Dunia tak bisa di tebak. Tidak ada yang tau isi alam semesta.
Layak kehidupan unik seorang gadis. Dia hanyalah insan biasa, dengan ekonomi di bawah standar, dan wajah yg manis.
Kendati suatu hari, kehidupan gadis itu mendadak berubah. Ketika dia menghirup udara di alam lain, dan masuk ke dunia yang tidak pernah terbayangkan.
Detik-detik nafasnya mendadak berbeda, menjalani kehidupan aneh, dalam jiwa yang tak pernah terbayangkan.
Celaka, di tengah hiruk pikuk rasa bingung, benih-benih cinta muncul pada kehadiran insan lain. Yakni pemeran utama dari kisah dalam novel.
Gadis itu bergelimpangan kebingungan, atas rasa suka yang tidak seharusnya. Memunculkan tindakan-tindakan yang meruncing seperti tokoh antagonis dalam novel.
Di tengah kekacauan, kebenaran lain ikut mencuak ke atas kenyataan. Yang merubah drastis nasib hidup sang gadis, dan nasib cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.L.I, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Atau hanya sebagai hiasan mempercantik. [1]
✨AGAR MEMUDAHKAN MEMAHAMI ALUR, BACA
SETIAP TANGGAL, HARI, DAN WAKTU DENGAN
BAIK
✨PAHAMI POTONGAN-POTONGAN CERITA
✨BERTYPE ALUR CAMPURAN (MAJU DAN
MUNDUR)
Wuss…
^^^Rabu, 20 September 2023 (17.05)^^^
Cairan merah kental perlahan mulai menetes ke permukaan tanah. Bertali meluncur dari dari genggaman tangan seseorang, hingga singgah ke sikutnya sebagai ujung sebelum terjun bebas satu persatu-satu menodai tanah.
Tangan itu bergetar hebat menggenggam, urat-uratnya ikut bermunculan, memeluk erat sebilah pisau dalam kepungan telapak tangan yang marah.
Banyak angin yang ikut berlalu, meributkan suasana tegang dan mencekam di tengah-tengah. Daun-daun ikut jatuh di atas serpihan kaca serta tetesan darah yang menetes kental.
Sekar terduduk lemas depan Aslan, dia terpatung, menatap tak percaya bagaimana pisau itu berada di genggaman tangannya sendiri, bersama penampakan tangan Aslan yang erat semakin banyak menumpahkan darah.
Lelaki itu nekat berdiri di depan Olivia dan menahan pisau dari Sekar, hanya bermodalkan telapak tangan yang kosong.
Jelas akan langsung menyayat kulit telapak laki-laki itu, terbukti sekarang dengan tumpahan cairan merah yang membuat netra setiap insan yang berada di sana terpaku.
Dingg!!!...
Dentuman pisau itu berdenging. Terjatuh lepas dari tangan kedua pihak yang mengenggam sebelumnya. Terkapar hampa di atas tanah yang sudah penuh dengan tetesan darah Aslan.
Dari kejauhan sebuah lensa mata bergetar, diikuti bibir pucat-pasi sang empunya yang seketika terduduk lemas di tanah usai memandangi. Dia menatap lurus penampakan Aslan yang berdiri tepat depan Sekar.
Pisau di sana jatuh dengan ceceran darah, ditemani tetasan cairan kental dari genggaman Aslan yang mengalir lewat sayatan ternganga.
Saat itu mata Aslan terlihat tajam, rautnya marah, tapi tidak bergeming dengan rasa sakit sedikitpun. Olivia di belakang cepat mendatangi Aslan setelah melihat, dia tertegun usai teriak, melepas pelukan Iefan dan lekas memeriksa telapak tangan Aslan.
Dari kejauhan Natha dapat melihat bagaimana Aslan yang mencoba untuk membuat Olivia tidak khawatir, malah memeriksa balik gadis cantik yang tampak pucat pasi karena luka di tangan Aslan, tapi Olivia terus panik dan bersikeras, sampai rela merobek seragam sekolahnya untuk membalut luka Aslan.
Entah ekspresi apa yang Natha berikan waktu itu, dia mencoba bangkit dengan perlahan, lalu pergi begitu saja dalam bungkaman. Hanya senyuman kecil yang disisakannya waktu itu.
