~MEMBALAS DENDAM PADA SUAMI, SELINGKUHAN, DAN MERTUA MANIPULATIF~
Mayang Jianasari—wanita bertubuh gendut kaya raya—menjadi istri penurut selama setahun belakangan ini, meski dia diperlakukan seperti pembantu, dicaci maki karena tubuh gendutnya, bahkan suaminya diam-diam berselingkuh dan hampir menguras habis semua harta kekayaannya.
Lebih buruk, Suami Mayang bersekongkol dengan orang kepercayaannya untuk memuluskan rencananya.
Beruntung, Mayang mengetahui kebusukan suami dan mertuanya yang memang hanya mengincar hartanya saja lebih awal, sehingga ia bisa menyelamatkan sebagian aset yang tersisa. Sejak saat itu Mayang bertekad akan balas dendam pada semua orang yang telah menginjaknya selama ini.
"Aku akan membalas apa yang telah kau lakukan padaku, Mas!" geram Mayang saat melihat Ferdi bertemu dengan beberapa orang yang akan membeli tanah dan restoran miliknya.
Mayang yang lemah dan mudah dimanfaatkan telah mati, yang ada hanya Mayang yang kuat dan siap membalas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Lebih Peka
“Aku perhatikan, beberapa hari ini … Mbak Mayang kaya lagi ada masalah?” Lea, anak dari saudara jauh ibu Mayang, yang dipercaya untuk mengawasi rumah makan ‘Tiga Dara’ milik Mayang, duduk dihadapan Mayang saat ‘jam sibuk’ telah usai . Jam-jam sibuk rumah makan prasmanan Mayang ini adalah jam makan siang sampai jam empat sore.
Mayang menatap Lea sejenak, sebelum kembali fokus menghitung uang untuk anggaran belanja besok. Mayang memang menganggarkan belanja harian untuk bahan-bahan fresh seperti sayuran, ikan, daging-dagingan, dan seafood. Sementara perbumbuan akan dikirim tiap seminggu sekali. Lea sendiri bertugas memberikan catatan belanja kepada Mayang. Berlaku juga untuk rumah makan dan kafe milik Mayang yang lain. Lea sudah tahu apa tugasnya. Yaitu bekerja dan diam. Ferdi, Marini, dan keluarga besar suaminya itu tidak tahu menahu soal ‘aset lain Mayang’.
Semua adalah rencana Rully. Adiknya ini pintar mencari uang, tetapi bodoh soal hubungan dan pria. Impian gila Mayang sejak kecil adalah menikah. Entah ada apa dengan pernikahan dan hubungan indah di dalamnya.
“Ngga ada apa-apa, Lee," jawab Mayang, semua makhluk bernama wanita wajib dicurigai, bahkan Rully dan Lea masuk dalam daftar tersangka. Mayang hanya boleh percaya sama diri sendiri mulai saat ini. Harus teliti dan waspada.
Lea menghela napas, “Bu Marini lagi? Setelah acara di rumah Bu Nungki itu?”
“Salah satunya … tapi sudahlah. Sudah biasakan Ibuk seperti itu sama aku?” Mayang menyerahkan sejumlah uang beserta catatan setelah selesai menghitungnya kepada Lea. “Besok aku akan datang terlambat, Lee … kamu urus semuanya, ya.”
“Mbak Mayang mau kemana memangnya?” Lea menerima catatan dan uang dari Mayang tanpa melihatnya. Ia heran dengan sikap Mayang yang terkesan tertutup sejak kejadian dipermalukannya dia dihadapan keluarga besar Ferdi. Biasanya, tidak ada yang ditutupi Mayang darinya. Dan ini membuat Lea tidak nyaman.
“Besok aku ke tempat Mbak Rully dulu, bantuin dia buat persiapan pembukaan spa-nya.”
“Oh ….” Lea tersenyum, “Mbak, ngga tertarik buat beli Arumndalu?” tanya Lea tiba-tiba.
“Ndaklah … kenapa emangnya?” Mayang sedikit menyipitkan mata. Agak aneh dengan gelagat Lea. Atau mungkin karena dia sedang curiga. Mencurigai siapa saja yang bernama wanita.
Lea tertawa hambar, “Enggak ada apa-apa, sih … cuma resto itukan mau dijual. Dan Bu Marini kayaknya ingin banget memiliki resto itu. Biasanya, Bu Marini akan baik sama Mbak jika dibelikan sesuatu,” jawab Lea hati-hati.
“Kalau yang dia minta itu batik kesukaannya, bakal aku beliin, Lee … kamu pikir beli resto itu seharga sepotong kain? Yang bener aja, kamu, Lee … kecuali kalau aku udah gila, baru mau aku beliin.”
Lea terdiam, bibirnya terkatup rapat. Mayang baru saja berucap tajam dan kasar. Bagi Lea, Mayang yang di depannya ini bukan Mayang yang biasanya. Bahkan membicarakan Marini di belakang seperti ini, haram hukumnya bagi Mayang. Dia wanita paling berbakti dan menghormati ibu mertuanya. Sampai pada titik yang sedikit mengerikan, terkesan menghamba dan seperti babu.
