Siapa Aku? (Cinta Ku Ada Di Alam Lain)

Siapa Aku? (Cinta Ku Ada Di Alam Lain)

Kancing? [1]

^^^Minggu, 19 Juni 2023 (18.49)^^^

Matahari siang habis tenggelam, kembali ke ufuk timur sisi malamnya, walaupun tugas dia menyinari hari ini terus di ganggu oleh awan mendung yang bertebaran.

Cuaca sejak pagi tidak berubah, hujan yang sempat terjeda kembali aktif. Meributkan malam sunyi dibawah kebisingan pikiran seorang gadis. Jendela kamar insan tersebut terbuka setengah, dia sengaja membiarkan angin hujan masuk.

Ada beberapa rasio yang belum terselesaikan di tempurung otak. Gadis itu memilih duduk depan meja belajar, tempat kaca bening lainnya terletak, sebelah kaca jendela yang terbuka. Tapi masih memberi peluang angin untuk bersemilir penuh menerpa wajah Natha dari luar.

Gadis itu memilih menjejakan bokong pada kursi depan meja belajar, tempat kaca bening lainnya terletak, sebelah daun jendela yang terbuka. Namun cukup memberi peluang angin untuk bersemilir penuh menerpa wajah sang gadis dari luar.

Dia memang suka duduk dan termenung menikmati arus udara, guna menghabiskan petikan waktu. Terutama ketika banyak pikiran, jadi akan lebih santai dan tenang apabila dia bisa menikmati angin-angin disekitaran wajah, suatu kegemaran besar gadis tersebut.

Waktu sudah berjalan ke pukul 18.49, hampir dua jam lebih gadis itu hanya duduk termenung memandangi kaca. Sekedar diam guna menatapi tiap tetesan hujan yang bertali turun ke bawah pada dataran luar jendela bening. Namun tak kunjung mendapatkan jawaban atas pilihan sendiri.

Tadi siang gadis itu memperoleh pemberitahuan untuk pembayaran daftar ulang semester 4, juga buku ajar yang harus di beli. Hampir tiga minggu dia sudah menunggak.

Jadi admin yang bertugas memintanya untuk segera melunasi biaya kuliah, atau memang masih tidak di tunaikan, makan secara otomatis gadis itu akan di Drop Out.

Sudah sebelumnya dia berupaya meminta kompensasi agar menunda atau setidaknya menyicil pembayaran, sayangnya admin di sana tidak mengizinkan lagi.

Banyak mahasiswa yang juga memiliki kasus seperti dirinya, jadi jika gadis itu diberi izin maka akan terasa tidak adil bagi mahasiswa lain yang ditolak. Uang di tabungan gadis tersebut juga tersisa sedikit, mungkin semata cukup untuk setengah dari harga daftar ulang.

Tersisa dua pilihan terakhir di benaknya yang terus meronta di gelimpagan otak malam ini, antara dia berhenti kuliah, atau memang mencoba meminta bantuan ibu guna membayar biaya kuliah.

Gadis itu berfikir pada satu rencana yang akhirnya jatuh terpilih, dia tetap akan membayar kembali uang yang di pinjam dari ibu, berharap jika novelnya bisa selesai dan menghasilkan sedikit uang.

Maka dari uang itu dia akan menyicil dan melunasi nominal dari bantuan ibu, sehingga dengan kata lain gadis itu tetap akan membayar sendiri, tapi hanya mencoba meminjam kepada ibu untuk membayar sementara di masa sekarang.

Sempat terdengar di telinganya, beberapa insan lain bisa mendapatkan uang sebatas dari cerita yang mereka buat, di zaman yang semakin maju tahun 2023. Sekedar bermodalkan kisah dan alur, lalu di kirimkan pada penerbit, orang-orang sudah bisa menerima uang yang jumlahnya lumayan.

Atas demikian, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan paruh waktu, gadis itu terus menulis dan merangkai kisah. Berharap tulisannya kelak juga bisa di terima oleh para penerbit buku, dan memberikan penghasilan.

Jadi satu-satunya jalan keluar yang pertama sebelum berhenti kuliah di masa mendesak sekarang adalah mencoba berbicara kepada ibu guna membantu dirinya.

Malam ini gadis itu berinisiatif untuk membicarakan langsung, walau dalam hati yang berdebar dan tidak karuan.

Perbincangan dirinya dan ibu perihal kuliah terakhir kali tidaklah berujung bagus, entah begitu juga atau tidak pada topik kali ini.

