Jia Andrea selama lima tahun ini harus bersabar dengan dijadikan babu dirumah keluarga suaminya.
Jia tak pernah diberi nafkah sepeser pun karena semua uang gaji suaminya diberikan pada Ibu mertuanya.
Tapi semua kebutuhan keluarga itu tetap harus ditanggung oleh Jia yang tidak berkerja sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rishalin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 17
Kini Pak Alan sedang menunggu Jio yang pergi ke kamar untuk mengambil berkas yang akan mereka bawa ke rumah Rangga sambil menunggu beberapa orang suruhan Jio.
Pak Alan yang menunggu Jio di ruang keluarga pun, ditemani oleh Bu Dinda, Jia serta Amira yang sedang fokus bermain boneka.
"Nanti kalau aku sudah sibuk di perusahaan, aku mau menyewa babysitter untuk Amira." Ucap Jia tiba-tiba, membuat Bu Dinda dan Pak Alan menoleh.
"Kan ada Mama, Sayang. Kenapa harus repot-repot menyewa Babysitter?" Ucap Bu Dinda dengan lembut.
"Mama nanti cukup mengawasi sambil duduk saja. Biar babysitter yang mengawasi sembari menemani Amira bermain. Aku juga gak mau Mama kelelahan kalau harus merawat Amira sendirian." Jia memberi pengertian kepada Mamanya agar Mamanya itu tidak tersinggung.
"Ya sudah. Terserah kamu saja. Papa akan ikut apa yang menurut mu baik." Pak Alan angkat bicara.
Jia terus memandangi Amira yang fokus dengan bonekanya. Jujur saja dia menyembunyikan rasa gugup saat menunggu Jio dan Pak Alan bersiap akan ke rumah Rangga.
"Nanti kita mampir ke kantor Jio dahulu ya Pa, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan dan tidak mau melibatkan orang lain." Ucap Jio yang sedang berjalan menuruni anak tangga.
"Iya. Tapi Nanti kalau Rangga tidak ada di rumah bagaimana Jio? Takutnya kita sampai di sana Rangga belum pulang kerja." Tanya Pak Alan kala melihat Jio yang berjalan menuruni tangga sembari memeriksa berkasnya kembali.
Jio menatap ke arah sang Ayah.
"Itu malah akan mempermudah kita Ayah, jadi usaha kita kesana tidak akan sia-sia. Karena tanpa jawaban dari Rangga kita menganggapnya jika pihak mereka akan setuju untuk perceraian ini." Jawaban Jio membuat Pak Alan menganggukkan kepalanya.
"Soal tanda tangan itu bisa menyusul. 3 hari lagi akan di adakan persidangan. Berdoa saja agar dia tidak datang agar Kakak dengan segera bisa lepas dari manusia seperti mereka." Lanjut Jio menjelaskan pada Papanya.
Jia yang mendengarnya pun sedikit lega. Walaupun nanti Rangga tidak ada di rumah, berarti itu tandanya dia akan dengan segera bebas dari masalah ini.
***
"Rendi, bagaimana dengan pengacara yang Mama serahkan ke kamu?" Tanya Bu Arum kepada Rendi
"Uhuk uhuk.." Rangga tersedak ketika mendengar ucapan ibunya tepat setelah dia meminum minumannya.
"Bu, bukannya kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Dan ibu setuju jika kita hanya menggertak Jia tanpa pengacara." Ucap Rangga yang syok karna tiba-tiba sang ibu menginginkan menyewa pengacara.
"Kamu jangan terlalu bodoh Rangga. Jika kita hanya menggertak tanpa memakai pengacara itu sama saja bohong. Jia akan semakin semena-mena karna Mas yakin bahwa Jia pasti akan menjadikan adiknya sebagai pengacara untuknya sendiri." Ucap Rendi yang membela Mamanya.
Rangga terdiam sejenak, jika Jia menggunakan sang adik untuk menjadi pengacaranya otomatis Jia tidak keluar biaya sama sekali.
Sedangkan dirinya harus menyewa pengacara dan itu akan membuat dirinya keluar uang lagi.
"Lalu siapa yang akan membiayai Pengacara tersebut Mas?" Tanya Rangga dengan ragu.
Rendi, Arum, Litta dan Mayang pun menoleh menatap ke arah Rangga bersamaan.
"Ya kamulah, kan ini masalah mu. Ya kamu sendiri yang menanggung. Masa iya pakai uang Mas sih, gak mau lah aku." Ucap Rendi dengan santai.
Rangga menatap ke arah sang Mama, dia ingin sekali menyuruh Mamanya untuk membiayai Pengacara tersebut.
"Ma, uang ku yang Mama simpan kan terkumpul lumayan banyak. Itu pasti bisa untuk menyewa pengacara, jadi biayanya Mama yang nanggung ya." Ucap Rangga dengan ragu dan langsung mendapat tatapan tajam dari Bu Arum.