“Maksudku bukan gitu, Mbak … tapi kalau emang Mbak Mayang sudah ngga terlalu tunduk sama Bu Marini, aku ikut senang, kok … lagian Mbak Mayang punya segalanya. Buat apa coba merendahkan diri di depan dia?” kata Lea buru-buru.
Mayang menghentikan sejenak pekerjaannya yang sisa sedikit, lalu menatap Lea dalam-dalam. Yang tidak dimengerti Mayang adalah Lea menjadi dua orang yang berbeda di depannya. Kadang dia membelanya, kadang juga memihak ibu mertuanya. Kadang meninggikan Mayang, kadang mendukung Marini.
“Aku hanya mikir, harga resto itu terlalu mahal, Lee … dan kantungku ndak nyampe buat bayar separuhnya. Lagian aku sudah punya tiga rumah makan dan satu kafe. Itu udah bikin aku lelah dan pusing. Apalagi, Ibuk nyuruh aku untuk diam di rumah dan punya anak. Jadi aku harus nurut beliau soal itu, kan? Ibuk ndak pernah bilang menginginkan resto itu, Lee … beliau ingin aku beri dia cucu.”
“Hehehe … iya, sih, Mbak.” Lea seperti kehabisan kata-kata. Ia menunduk, memainkan catatan dan uang yang diberikan Mayang padanya. Seperti malu dan sudah terlalu banyak bicara. “Ya udah, Mbak … aku pamit pulang dulu.”
“Hati-hati dijalan ya, Lee ….” Lea mengangguk dan melesat secepat kilat dari hadapan Mayang.
Sepeninggal Lea, Mayang mulai mengamankan semua uangnya. Ia mengecek satu-satu saldo di rekeningnya, surat-surat berharga, dan perhiasan yang sejak menikah ia simpan di sini. Tidak ada yang tahu brangkas rahasia Mayang, bahkan Lea sekalipun. Ketika semua aman, ia langsung pulang.
Di rumah, sebelum Ferdi pulang, hanya ada dia dan Marini. Karena menghindari kontak dengan Marini, Mayang langsung masuk ke kamar usai menyiapkan makan malam yang ia bawa dari rumah makan. Secara praktis, Mayang mulai melakukan diet sejak hari ini. Ia tidak makan malam, mengurangi karbo, makanan manis, berlemak, dan membuang semua stok camilan di kamarnya.
Tersiksa, iya … tapi dia akan berusaha. Besok pagi, Mayang akan menemui seseorang yang bisa membantunya menakar gizi harian tanpa mengganggu atau mengurangi kesehatan tubuh Mayang.
“Udah ke dokter, kamu, Yang?”
Mayang terkaget-kaget hingga ponsel ditangannya nyaris jatuh. “Be-besok, Buk!” Ia tidak menyadari kedatangan Marini ke kamarnya, menebar intimidasi yang kadang membuat Mayang merasa kecil.
“Jangan ditunda-tunda lagi. Kalau bisa ikut program kehamilan, kalau perlu pake bayi tabung!” Marini menyandarkan tubuhnya di daun pintu kamar Mayang yang terbuka lebar.
“Aku dan Mas Ferdi itu baik-baik aja, Buk … ngga perlu pake yang begitu-begituan. Berapa kalipun ke dokter, hasilnya sama. Jadi buat apa buang-buang uang dan tenaga? Bukannya lebih baik, kami fokus dengan hubungan kami saja, Buk?” jawab Mayang sedikit mendebat. Ah, lelah sekali jika setiap hari hanya membahas masalah ini.
“Justru kamu itu harus curiga jika hasilnya sama saja setiap periksa! Siapa tau udah kamu suap dokternya, jadi hasilnya terlihat baik-baik saja.” Marini mencibir Mayang dengan gerakan bibir dan gesture yang sungguh menjengkelkan. "Cari dokter lain, kaya dokter cuma Dokter Nena aja di kota ini," lanjutnya seraya berlalu meninggalkan Mayang dengan penuh aura kemenangan.
Bibir Mayang terbuka, tetapi ia seperti tersumbat seonggok batu di tenggorokan. Mungkinkah …?
*
*
*
*
Malamnya Mayang tak seperti malam-malam kebanyakan pasangan menikah. Dia memeluk separuh malam dengan kesepian dan hampa. Hanya suara televisi yang ia biarkan memenuhi ruangan kamar dan juga pekerjaan yang ia bawa pulang untuk mengusir sepinya.
“Loh … sudah tengah malam kok belum tidur?” Mayang hanya menggerakkan kepalanya sekilas, tersenyum, dan kembali fokus pada lembar kerja di laptopnya. Laporan Lea memang sempurna, dia benar-benar teliti sehingga membuat usaha Mayang lancar tanpa kendala.
“Nungguin Mas, ya?” Ferdi melingkarkan tangannya di perut buncit Mayang, yang anehnya, malah membuat Mayang risih dan jijik. Pun dengan kecupan di rambut Mayang, yang dengan cepat ia hindari.