“ Natha!... ayo makan! “ Suara ibu menggelegar dari luar kamar. Sudah waktunya makan malam.

Menaikkan eksistensi telinga sang gadis, setelah namanya terpanggil. Dia diam sejenak mengelola undangan ibunya, makan malam ini adalah kesempatan bagi gadis bernama panggilan Natha tersebut supaya bertanya.

Karena jika menunggu pagi hari ibu pasti akan sibuk dan tidak terlalu mendengarkan permintaannya. Sementara waktu malam setidaknya ibu cukup lengang, dan dia sedikit memiliki peluang guna berbicara baik-baik demi membujuk ibu.

Gadis itupun lekas berjalan keluar dari sembunyian kamar, memenuhi panggilan dari luar, dia duduk di meja depan televisi sisi kanan pada ruang tengah, posisi yang dekat dengan kamarnya.

Lalu ibu juga akan meletakkan tubuh di belahan kiri dari televisi, sebab dekat akses menuju dapur belakang, mereka sudah biasa dan selalu duduk di posisi yang sama.

Keduanya mulai makan dengan lazim, hari ini ada lauk ikan asin, dan tempe yang sudah ibu panaskan. Tempe sisa kemarin, dengan kangkung yang baru ibu masak agar lebih nikmat memakannya saat panas.

Ibu menonton televisi layaknya makan malam biasa, dia tidak banyak bertanya terhadap sang anak tentang acara-acara yang disiarkan. Hanya fokus dan tersenyum lucu, dari penampilan para tokoh dalam layar kaca canggih yang sederhana dekat tembok ruang tengah.

Berulang di sela makan gadis itu berniat untuk buka suara, tapi senyum ibu yang asik menyaksikan tontonan membuat niatnya ragu, sampai makanan yang di meja akhirnya habis.

Mereka telah selesai makan malam, ibu sedang mencuci di wastafel dapur, dengan gelisah Natha juga ikut membantu dan mengemasi sisa-sisa piring juga makanan di permukaan meja kecil ruang tengah.

Setelah puas termenung, akhirnya gadis itu merasa menyerah, dia terlalu takut, dan berpikir mungkin bukan waktunya malam ini untuk mengobrolkan, masih ada pagi esok. Dia tidak ingin membuat suasana ceria ibu malam ini berpindah hancur.

“ Ibu tau ada yang ingin kamu omongkan dengan ibu. “ Suara tegas nan lembut seorang wanita paru baya memecah niatan mengalah gadis tersebut.

Ibu sudah selesai mencuci piring. Menurunkan kerah lengan baju juga mengibas untuk mengeringkan tangan. Beralih menatapi sang anak di belakang.

Wanita paru baya itu rupanya cukup sadar dengan kegelisahan yang anak semata wayangnya perbuat selama makan, naluri seorang ibu tidak akan pernah tumpul untuk mengenali.

Hanya saja dia berpura-pura asik, dan mencoba menikmati dulu makanan yang ada. Akan terasa tidak nyaman jika makan sambil membicarakan hal yang serius.

Natha sontak terkejut usai mendengar tuturan kalimat dari ibu, dia hendak pergi ke kamar, barang-barang yang di kemas telah selesai.

Tapi terjeda karena ibu yang menyela bersuara. Lantas memindahkan aksi gadis tersebut guna menoleh menengok balik raga ibu, dalam posisi yang sama dan jarak di antara. Tidak berprasangka jika ibunya akan sepeka ini.

Ibu membidik kembali iras anaknya dengan lekat. Sorotan matanya terlihat menurun. Ada campuran tatapan sedih dan tegas.

“ Tapi sebelum itu ibu katakan. Kamu pasti udah tau bagaimana hidup dan keseharian kita. Bisa makan dan menyekolahkan kamu sampai lulus SMA aja udah beruntung. Jadi ibu harap kamu juga akan mengerti mengapa ibu ngga pernah mendukung kamu untuk kuliah. “ Naluri ibu tajam dan tepat.

Tebakan tentang hal yang di omongan sama persis, memang Natha sejak tadi ingin membicarakan perihal kuliah.

Gadis itu terpatung menerima gelombang kata-kata dari ibunya, cukup tidak menyangka jika naluri wanita paru baya di depan akan setajam ini.

Tapi dia juga jauh telah menebak beberapa persen hal yang dia perkirakan sendiri jika ibu cepat paham dan mengerti hanya dari gerak-geriknya.