Dia melihat pengorbanan yang Olivia lakukan, juga sempat mengingat bagaimana Aslan menahan pisau hanya dengan tangannya demi Olivia, bersama Iefan yang rela memeluk Oliva dan menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng.
Padahal kalau di pikir jika Aslan tidak sempat menahan pisaunya di depan Olivia, tentu punggung Iefanlah yang akan menjadi sasaran langsung hantaman dari pisau Sekar.
Tapi laki-laki yang bertinggikan 184 itu tidak peduli, tetap nekat memeluk Olivia untuk melindunginya. Jelas jawaban Natha mengenai pemeran novel itu adalah mereka.
Tapi anehnya saat ini Natha hanya tersenyum kecil dalam lengkungan bibir, tidak puas dengan jawaban yang dirinya dapatkan, entahlah pikirannya terlihat campur aduk serta sulit di ekspresikan.
Terlebih usai kembali mengingat bagian-bagian tadi dimana raga luarnya terlihat sangat aneh. Kalut untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
Kenyataan dirinya sebagai tokoh di novel bahkan belum usai untuk di terima, di tambah dirinya yang seolah berperan sebagai karakter wanita pemeran kedua yang terbully di kisah. Lalu di padukan lagi dengan beberapa hal ganjal yang Natha lihat sekilas tadi.
Sementara itu, Sekar sang pelaku terduduk lemas dan pucat di tengah-tengah. Tatapannya kosong, seakan masih tak mempercayai apa yang barusan tangannya perbuat.
Dia tidak berani menatap Aslan, malah memandangi nanar kedua tangannya sendiri, yang bergetar hebat dan lemas.
Beruntung masih ada kedua teman Sekar yang tersisa, mereka cepat bertindak melihat kondisi Sekar, membantu gadis itu bangun dan membawanya pergi secepat yang mereka bisa.
Siswi-siswi itu sadar betul kalau mereka sudah tertangkap basah untuk kedua kalinya sekarang, atas perbuatan pembullyan, juga tindakan yang di luar batas dan hampir menghilangkan nyawa orang lain.
Bahkan Aslan, laki-laki yang mereka kagumi selama inilah yang telah menjadi korbannya langsung. Ketika Sekar di bawa pergi, dia sempat melihat punggung Natha di salah satu sisi bangunan.
Punggung gadis itu yang hendak meninggalkan Gedung Tua bersamaan. Hanya Sekar yang mengetahui keberadaan Natha saat itu.
Di luar dugaan ketika Natha terus melangkah, dia mendapati penampakan seorang laki-laki di ujung sisi lain sebelum keluar, reflek menaikan kepala Natha untuk melihat, dan malah mendapati sosok Baron yang terjenggal mengatur nafas di depan.
^^^Senin, 25 September 2023 (13.24)^^^
Hari yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba, pekan raya perlombaan olahraga Sekolah Menengah Atas Jaya pura di gelar meriah, sorak ramai dengan para pemain dan supporter dari kelas masing-masing.
Para gadis berdandan cantik dengan jejeran bando lucu untuk tebar pesona, di padukan kumpulan laki-laki yang memakai pakaian olahraga yang sama, untuk mendukung gadis-gadis idola meraka.
Tak mau kalah dengan para supporter wanita. Banyak perlombaan yang di pertandingkan, lompat jauh, lomba lari, basket, bola kaki, bola tennis, renang, dan banyak lagi cabang olahraga lain.
Sayangnya karena cedera Olivia tidak bisa ikut di pertandingan lomba lari wanita, dia di alihkan ke pentas seni sama seperti Natha, menjadikan kelas 12-A-IPA-[89] harus menerima kekalah di cabang tersebut.
Padahal biasannya merekalah yang selalu menang dari keberhasilan Olivia. Semakin berlarut, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang sekarang, banyak perlombaan yang telah di langsungkan.
Para supporter dan atlet mulai kelelahan, mengingat hampir seharian mereka berteriak dan melangsungkan lomba.
Berbeda dengan Natha yang malah asik berjalan memberi minuman dan mendukung para atlet, padahal kakinya sendiri belum sembuh setelah cedera yang di perparah karena menendang pintu toilet kemarin.
