"Aku akan membantumu!"
"Aku akan mengeluarkan mu dari kehidupanmu yang menyedihkan itu! Aku akan membantumu melunasi semua hutang-hutang mu!"
"Pegang tanganku, ok?"
Pada saat itu aku masih tidak tahu, jika pertemuan ku dengan pria yang mengulurkan tangan padaku akan membuatku menyesalinya berkali-kali untuk kedepannya nanti.
Aku seharusnya tidak terpengaruh, seharusnya aku tidak mengandalkan orang lain untuk melunasi hutangku.
Dia membuat ku bergantung padanya, dan secara bersamaan juga membuat ku merasa berhutang untuk setiap bantuan yang dia berikan. Sehingga aku tidak bisa pergi dari genggamannya.
Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang gratis. Ketika kamu menerima, maka kamu harus memberi. Tapi bodohnya, aku malah memberikan hatiku. Meskipun aku tahu dia hanya bermaksud untuk menyiksa dan membalas dendam. Seharusnya aku membencinya. Bukan sebaliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon little turtle 13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Reuni Adalah Maut
...WARNING⚠️...
...[Bab ini mengandung kekerasan!]...
.......
.......
...^^^.^^^...
Di dalam bus yang melaju dengan kecepatan sedang itu, Luna melamun menatap keluar jendela.
Kepalanya penuh dengan berbagai macam pikiran. Dia tidak bisa fokus kepada salah satunya. Jika bisa melihat kedalamnya, mungkin isi kepalanya seperti ruang kantor yang berantakan saat ini.
Membayangkan hal mengerikan yang telah terjadi tadi membuatnya tidak bisa menangis lagi. Untuk apa menangisi hal yang telah terjadi.
Bus berhenti, Luna turun di pemberhentian bus yang tak jauh dari tempat reuni di adakan. Dan dia memilih untuk berjalan kaki menuju ke tempat itu.
"Banyak alasan untuk mengalihkan perhatian merek, bukan?" gumam Luna.
Dia berjalan sambil menundukkan kepalanya, menatap sepatu pemberian Ayahnya yang baru pertama kali dia pakai itu.
"Sayang sekali Ayah tidak melihatnya.." gumamnya.
"Dan sayang sekali.." Luna menggantung ucapannya.
"Sayang sekali hal menjijikan seperti itu terjadi saat pertama kali aku memakainya," lanjutnya setelah beberapa saat.
Langkahnya terhenti didepan bangunan kaca yang tampak mewah itu. Dia telah sampai.
"Semua akan baik-baik saja.." ucap Luna setelah menghela napas panjang.
Luna merapikan rambutnya, lalu mulai melangkahkan kakinya masuk ke tempat itu. Menunjukkan undangan yang telah Gisele kirim, kemudian seorang pelayan mengantarnya menuju ruang makan privat yang telah teman-temannya pesan.
Luna melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih tinggal 15 menit lagi.
'Semoga masih banyak yang belum datang..' batin Luna.
Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan mengatur alarm dalam waktu 30 menit ke depan. Dia akan membuat alasan seperti waktu itu lagi untuk meninggalkan tempat.
Dia pikir semua akan berjalan sesuai dengan ekspektasi nya. Jika dia berpikir semua akan baik-baik saja, maka semuanya juga akan baik-baik saja seperti apa yang dia yakini benar.
Namun tidak.
"Ternyata dia berani datang?" bisik salah satu temannya yang terdengar lumayan keras.
Jantung Luna mulai berdebar kencang. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sambil terus berharap bahwa yang mereka maksud bukanlah dia.
"Ku kira yang Gisele katakan benar, tapi jika dia berani datang berarti berita itu palsu?"
Apa, apa yang dikatakan Gisele kepada mereka? Luna masih terus menenangkan pikirannya. Dia tak ingin memperdulikan itu, dia hanya berharap alarmnya akan segera berbunyi.
Luna menarik salah satu kursi untuk duduk. Namun saat hendak meletakkan tubuhnya, seseorang menarik kursinya dan membuatnya terjatuh.
"Gak tau malu ya ternyata.." ucap seseorang dibelakangnya. Suara itu terdengar seperti suara Gisele.
"Anak seorang pembunuh ngapain disini?!"
Dunia rasanya berhenti berputar. Kepalanya berkunang-kunang. Suara-suara disekitarnya terdengar mengecil, dan bahkan tak terdengar sama sekali. Tatapan kosongnya mengarah pada kaki meja didepan sana.
"Apa kau tuli?!" Jesica menarik baju Luna.
Luna mengangkat kepalanya dan tanpa dia sadari teman-temannya sudah melingkari dirinya yang tersungkur di lantai dengan tatapan merendahkan dan juga jijik.
"Dasar kau anak pembunuh! Kalau saja aku kemarin tidak menemui saudara ku yang bekerja di tahanan, mungkin aku tidak akan tau kalau Ayahnya ditahan disana.." ucap Gisele.
Luna membelalakkan matanya, kemudian menatap Gisele dengan penuh harapan.
"Tahanan mana yang kau maksud?"
"Dimana kau melihat Ayahku?"
"Katakan!"
Luna bangkit dan menggenggam kedua tangan Gisele. Dia sangat membutuhkan jawaban itu darinya.