Kendati bukan permasalahan itu yang sekarang menganjal di hati Natha usai menerima ujaran, termasuk bukan niat untuk berbicara lagi dengan ibu agar membantu membayar biaya daftar ulang.

Melainkan alasan keras mengapa ibunya terus menolak mentah-mentah niatan sang anak untuk kuliah sejak pertama, yang justru menarik pemikiran gadis itu menjadi bergejolak saat ini.

Padahal dulu semasa Sekolah Menengah Atas ibu selalu menasehati Natha supaya bersekolah dengan benar. Dia di minta ibu harus bisa menjadi anak yang terpelajar walaupun ibu sampai perlu banting tulang agar mampu memenuhi biaya pendidikan.

“ Kenapa? “ Gadis itu mencoba berbalik bertanya. Alisnya menyatu penuh emosi.

Ibu yang hendak pergi ke kegiatan lain terhenti, padahal niatnya hanya ingin memberi pemberitahuan kepada sang anak, dan berharap gadis itu memahami sehingga tidak membicarakan lagi permasalahan di awal.

Naas, rencananya tidak berjalan dengan baik, gadis tersebut malah mempertanyakan permasalahan yang lain. Ibu cuma merespon diam setelahnya, mendengar perkataan putrinya dari belakang.

Tidak menoleh atau mencoba menatapi, sekedar memberi jeda diam untuk menerima gelombang suara.

“ Kenapa ngga bu?! Kenapa cuma kuliah? “ Gelora emosi di batin Natha terlihat sudah tidak bisa terbendung.

Dia melanjutkan kalimat sebagai ungkapan perasaan dan isi hati yang selama beberapa waktu di pendam.

“ Dulu semasa sekolah ibu selalu ingetin aku untuk jadi orang yang terpelajar. Bahkan dengan semua usaha dan pengorbanan ibu demi aku mengayomi pendidikan. Tapi sekarang, saat aku bener-bener ingin kabulkan keinginan ibu dan jadi orang terpelajar yang diakui semua orang. Mengapa malah ibu tentang? Kenapa malah ibu yang balik ngga mendukung aku? “

Memang sewaktu gadis itu bermula masuk kuliah, sang ibu telah menentang mentah-mentah niatannya. Justru berbalik menolak walau Natha sudah berupaya dengan niat menimba ilmu menggunakan beasiswa sekalipun.

Padahal semasa sekolah dahulu ibu begitu gila agar Natha dapat mengemban pendidikan, pantang jika dia sampai ketinggalan kelas atau bolos dari sekolah.

Yang meningkatkan hasrat gadis itu usai terlanjur terpupuk guna menambah pendidikannya ke yang lebih tinggi dan memiliki gelar. Sayang ketika sudah ingin mewujudkan, sikap ibu tiba-tiba saja berubah, wanita paru baya itu bergilir drastis untuk menolak maksud gadis tersebut guna berkuliah.

Atas demikian, dahulu Natha masih belum berani untuk bertanya. Hanya berpura-pura menurut padahal aslinya dia tetap saja diam-diam mendaftarkan diri pada salah satu perguruan tinggi, di kota tempat kelahirannya. Kebetulan menjadi salah satu universitas favorite di negaranya, bahkan mencakup manca negara luar.

Ibu sedikit terperanjat atas reaksi Natha, tapi masih mampu menahan kesabaran, dan akhirnya memilih tidak mengidahkan pertanyaan sang anak.

Dia memilih beralih merapikan barang-barang dapur yang tersisa. Menahan suatu hal dalam diam dan ketersengajaan tidak merespon. Kerongkongan wanita itu terlihat tercekat karena memendam.

“ Ibu jelasin! Jelasin sama aku tentang alasan itu. “ Natha belum menyerah, walau di acuhkan dia bersikeras meraih responsivitas dari ibu. “ Kalau ibu jelasin, mungkin bisa aja aku memilih berhenti sekarang. Biaya pendaftaran aku nunggak, aku juga ngga tau harus cari uang ke mana. Tapi ada satu alasan yang buat aku tetep kekeh untuk kuliah walaupun ngga tau gimana caranya. “

Berangsur suara menanjak Natha mulai turun dengan stabil, dia mendekat perlahan ke arah ibu dari belakang. Penglihatannya mulai berkaca-kaca dalam perasaan emosi, cukup terluka setelah semua perlakuan yang ibunya perbuat beberapa waktu terakhir.

“ Perkataan ibu yang nyuruh aku buat jadi orang terpelajar. “ Kalimat Natha lugas, tapi berirama pelan dan mengalun, terdengar sangat pedih ketika menuturkan.