“ Natha! “ Seorang gadis tiba-tiba berteriak dari belakang.
Mengejutkan Natha dan membuat gadis itu lekas menoleh ke balik. Dipikirnya para altet lain, tapi justru menemukan raga Olivialah yang sedang melangkah terpincang-pincang untuk mencapai dirinya.
Ada raut terdiam di pandangan Natha, dia tertegun menatap semangat Olivia demi sampai di depannya. Padahal gadis itu tengah terluka dan pincang, tapi tetap memaksakan menghampiri walau tertatih-tatih.
“ Kamu kemana aja Natha. Beberapa hari terakhir kamu selalu ngilang. “ Nafas Olivia terjenggal. Pergerakannya tadi cukup menguras tenaga. “ Aku pikir kamu marah sama aku. “
Lekas Natha menyuruh Olivia untuk duduk pada kursi kosong di sebelah. Dia tidak mau membuat gadis cantik itu semakin parah. “ Oh, haha. Gue tadi lagi ada urusan akhir-akhir ini. “
Lanjut gadis itu memberikan jawaban, padahal hanyalah kebohongan belaka. “ Sorry ya ngga ngabarin lu. “ Dia mencoba memberikan alibi tambahan.
Dan malah sibuk memerhatikan luka yang ada di pergelangan betis Olivia. “ Kaki lu gimana, udah mendingan? “
Kepala Olivia turun naik. “ Tenang aja… ngga papa. Udah mulai sembuh kok. “ Olivia tersenyum melihat sikap peduli Natha, menaikan kepala gadis itu untuk mendongak memandanginya.
“ Kamu ngga mau nonton pertandingan Iefan kah siang ini? Mereka nyariin kamu loh dari tadi pagi. “
Dia mengungkapkan maksud hati kedatangannya yang sedari tadi mencari Natha, dan barulah berhasil di temui sekarang.
Raut Natha mulai berubah tak enak. Dia mengigit bibir bawahnya sambil memikirkan ide untuk berbohong lagi, sengaja menoleh ke sisi lain dan menjauh.
Natha belum siap untuk bertemu dengan Iefan dan Aslan karena rasa bersalahnya. Jika Natha tidak nekat untuk masuk, mungkin setidaknya dia sempat untuk keluar atau menyelamatkan Olivia sebelum Sekar menghujamkan pisau itu ke tangan Aslan.
“ Mmm.. aku kayanya masih sibuk deh sekarang Olivia. Kamu aja ya. “
“ Ayolah Natha. “ Olivia cemberut. “ Kamu mau bohong sama aku ya. Atlet-atlet yang kamu bantu di sini udah pada istirahat. Ngga ada pertandingan lagi di lapangan luar sekarang, anak-anak lain juga udah pindah ke lapangan dalam. Tempat Iefan bakalan tanding nanti. “
Dia bersikeras membujuk Natha, tampak memiringkan kepala untuk melihat ekspresi Natha.
Terlihat Natha diam tidak merespon, dia termenung usai mendengar perkataan Olivia.
Alis Olivia naik dengan khawatir, sadar jika gadis yang juga sudah duduk di sebelahnya itu tampak memikirkan suatu hal.
“ Kamu ngga perlu nyembunyiin sesuatu dari aku Natha. “ Olivia tiba-tiba menggapai tangan Natha dengan lembut. Dia begitu peka dan mengerti situasi.
“ Apapun masalahnya, kamu bisa kasi tau aku. Kita cari jalan keluarnya sama-sama. Sekalipun masalah berat. “ Terlihat tatapan Olivia begitu tulus membidik Natha, membuat gadis yang di pandangi terdiam untuk sesaat.
Baru kali ini mendapat seorang teman yang malah begitu baik seperti Olivia. Natha merasa bersalah karena telah mencelakai Olivia akibat ulahnya. Padahal gadis itu begitu baik terhadap Natha seperti sekarang.
Pikir Natha kecelakaan Olivia kemarin adalah karena ulahnya. Akibat terlalu penasaran untuk mendatangkan Sekar, dan membuat mereka menduga yang tidak benar pada gadis cantik ini dalam pandangan muka Natha.