“Ngga juga ….” Mayang menggigit bibir. Nada suaranya ketus dan pasti Ferdi curiga. Mayang adalah wanita yang kalem dan lembut. “Maksudnya … biasa kan aku nungguin Mas pulang. Meski pagi sekalipun.”
Ferdi tercekat, tetapi ia segera tersenyum dan meletakkan dagunya di pundak Mayang. “Tapi jangan tiap hari kerja begini. Nanti capek. Apa gunanya Lea kalau kamu masih harus susah payah begini?”
Mayang membebaskan dirinya dari Ferdi yang membuatnya mual tiba-tiba. “Mas!” ucapnya penuh penekanan. “Bagaimanapun, aku ini pemilik usaha. Jadi wajar dong kalau aku mengecek semua pekerjaan bawahanku.”
Ada sesuatu yang mengusik Mayang. Rasanya, dia sedang dipengaruhi untuk malas, mempercayakan semua pada orang, dan bisa saja dia dijatuhkan diam-diam. Ada apa ini?
“Iya … yang kamu lakukan emang wajar. Tapi … kamu harus ingat kata Ibuk.” Ferdi menoel hidung Mayang, senyumnya tak pernah pudar, suaranya lembut tanpa penghakiman, tapi semua itu palsu. Itu dusta yang menyakitkan.
Mayang menampik tangan Ferdi. “Aku ingat selalu ucapan Ibuk, Mas. Bahkan sudah hafal!”
“Kenapa kamu jadi meledak-ledak gini, sih?” Ferdi tertawa karena merasa lucu dengan sikap istrinya. “Bukan soal hamilnya, Yang … tapi soal kesehatan kamu. Ibuk itu sebenarnya mengkhawatirkan kesehatanmu. Kalau kamu sehat, hamil perkara mudah, Yang!” ia mencoba merengkuh Mayang lagi.
“Oh, jadi kerja begini bikin aku jadi penyakitan?” sahut Mayang sewot.
Ferdi tertawa lagi seraya mengangkat kedua tangannya, sebab Mayang terus berusaha menghindari sentuhannya. “Kamu sensian, kaya alat tes pcr. Udah, sekarang kamu tidur, lelah dan stress bikin kamu mudah marah kaya gini.”
Ferdi segera beranjak ke kamar mandi, meninggalkan Mayang yang menjatuhkan dirinya di kursi. Pikiran Mayang begitu penuh. Satu per satu, tabir seperti dibuka. Disingkap di depan matanya.
“Baiklah … besok kita mulai dari klu pertama.” Mayang buru-buru mematikan laptopnya, lantas segera naik ke ranjang. Tetapi tidak segera tidur, ia menunggu Ferdi selesai mandi.
Tak selang lima belas menit, Ferdi keluar kamar mandi dan tersenyum mendapati Mayang menurut padanya.
“Nah, gitu kan cantik!” ujarnya tanpa menghentikan gerakan tangan di kepala.
Mayang memajukan bibirnya. Ia kembali ingin muntah. “Mas, besok pagi kita ke dokter.”
Ferdi tertegun, tetapi ia segera mengiyakan. “Iya. Biar nanti Mas izin sama Saira.”
Sejenak tatapan mereka beradu, tetapi tidak ada yang bersuara. Masing-masing berkutat dengan pikiran mereka sendiri.
“Agak lama karena aku belum buat janji lagi. Yang kemarin itu udah aku batalkan!”
Ferdi menghela napas. “Ibuk desak kamu lagi?” pikirnya, Mayang jadi uring-uringan karena ulah ibunya lagi. Jujur saja, dia sangat lelah dengan pertikaian tak ada ujung ini. Ibunya yang tak bisa sedikit saja berbaik hati pada Mayang, dan Mayang tampaknya lelah dengan semua tekanan yang datang*. Ini tidak bisa dibiarkan.*
“Yang ….” Ferdi mendekati Mayang, meraih tangan Mayang dan menggenggamnya erat. “Jangan kamu dengarkan omongan Ibuk yang bikin suasana hati kamu jadi rusak kaya gini. Kamu bisa beri Ibuk pengertian. Jangan iya-iya saja. Kalau kamu selalu patuh sama Ibuk, Ibuk makin senang bikin susah kamu.”
“Aku udah beri ibuk pengertian, Mas … tapi Ibuk ndak percaya. Apa sebaiknya, kita ajak Ibuk sekalian saja besok?” Mayang melihat Ferdi terperangah sepersekian detik, tetapi pria itu segera menyusulinya dengan sebuah anggukan.
“Boleh … aku setuju jika ini akan menyelesaikan semua kemelut soal hamil dan cucu.” Mayang menyipitkan mata, lagi-lagi seperti ini. Mayang jujur saja semakin curiga. Aneh sekali. Serius tidak sih, yang dikatakan Ferdi kemarin? Atau itu hanya prank? Tapi kenapa Ferdi terlihat takut ketahuan saat bicara dengan wanita itu di telepon?
*
*
*
*
*
Udah crezy belum? tolong dimaklumi, ya ... ini lagi ikut kontes kejar-kejaran wkwkwkk
Kalau terlalu bertele-tele atau gak masuk akal komen ya ...
dearly
Misshel