Gadis itu berujar serius sambil menatap punggung belakang wanita paru baya yang tampak tak berisi.

Telinga ibu memanas setelah mendengar, wanita dengan rambut pendek yang di ikat setengah ke sudut belakang kepala tersebut, lantas menghempas barang yang di pegang. Sudah tidak mampu lagi untuk menahan. Dia mendorong sang anak kembali ke kamar.

“ Udah Natha! Cukup! Balik ke kamar kamu sekarang! “ Dengan tegas ibu memerintahkan.

Tapi Natha masih enggan untuk menyerah, dia tidak memperdulikan. “ Ngga bu! Pliss jangan bersembunyi lagi dari aku, dan jelasin ke aku tentang semua alasan ibu! Aku bisa aja berjuang untuk kuliah dari biaya novel yang aku kerjakan. Aku akan coba usahakan upaya itu sendiri bu! Ngga akan minta uang dari ibu sepeserpun. Sekalipun iya, aku akan bayar kembali sama ibu. Ngga berniat untuk ngebebanin ibu sama sekali. Aku janji! Aku cuma akan kuliah dengan biaya dan usaha aku sendiri demi mewujudkan keinginan ibu. “

Suasana di sana semakin keruh, kedua mata Natha terlanjur bergelimpang cairan. Dia bersikeras memegangi sepasang telapak ibu. Agar wanita itu bisa menatap mata dia sepenuhnya dan mendengarkan.

Ibu terkejut, pandangan matanya bergerak bolak balik menatap dalam sisi kanan dan kiri netra memarah dari sang anak. Hati ibu terluka melihat wajah putrinya.

Tapi masih mencoba mengontrol diri agar tidak menjatuhkan air mata, juga berupaya tegar supaya tidak terluluhkan dengan tatapan sang putri.

Anaknya sudah cukup keras kepala sekarang untuk menentang dia. Jadi ibu pikir dia harus lebih tegas kepada gadis berusia 19 tahun tersebut.

“ Iya? Dari uang novel? “ Ibu bertanya meragukan Natha. Terlihat perkataan dan wajah ibu sudah kacau. Ada campuran emosi disebalik kata-katanya, telah kehabisan kesabaran sejak tadi.

Alis-alis gadis di depan bergelombang, naik turun dengan bingung. Tatapannya heran menerima ekspresi ibu.

“ Maka sekarang ngga ada lagi novel yang bisa kamu harapkan! “ Ibu pergi beralih dari pegangan Natha, menghempas kukungan jari-jemari itu.

Meninggalkan kebingungan dan panggilan heran dari anaknya. Dia berjalan cepat masuk ke kamar Natha yang berada di sisi kanan bagian rumah. Mengobrak-abrik lalu mencari suatu hal di kamar sang putri.

Natha berupaya mengikuti dari belakang, dia kaget dengan aktivitas yang ibunya perbuat dalam kamar. Mencoba mencegah juga bertanya dengan tindakan dari ibu. “ Ibu, berhenti! Ibu! Ibu pliss… berhenti! Ibu mau cari apa! “

Ibu sungguh tidak mengidahkan suara dari manapun, kamar gadis itu hampir berantakan sepenuhnya, beberapa buku-buku sudah bertaburan di lantai kamar.

Banyak baju juga rak yang di serakan, di lempar dan di hamburkan di atas dataran bilik. Sampai sebuah buku di lantai bawah meja belajar, bekas dia mengobrak abrik lembaran lain, dan terlihat menghadiahkan keberadaan benda tersebut karena terlempar ke sudut kamar.

Membuat ibu akhirnya diam dalam sejenak waktu, perlahan menunduk untuk meraihnya. Mata ibu memerah kombinasi cairan bening menatap nanar buku di genggaman tangan.

Ibu ingat buku ini adalah susunan lembaran kertas yang sering sang anak gunakan ketika membuat novel, ibu sudah lama menentang Natha untuk menulis.

Wanita paru baya tersebut berpikir membuat cerita khayalan seperti itu tidak ada gunanya, tapi mengingat hal demikian tidak terlalu menganggu keseharian sementara Natha.

Jadi dulu ibu tidak terlalu bermakrifat untuk melarang Natha dengan keras. Sampailah di malam ini, ternyata ada harapan besar dari kegiatan itu yang menjadi salah satu alasan kuat sang anak tetap bersikeras guyuran hujan deras di malam itu mendapatkan sebuah ide.