Naik manik mata Natha lurus memandangi tatapan Olivia yang begitu tulus, tidak enak harus menolak gadis itu, mungkin setidaknya Natha bisa seolah-olah tidak terjadi tahu dan tidak pernah terjadi suatu hal kemarin.
“ Eum… Okey. “ Natha mengangguk setengah ragu. Tapi tidak punya pilihan lain juga, terpaksa meng’iya’kan setelah berfikir sejenak.
Jelas Olivia senang dengan jawaban Natha, mereka lekas menuju lapangan basket di dalam gedung, bergembira untuk menonton laga pertandingan Iefan.
Kini pemandangan stadion basket menyambut mata Natha ketika datang, mencengangkan gadis itu, begitu juga Olivia yang terkesima.
Lapangan luas itu begitu penuh, padat merayap di isi dengan siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Jaya Pura. Semua penjuru kelas ada di sana, berkumpul dari kelas 10 sampai kelas 12, dengan seluruh jurusan IPA dan IPS.
Mereka berkumpul menjadi satu, berbaris rapi di setiap kursi penonton untuk mendukung tim masing-masing.
Tapi anehnya, semua kelas yang ada sudah terbagi menjadi dua tim besar, yakni antara Tim Aslan dan Iefan di sisi depan, juga tim Baron dan Dion di sisi tempat Natha dan Olivia masuk.
Siapa sangka akan sebanyak ini siswa-siswi yang begitu antusias menantikan sebuah pertandingan basket, terlihat sangat mustahil seperti di novel-novel.
Kejutan itu ternyata tak berakhir begitu saja, kemunculan Aslan di tengah-tengah lapangan membuat Natha dan Olivia sontak terkejut hebat. Bagaimana Aslan masih bisa bertanding dengan perban di telapak tangan seperti itu.
Kepala Natha berbelok memperhatikan pelatihan basket yang geleng-geleng kesal tepi lapangan, melihat tuturan langkah Aslan di tengah-tengah.
Membuat Natha mengerti pastilah Aslan yang memaksakan kehendak untuk bermain dalam pertandingan, walaupun pelatih basketnya sudah melarang habis-habisan.
Sedikit dia merasa bingung, mengapa Aslan sangat ingin main di perlombaan ini, dalam kondisi cedera di tangannya.
Ironisnya pria berbaju basket biru tua depan Aslan ternyata adalah Baron yang akan menjadi lawan main Aslan dalam pertandingan. Entah bagaimana bisa, perlombaan basket bisa terjadi langsung antara kelas Aslan dan Baron.
Padahal masih banyak kelas lain yang harus mereka lewati, terlebih dalam babak eliminasi yang akan menyisihkan setiap kelas dari jurusan IPA dan IPS, juga kelas 10 sampai 12, lalu nantinya barulah akan di satukan antara pemenang dari jurusan IPA dan pemenang dari jurusan IPS.
Cabang olahraga mereka hanya bisa di langsungkan dengan dua tim. Berbeda dengan cabang olahraga lain, layaknya renang atau perlombaan lari yang masih bisa di langsungkan secara bersama.
Dari setiap angkatan, dan nantinya barulah akan di satukan lagi pemenang dari masing-masing angkatan tersebut untuk mendapatkan juara satu dari lomba secara umum.
Jauh berbeda dengan perlombaan antar Aslan dan Baron sekarang, yang melompati babak sisih antara jurusan maupun angkatan, tanpa adanya pertandingan-pertandingan sebelumnya, padahal ini baru laga pertama hari perlombaan.
Mereka langsung bertanding final dari kelas 12-A-IPA-[89] dan kelas 12-F-IPS-[89] ke juara umum cabang olahraga bola basket.
Melihat kebetulan itu, Natha akhirnya teringat dan mencoba memahami, jika mereka sedang berada di dunia novel.
Wajar saja sang penulis akan menceritakan langsung perlombaan antara pemeran utama dan pemeran antagonis dalam cerita.
Gadis itu sudah menyimpulkan sendiri siapa saja tokoh-tokoh yang ada di novel. Termasuklah Baron yang pastinya tokoh antagonis, mencakup tiga gadis kemarin yang hampir saja mencelakai si pemeran utama Olivia.
