yang bisa aku pakai?"

“Ada!” Ucapnya terlampau bersemangat. “Ayo!” Ucapnya sambil melonjak-lonjak dan melambaikan tangannya padaku untuk mengikutinya.

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!