Mungkin bisa dikatakan ide gila dan nekat. Ibu panik dengan tatapan Natha memandangi hujan, dia hendak mencegah. Tapi Natha sudah mendorong tumpah tong panas tersebut dengan kedua belah telapak tangannya.

Gadis itu tidak memedulikan rasa panas dan terbakar di sekujur kulit tangannya, sampai siraman deras hujan di malam itu benar-benar bisa membuat api di sekitaran buku habis.

Tubuh munggil itu terus melangkah mendekat ke ibunya dengan memegangi novel setengah terbakar depan perut, kulit-kulit telapak tangannya terlihat kemerahan. Dia menatap wajah ibu dalam keadaan basah kuyup ulah hujan.

Ada tatapan mendalam di mata Natha atas ketercewaan besar kepada ibunya.

“ Kamu sengaja membakar ini bu? “ Natha bertanya dengan suara pelan menatap ibu, tapi terdengar melodi luka yang begitu menyayat.

Di matanya berharap ada jawaban ‘tidak’ dari mulut ibu. Tatapannya dalam dan penuh kesedihan.

Ibu menahan emosi dan tanggisnya, dia kehabisan pikir dengan tindakan Natha barusan. Sudah sebangkang itukah Natha dengan perkataan dari dia.

Ibu menjadi naik pitam menatapi mata Natha. “ Iya! “ Kemarahannya sudah tidak bisa terbendung lagi. “ Kamu tadi bertanya sama ibu tentang alasan ibu yang ngelarang keras agar kamu kuliahkan?! “ Nada wanita itu terlanjur naik berbicara di depan anaknya.

Matanya memerah berair bercampur rasa murka. Sudah kehabisan cara untuk membuat Natha mendengarkan keinginan dia. “ Ha! Iya? Baiklah ibu jelasin sekarang! “

Mata Natha yang berkaca-kaca berganti dengan alis yang mengkerut. Dia menatapi ibu dengan raut kecewa bercampur heran. Ada rasa kaget dengan reaksi ibunya sekarang.

Untuk pertama kalinya dia menatap mata ibu yang penuh amarah. Dan untuk pertama kalinya dia seakan tak mengenal ibu. Setelah semua kemarahan sejak kecil, baru di malam ini jiwa ibu membeludak berkoar-koar, seperti bukan sosok wanita paru baya yang dikenalinya.

“ Iya! Ibu sangat tidak suka jika kamu berkuliah. Haruskah kamu menjadi orang bodoh! Sudah cukup ibu kesusahan membesarkan kamu! Mau sampai kapan ibu harus banting tulang hanya karena seorang anak! Ibu capek Natha! ibu juga bisa capek!! “

Wanita itu berteriak dengan semua tenaga. Entah sadar atau tidak ibu sudah mengungkit keberadaan Natha. Atas kelahiran gadis tersebut.

Bola mata Natha melebar penuh, malam itu hujan semakin ribut dan deras. Gemuruh-gemuruh terus bersautan.

Anak!

Anak!

Anak!

Kata itu seakan mengulang di kepala Natha. Dia diam mengamati raut ibu, jantungnya berpompa cepat merasa syok, dua bola mata Natha kembali penuh dengan genangan air.

“ Maaf jika kehadiran Natha membuat ibu kesulitan. “ Suara itu pelan dari lirihan gadis tersebut.

Ibu terpatung setelah mendengar, dia kaget sudah berbicara hal yang di luar batas. Pangling langsung berbalik menatapi wajah sang putri.

Tapi terlalu tidak sanggup menyorot langsung dua netra anaknya sendiri, memilih untuk berbalik dan pergi karena hal ini adalah satu-satunya cara agar Natha berhenti kuliah.

Dengan tekat dan meneguhkan hati, ibu memilih untuk meninggalkan Natha begitu saja di malam itu. Bawah lebatnya guyuran air Tuhan pada luar rumah halaman belakang, tengah gendang petir yang menjilat-jilat.

“ Apakah ibu semalu itu dengan kehadiran Natha? “

Langkah ibu terhenti, kalimat itu sukses membuat dia terkejut. Matanya melebar seakan tidak percaya jika anaknya sudah berkata demikian. Tapi diam dan enggan menoleh sama sekali.

“ Ibu Natha minta maaf, tapi Natha juga tak ingin jika kehadiran Natha malah membuat ibu menjadi seperti ini. “

“ Cukup Natha. “ Ibu bersuara tanpa menoleh.