Alur itu merupakan alur umum yang sering Natha jumpai di novel-novel. Yang mana hanya akan menceritakan tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada pemerah utama seperti lomba ini sekarang.
Semakin memperkuat keyakinan Natha, bahwa dia berada di dalam dunia novel. Walau otaknya sendiri belum memberikan keputusan pasti akan dunia yang dia alaminya, tapi seiring waktu Natha mulai mengakui dan mengatakannya jika dia memang benar berada pada dunia novel.
“ Astaga! Aslan ngapain di sana, bukannya tangan dia lagi luka ya? Kenapa dia masih maksa buat bertanding. “ Olivia panik dan kaget. Dia mau menghampiri Aslan, tapi sigap di cegah oleh Natha.
“ Olivia-Olivia bentar! “ Tangan Natha memeluk tubuh Olivia untuk tidak melangkah masuk. “ Lu ngga bisa nyamperin Aslan sekarang. Dia udah bertanding, dan lu ngga akan bisa buat ngeberhentiin dia. “
“ Kenapa ngga bisa Natha! Tangannya lagi terluka, dan pertandingan basket mempertaruhkan kekuatan dan kemampuan tangan juga. Bukannya dia udah ngelanggar aturan pertandingan. “
Olivia masih bersikukuh untuk pergi, dia hampir menangis menahan rasa khawatirnya. Terlihat sangat khawatir terhadap laki-laki pujaannya tersebut.
Sejenak Natha menyadari betapa besarnya rasa suka Olivia terhadap Aslan, begitu juga sebaliknya, terulang kembali waktu Natha mengingat perngorbanan yang Aslan lakukan terhadap Olivia.
Mereka saling suka dan saling melindungi. Reflek Natha memeluk Olivia, dia mencoba menenangkan gadis itu, tidak punya cara lain lagi untuk menghentikan niatan Olivia.
“ It’s okay-it’s okay. Dia ngga bakal kenapa-kenapa. Trust me… “ Suara Natha pelan, rautnya sedih, memeluk erat tubuh Olivia. Dengan genangan air yang sudah basah di pipi kanan dan kiri Olivia.
Gadis itu tidak akan mungkin mampu mengubah keputusan Aslan, lagi pula pelatihnya saja telah di tentang, maka jelas tidak ada lagi hal yang bisa menganggu keputusan bulat Aslan untuk tetap ikut bertanding.
“ Wouuuuuuu!!!!!!! Aslan!!!! Iefan!!!!!! Baron!!!!! Dion!!!! Aslan!!!!!! Iefann!!!!! Baron!!!! Dion!!!! “
Setelah di rasa cukup tenang, Natha akhirnya mengajak Olivia untuk pergi ke tribun sisi supporter Aslan dan Iefan. Di sana sudah penuh, Natha berulang kali melirik ke setiap kursi untuk mencari tempat.
Sementara Olivia termenung memperhatikan Aslan dengan khawatir. Mereka terlalu ramai dan ribut, bersorak memberi semangat, juga berteriak histeris dengan ketampanan Aslan dan Iefan.
Sempat gadis-gadis itu juga memperhatikan perban di telapak tangan idola mereka. Beberapa siswa di dekat Natha bahkan bergosip, bertanya-tanya penyebab luka di tangan Aslan.
“ Astaga ya ampun, aku ngga salah liat? Tangan ayang gue kenapa? Kok sampai di perban gitu? “ Raut gadis di atas Natha dan Olivia heran, mereka berada di kursi penonton paling tepi, sampai berhenti menepuk balon di tangannya untuk melihat jelas luka di tangan Aslan.
Gadis lain di sebelahnya mendengar, tampaknya adalah teman dari gadis yang bertanya tadi. “ Ih lu serius ngga tau? “
“ Ha tau apaan? Ngomong yang jelas lu. “ Gadis tadi terkejut mendapat sahutan dari temannya.