"Apa kau ingin membantah nya? Aku sudah mendengar semua ceritanya!" seru Gisele sambil menghempas tanga Luna.
"Aku tidak peduli! Dimana kau melihat Ayahku?!" balas Luna dengan nada bicara yang tak kalah tingginya.
3 tahun lalu sehari setelah Ayahnya disidang dan ditahan, Luna menghampiri tahanannya. Namun mereka bilang Ayah Luna sudah dipindahkan.
Mereka bahkan tidak mengatakan kemana Ayahnya dipindahkan. Mencari tahu pun hanya bentakan yang dia dapatkan. Kini Gisele menjadi satu-satunya harapannya agar dia bisa bertemu dengan Ayahnya.
"Dasar tidak tau malu!" seru teman laki-laki Luna seraya menariknya untuk menjauhkan dia dari Gisele.
"Kau berani membohongi kami semua, dan sekarang kau mengusik temanmu?!" seru temannya yang lain.
"Kapan aku membohongi kalian?" balas Luna.
Luna berbalik dan menatap geng Gisele. Kemudian mengacungkan telunjuknya pada Bela.
"Kau? Kemarin kau yang banyak berasumsi tentang ku, kan? Apa aku mengiyakan semua ucapan mu?!" teriak Luna.
"Kau mengatakan sesuatu yang belum tentu kebenarannya pada semua orang?!"
Alex, anak yang sejak dulu terkenal dengan kegigihannya dalam mengejar cinta Gisele itu mengangkat juice jug yang berisi jus jambu. Lalu menyiramkan nya pada Luna. Dia melakukan hal itu untuk mendapatkan perhatian Gisele.
"Semua ini salahmu, dan beraninya kau menyalahkan orang lain?" seru Alex.
"Salahmu karena telah menjadi anak seorang PEM-BU-NUH!" tekan Alex.
Namun Luna bukanlah orang yang akan diam saja saat seseorang menindas nya. Jangan biarkan orang lain menindas mu, itulah yang Harley ucapkan pada putrinya saat Luna memasuki bangku sekolah dasar.
Semuanya sudah terjadi. Apa yang bisa dia tutupi. Apa yang dia harapkan baik-baik saja ternyata malah sebaliknya.
Luna menatap sepatu hak tinggi putihnya yang berubah warna itu. Kemudian mengangkat kepalanya dan tertawa.
"Dia pasti sudah kehilangan akalnya saat diguyur.." seru teman-temannya yang lain.
Luna menatap menu prasmanan yang sudah di hidangkan dengan rapi di meja sebelah sana.
"Aku sudah jauh-jauh datang kemari, setidaknya aku harus mencicipi sesuatu agar tidak rugi.." ucap Luna sambil berjalan ke arah makanan.
Dia meraih semangkuk besar capcay yang telah dihidangkan dimeja. Lalu berjalan kembali ke arah teman-temannya berkumpul.
"Ahhh~" teriak teman-temannya.
Luna menuang semangkuk penuh capcay itu di atas kepala Alex. Kemudian pergi dari ruangan itu setelah meletakkan kembali mangkuk ditangannya.
"Dasar jalang!"
Alex menarik rambut Luna saat Luna hendak membuka pintu. Menghempasnya ke lantai lalu mencengkeram bajunya.
"Kalian tau kan kalau dia punya kakak laki-laki angkat?"
"Dan dia ini adalah pelampiasan nafsunya. Aku mendengarnya sendiri beberapa waktu yang lalu!"
Ucapan Alex berhasil mempengaruhi teman-temannya.
"Omong kosong apa yang kau ucapkan?" bentak Luna.
Gisele yang melihat hal itupun tidak diam begitu saja. Dia menghampiri kedua orang itu. Berjongkok, kemudian menepuk baju Luna.
"Bajumu basah dan kotor, kau bisa masuk angin kalau keluar dalam keadaan seperti ini.." tutur Gisele.
Luna mencoba untuk bangkit, namun Alex menghentikannya.
"Guys, bantu aku.." ucap Gisele pada geng nya.
"Mau apa kamu?"
"Lepasin, Lex!"
Jesica, Bela, dan Tania datang untuk mengacak-acak baju Luna. Sedangkan Gisele berdiri dan menyalakan ponselnya untuk merekam.
"Anak seorang pembunuh adalah pelacur!" ucap Gisele.
"Kau orang hina yang tidak pantas hadir di dunia!"
"Orang mana yang berani bercinta dengan saudaranya sendiri..."
"Meskipun tak sedarah tapi kalian tumbuh bersama dalam asuhan yang sama.."
"Ibumu pasti menyesal telah melahirkan mu!"
Teman-temannya saling bersahutan memakinya. Tapi dia tidak menghiraukan, yang dia pikirkan hanyalah cara untuk bisa lepas.
Luna tidak mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk menghempas mereka semua. Yang bisa dia lakukan hanyalah berteriak sekencang-kencangnya.
"Tolong hentikan, tempat kami tidak menerima kekerasan!"
Seseorang datang, dan mereka langsung melepas Luna. Bajunya berantakan, begitupun juga dengan wajahnya. Luna langsung bangkit dan berlari keluar.
mampir juga dong ke karya terbaruku. judulnya "Under The Sky".
ditunggu review nya kaka baik... 🤗