“ Ibu jika bisa meminta, Natha juga tak ingin di lahirkan di saat itu. “

“ Natha ibu bilang cukup! “

“ Ibu bisakah- “

“ Natha!!! “

Plakkkkkk! Ceglekkkkk!

~Bersambung~

Episodes
1 Kancing? [1]
2 Kancing? [2]
3 Dia hanya sebuah benda. [1]
4 Dia hanya sebuah benda. [2]
5 Berukuran kecil. [1]
6 Berukuran kecil. [2]
7 Beragam motif dan warna.
8 Semua kancing itu berbeda-beda. [1]
9 Semua kancing itu berbeda-beda. [2]
10 Sesuai tugas dan fungsinya. [1]
11 Sesuai tugas dan fungsinya. [2]
12 Benda itu akan dipakai pada pakaian yang sesuai dengannya. [1]
13 Benda itu akan dipakai pada pakaian yang sesuai dengannya. [2]
14 Banyak pakaian yang menggunakan kancing.
15 Banyak pakaian yang selalu ada kancing. [1]
16 Banyak pakaian yang selalu ada kancing. [2]
17 Entah sebagai alat untuk menyatukan helai pakaian. [1]
18 Entah sebagai alat untuk menyatukan helai pakaian. [2]
19 Atau hanya sebagai hiasan mempercantik pilin-pilin helai tergunting. [1]
20 Atau hanya sebagai hiasan mempercantik pilin-pilin helai tergunting. [2]
21 Atau hanya sebagai hiasan mempercantik. [1]
22 Atau hanya sebagai hiasan mempercantik. [2]
23 Tidak semua kancing bisa digunakan pada satu baju yang sama. [1]
24 Tidak Semua Kancing Bisa Digunakan Pada Satu Baju Yang Sama. [2]
25 Pernahkan Sebuah Pakaian Tidak Jadi Dipakai Hanya Karena Kancing? [1]
26 pernahkan Sebuah Pakaian Tidak Jadi Dipakai Hanya Karena Sebuah Kancing? [2]
27 Taukah seberapa besar pengaruh kancing? [1]
28 Taukah Seberapa Besar Pengaruh Kancing? [2]
29 Pernahkan pakaian baru dianggap rusak hanya karena sebuah kancing? [1]
30 pernahkan pakaian baru dianggap rusak hanya karena sebuah kancing? [2]
31 Mereka akan sadar saat benda itu menghilang. [1]
Episodes

Updated 31 Episodes

1
Kancing? [1]
2
Kancing? [2]
3
Dia hanya sebuah benda. [1]
4
Dia hanya sebuah benda. [2]
5
Berukuran kecil. [1]
6
Berukuran kecil. [2]
7
Beragam motif dan warna.
8
Semua kancing itu berbeda-beda. [1]
9
Semua kancing itu berbeda-beda. [2]
10
Sesuai tugas dan fungsinya. [1]
11
Sesuai tugas dan fungsinya. [2]
12
Benda itu akan dipakai pada pakaian yang sesuai dengannya. [1]
13
Benda itu akan dipakai pada pakaian yang sesuai dengannya. [2]
14
Banyak pakaian yang menggunakan kancing.
15
Banyak pakaian yang selalu ada kancing. [1]
16
Banyak pakaian yang selalu ada kancing. [2]
17
Entah sebagai alat untuk menyatukan helai pakaian. [1]
18
Entah sebagai alat untuk menyatukan helai pakaian. [2]
19
Atau hanya sebagai hiasan mempercantik pilin-pilin helai tergunting. [1]
20
Atau hanya sebagai hiasan mempercantik pilin-pilin helai tergunting. [2]
21
Atau hanya sebagai hiasan mempercantik. [1]
22
Atau hanya sebagai hiasan mempercantik. [2]
23
Tidak semua kancing bisa digunakan pada satu baju yang sama. [1]
24
Tidak Semua Kancing Bisa Digunakan Pada Satu Baju Yang Sama. [2]
25
Pernahkan Sebuah Pakaian Tidak Jadi Dipakai Hanya Karena Kancing? [1]
26
pernahkan Sebuah Pakaian Tidak Jadi Dipakai Hanya Karena Sebuah Kancing? [2]
27
Taukah seberapa besar pengaruh kancing? [1]
28
Taukah Seberapa Besar Pengaruh Kancing? [2]
29
Pernahkan pakaian baru dianggap rusak hanya karena sebuah kancing? [1]
30
pernahkan pakaian baru dianggap rusak hanya karena sebuah kancing? [2]
31
Mereka akan sadar saat benda itu menghilang. [1]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!