Sang teman di sebelah mencoba berbisik, tapi tetap menggunakan suara yang keras, akibat teriakan para supporter lain yang terlalu ramai dan menutupi perbincangan kedua nya.“ Lu beneran ngga tau ya, tangan Aslan itu udah luka dari tadi pagi. “
“ Haa!! Serius lu? Ya ampun ayang aku kasian… aku kok sampe ketinggalan info sih. Emangnya gara-gara apa coba, bisa sampe di perban gitu, kayanya lukanya juga gede banget, liat aja masa kaya ada bercak merah-merahnya gitu di perban Aslan. Kemungkinan masih berdarah deh. Aaa… ayang aku… “ Gadis itu menggoyangkan balon dengan geram, terlihat seolah mengasihani Aslan.
“ Iya juga ya, beneran. “ Gadis di sebelahnya ikut menyipitkan mata untuk menelaah dengan seksama. “ Kayanya pendarahan deh. Tadi dari yang aku denger si luka itu gara-gara nolongin Olivia, sama berantem sama anak cowok. Ya… katanya dua-duanya anak dari kelas 12-F-IPS-[89], trus juga yang cewek dari yang gue dengerin si, gara-gara mau ngecelakain Olivia pake pisau. “
“ Sumpah? Demi apa lu! “ Gadis yang memegangi balok terperanjat, wajahnya menatap tak percaya.
Sementara teman di sebelahnya hanya bisa mengangguk. “ He-mm… yang gue denger-denger si gitu. “
“ Ih sialan! Gatal banget si Olivia, pake drama-drama segala mau di celakain. Kenapa ngga kejadian aja sekalian, kesel banget deh gue. Dia itu selalu gatal dan minta perhatian sama Aslan. Wajar aja banyak yang ngga suka sama dia. Ih kesel banget gue liatnya! “ Gigi gadis yang memegangi balon menyatu gemas, tampak sangat kesal dan geram.
Tak sengaja gadis yang di sebelahnya melirik acak ke bawah, sialnya malah langsung menemukan sosok orang yang mereka bicarakan sedari tadi. “ Eh sut-sut! Itu ada Olivianya. Lu ngomong jangan gede-gede! “
Gadis yang memegangi balon sepat reflek terkejut. “ Hakk!!! Beneran?! “ Cepat dia menelaah mencari, dan benar langsung menemukan Olivia bersama Natha di lantai bawah. “ Ih ya udah, ngga papa. Sekalian aja dia denger, biar ngga cari muka mulu sama Aslan dan Iefan. “ Sengaja gadis itu lanjut berbicara, merasa dirinya juga sudah terlanjut di dengarkan oleh Olivia.
Ketika itu Olivia dan Natha yang berada di bawah mendengar, kebetulan berada di dekat tribun kedua gadis tadi, jadi bisa mendengar jelas setiap kata yang mereka keluarkan dari awal sampai akhir.
Tampak Olivia hanya diam di bicarakan, dia menahan diri, terlihat sedih dan merasa bersalah. Natha semula asik mencari kursi yang tersisa untuk mereka berdua duduk, tapi geraknya terhenti ketika mendengar obrolan kedua gadis tadi, dia cepat beralih melirik raut Olivia di depan wajahnya.
Emosi Natha tersulut, dia merasa tak terima dengan perkataan kedua gadis itu, karena peristiwa tadi bukan merupakan keinginan Olivia.
Tak sepantasnya kedua gadis itu juga membicarakan Olivia dengan buruk. Natha yang sadar marah, hendak berjalan dan menghampiri kedua gadis itu di tribun.
Wuss...
Sampai angin tiba-tiba berhembus dan kembali mempermainkan Natha, bahkan sebelum kakinya menginjak tangga tribun. Mereka sekejab sudah berada di kursi penonton, posisi tengah dan strategis untuk menonton Aslan dan Iefan di lapangan.
Natha yang sadar terkejut, dia mencoba memperhatikan lingkungan sekitar, melirik dan melihat keberadaan mereka hanya berbekalkan gerakan bola mata.
Tubuhnya kaku, bahkan bibirnya tak bisa di buka, jadi Natha segera sadar jika dia sedang berada di dalam adegan.
Betapa hebatnya alur di novel ini yang mampu muncul di waktu yang tepat, padahal Natha sudah ingin melabrak dan mengulek mulut dua wanita tadi.