"Apa-apaan kamu. Kamu mau menagih uang mu dari ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan kamu. Kamu mau menjadi anak durhaka kalau menganggap uang itu semua hutang untuk Mama? Hahh?" Jawab Bu Arum sengit, membuat Rangga seketika terdiam.
"Bukan gitu Ma. Aku juga butuh uang itu untuk menyewa pengacara. Lagian kan gak akan habis semuanya hanya beberapa juta saja. Nanti sisanya buat Mama tanpa Mama kembalikan juga gak papa." Jawab Rangga.
Arum menggelengkan kepalanya karena tidak percaya akan ucapan Rangga.
"Ini ajaran Jia sama kamu. Kamu di ajarkan untuk berani sama Mama seperti ini? Kamu itu sudah selayaknya dan sepantasnya berbakti sama Mama. Dengan cara seperti ini, memberi apa yang kamu punya sama Mama tanpa timbal balik dan tanpa di anggap hutang piutang." Ucap Bu Arum lagi dan kali ini benar-benar membuat Rangga terdiam enggan menjawab.
"Lagian uang mu sudah habis semua untuk biaya Litta kuliah." Lanjut Arum lagi.
Rangga hanya bisa terdiam tanpa menjawabnya. Sekarang dia pusing harus mencari uang kemana lagi. Gajinya sudah habis, di minta setengah oleh Mamanya. Dan setengahnya lagi untuk dia belanjakan bersama Manda. Dan Dia sama sekali tidak memiliki tabungan.
"Papa mu sudah tidak ada. Mas mu juga sudah membiayai anak dan istrinya. Kalau bukan sama kamu lalu Mama harus minta sama siapa lagi untuk membiayai Litta kuliah. Kamu seharusnya sadar diri Ga. Sewaktu kamu dan Mas mu yang kuliah itu masih ada bapak mu yang membiayai mu. Masa kamu tega untuk membiarkan adik mu tidak kuliah sedangkan kedua Masnya tamat perguruan tinggi." Bu Arum tidak henti-hentinya mengoceh karena kesal dengan Rangga perhitungan dengannya.
Rangga yang merasa pusing pun hanya membiarkan Mamanya mengoceh. Dia sama sekali tidak menanggapi ocehan Mamanya itu.
Rendi dan Mayang yang mendengarnya pun tidak ingin ikut campur. Mereka berdua takut jika nanti endingnya mereka juga yang harus menanggung biaya kuliah Litta.
"Kemarin-kemarin masih ada Jia yang menanggung semua pengeluaran kebutuhan rumah. Sekarang Jia sudah tidak peduli dengan kita. Mayang memberi uang juga hanya cukup untuk makan dirinya, Rendi dan Zura. Kamu mau Mbak dan Mas mu makan kenyang tetapi kamu, Mama dan Litta kelaparan? Mama saja sekarang bingung membagi uang untuk kebutuhan rumah dan kebutuhan kuliah Litta. Belum lagi uang jajan bulanan Litta." Lanjut Bu Arum yang masih mengoceh.
"Sudahlah Ma gak usah di bahas. Rangga pasti mengerti kok. Iya kan Ga?" Ucap Rendi menengahi perdebatan adik dan ibunya itu.
Bukan tanpa alasan Rendi berbicara seperti itu. Dia hanya takut jika malah nanti di sangkut pautkan untuk menanggung biaya kuliah atau biaya makan keluarga mereka.
Rangga tidak menganggapi ucapan Rendi, dia hanya diam enggan berkata sedikit pun.
"Aku sudah selesai. Aku pamit berangkat kuliah dahulu." Ucap Litta yang tidak mau mendengar ocehan Mamanya lebih lama lagi.
Litta meninggalkan meja makan dan dengan cepat dia berangkat kuliah.
"Aku juga mau berangkat kerja. Takut kesiangan." Timpal Rendi yang juga baru menyelesaikan sarapan paginya.
Satu persatu keluarga Rangga meninggalkan Rangga sendiri yang masih setia duduk di kursi meja makannya.
Diam-diam Rangga meremas sendok yang sedang dia pegang. Dia bingung harus mencari biaya kemana kalau memang benar-benar Mamanya menyewa pengacara untuk dirinya.
Rangga bangkit dari duduknya setelah menghembuskan nafas lelahnya. Masalah datang padanya secara bertubi-tubi akhir-akhir ini.
Satu belum selesai sudah ada tambahan masalah lagi. Dan sialnya masalah itu tidak jauh dari Mamanya. Yang mana dia tidak bisa kalau memprotes ibunya terus menerus karena dia tahu, dia pasti kalah telak.
Berjalan perlahan meninggalkan meja makan. Rangga masuk ke dalam kamar dan mengambil tas kerjanya, lalu segera keluar dan segera berangkat kerja tanpa berpamitan pada Bu Arum yang sedang duduk bersantai di kursi depan rumah.
Bu Arum pun tak menghiraukan kepergian Rangga. Dia merasa masih jengkel dengan sikap Rangga pagi ini.
*******
*******