Di tambah posisi mereka yang kala ini begitu strategis, padahal Natha ingat betul betapa padat dan penuhnya kursi penonton tadi, saat dia berusaha mencari untuk Olivia.
Bahkan keadaan stadion sekarang senyap, hening dari teriak-teriak suporter yang mengila sebelumnya. Mereka semua fokus memperhatikan pertandingan.
Natha yang hanya satu-satunya memiliki kesadaran terhadap adegan novel, cuma bisa menghela kesal dalam batin, dia tak bisa bertindak apa-apa jika adegan sudah dimulai. Kini terpaksa ikut menonton, mengikuti alur adegan seperti yang di tuliskan.
Namun seolah menimpa lagi, pertandingan di depan membuat Natha semakin heran dan kesal. Rasanya Aslan baru masuk lapangan, peluit juga baru di bunyikan, para laki-laki itu baru mulai dan memperebutkan bola, lalu mengapa sekarang skor di papan sudah menunjukan angka 92-93.
Di tambah Iefan yang sudah duduk memegangi kakinya di kursi tepi lapangan, juga waktu pertandingan yang hampir habis di papan jam besar tengah-tengah bagian atas stadion.
Pertandingan terakhir yang akan dimulai sekarang adalah pertandingan penentu antara kemenangan tim Baron dengan skor 93, atau kemenangan dari tim Aslan yang harus mencetak satu gol lagi untuk mendapatkan nilai 94.
Sempat mata Natha melirik perban Baron yang penuh dengan warna kemerahan, merasa kesal apakah penulis novel harus membuat adegan yang begitu dramatis sekarang.
Jika bukan di dalam cerita, Aslan dan Iefan pasti sudah mencetak banyak angka sejak tadi. Juga Iefan yang tak akan mudah cedera seperti sekarang.
Secarcah aliran di otak Natha tiba-tiba mengingat, apakah kejadian di luar novel juga akan memiliki pengaruh terhadap jalannya novel.
Suasana di lapangan tegang, ada dua lelaki yang saling berhadapan saat ini, mata mereka membidik satu sama lain dengan tajam.
Baron tersenyum sombong menatap Aslan, matanya bergerak melirik posisi penonton tempat Natha dan Olivia berada.
Seakan tengah mengejek dengan skor dan waktu yang tersisa, juga mengancam keberadaan dua gadis tersebut tengah tribun.
Aslan yang mengerti membalas Baron dengan tikaman tatapan, dia tak gentar, rautnya tetap tegas dan tajam. Hingga peluit untuk putaran terakhir bersuara.
Aslan cepat bergerak melewati Baron, tubuhnya gesit dan lincah, sampai lantai di sana terdengar menukik bergesekan dengan sepatu. Mereka terus bergerak satu sama salin, memperebutkan bola tersebut, saling mengoper sesama tim.
Sampai ditengah pertandingan, Baron kembali berbuat curang. Dia telah bersekongkol dengan salah satu rekan timnya, mendorong Aslan di waktu yang tepat, hingga Aslan tersungkur dan memberi kesempatan Baron untuk menginjak tangan lelaki itu dengan dalih tak sengaja.
Natha menyadari kecurangan itu, batinnya marah dan kesal. Mau berteriak bahwa kejadian itu di sengaja oleh Baron. Tapi percuma, raga Natha di luar kendali, dia tak bisa bertindak apa-apa selain ekspresi khawatir dalam adegan.
Walau sudah terlewati pasti penyebab cederanya Iefan juga dari ulah Baron. Dia sengaja menyuruh salah seorang timnya menjadi tumbal, tak apa jika sampai timya itu di keluarkan karena pelanggaran, asalkan dia tetap punya kesempatan untuk membuat parah tangan Aslan.
Waktu semakin berkurang, Baron hanya perlu membuat Aslan sakit dan tidak bisa berbuat apa-apa, sampai waktu di papan habis, dan dia menjadi pemenangnya.
Namun di luar duga rencana Baron tidak berjalan lancar sepenuhnya, Aslan rupanya masih bisa berdiri dan memaksa untuk bermain, padahal cairan merah ditangannya bahkan sudah membeludak dan melebihi batas perban.
Aslan mengepal kuat tangannya, darah perlahan menetes satu persatu di lantai, membuat Natha khawatir memperhatikan dari tribun. Dia lekat menatap mata Aslan dari jauh.
“ Sialan, lu ngga akan biarin Olivia tetap berada dalam gangguan Baron kan!? Lu bisa Aslan! Gue yakin lu pasti bisa! “ Suara batin Natha berteriak, menatap tajam ke arah Aslan, seakan memberi semangat dari hati ke hati.
Padahal seharusnya jika hanya dari olahan otak Natha, Aslan tidak akan tahu taruhan apa yang ada antar dirinya dan Baron.
Tapi Natha begitu yakin kepada Aslan seolah dia tahu jika Aslan juga sudah mengetahui perjanjian apa yang terjadi.
Pruittttt!!!!!...
Rahang Aslan mengeras, peluit akhir tambahan berbunyi, masih memberi kesempatan selagi waktu masih tersisa dalam beberapa menit.
Waktu itu memang tampak percuma, satu pertandingan mungkin tak cukup, tapi Aslan yang sudah bersiap dan menatap dengan tajam tetap bergerak maju untuk menyerang.
Baron kaget melihat ekspresi Aslan, dia tidak menyangka Aslan sekuat itu, sempat tetap berusaha untuk menghadang dan melawan dalam pertandingan.
Rautnya tak bisa fokus mempercayai usaha Aslan, hingga lelaki itu berhasil lolos. Bergerak gesit dan cepat melewati Baron dengan semua timnya dalam sekejab.
Wusss…
00.05
Aslan berlari mendribble bola.
00.04
Dia menghindar dari belakang, berbalik untuk mengelabui.
00.03
Menunduk juga mengoper bola.
00.02
Berlari gesit demi melewati, berlari kecil untuk menerima bola kembali
00.01
Melangkah dengan jarak besar, lalu mulai melompat dengan kaki kanan sebagai tolakan.
00.00
Memasukan bola tepat pada gawang.
Tetttttt!!!!!!
Wuss…
Peluit waktu akhir berbunyi keras, pita-pita kemenangan di ledakan, juga papan skor yang berubah 93-95. Aslan terdiam sejenak, sekeliling stadion sontak ramai, mereka sudah berhambur lari merayakan kemenangan.
Hingga senyum Aslan akhirnya muncul setelah beberapa waktu, baru sadar jika dia telah menang pertandingan, melihat dan menatap ke arah Natha juga Olivia di tengah stadion.
Dia tersenyum bangga, mengekspresikan rasa senangnya melihat ke sana. Iefan yang tengah cedera juga tak kalah heboh, dia berlari tertatih-tatih dan menepuk punggung Aslan dengan senang tengah lapangan. Aslan sempat melihat upaya sang teman, merasa heran dan kesal sekaligus.
Karena Iefan yang cedera masih saja memaksa untuk selebrasi. Namun keduanya segera teralihkan dengan perasaan gembira yang tumpah, kembali ke tawa kemenangan, membuat Aslan memukuli bahagia kepala Iefan.
Pelatih yang marah ikut tersenyum, hanya bisa geleng-geleng heran anak didiknya yang membangkang akhirnya menang. Kini Natha dan Olivia juga turun ke lapangan merayakan kemenangan.
Satu-satunya yang cemberut, hanya wajah Baron juga timnya. Mereka menatap penuh ketidakpercayaan, tersenyum kecut dan kesal. Baron bungkam saat teringat semua kecurangan dia ternyata masih tak memberikan kemenangan.
Mereka tetap kalah di waktu akhir, padahal sudah mati-matian Baron curangi dan sakiti. Dia tetap kalah dari Aslan sampai sekarang. Sempat Baron memperhatikan wajah Natha dan Olivia ketika hendak keluar.
Dia melirik wajah Olivia yang sumringah, lalu di buntuti wajah Natha yang tersenyum lebar. Telapak tangan Baron berubah otomatis mengepal kuat di sisi pinggang.
...~Bersambung~...
✨MOHON SARAN DAN KOMENNYA YA
✨SATU MASUKAN DARI KAMU ADALAH SEJUTA
ILMU BAGI AKU