Letnan Hiroshi Takeda, seorang prajurit terampil dari Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, tewas dalam sebuah pertempuran sengit. Dalam kegelapan yang mendalam, dia merasakan akhir dari semua perjuangannya. Namun, ketika dia membuka matanya, Hiroshi tidak lagi berada di medan perang yang penuh darah. Dia terbangun di dalam sebuah gua yang megah di dunia baru yang penuh dengan keajaiban.
Gua tersebut adalah pintu masuk menuju Arcanis, sebuah dunia fantasi yang dipenuhi dengan sihir, makhluk fantastis, dan kerajaan yang bersaing. Hiroshi segera menyadari bahwa keterampilan tempur dan kepemimpinannya masih sangat dibutuhkan di dunia ini. Namun, dia harus berhadapan dengan tantangan yang belum pernah dia alami sebelumnya: sihir yang misterius dan makhluk-makhluk legendaris yang mengisi dunia Arcanis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sapoi arts, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sihir dan Senjata
Hiroshi melangkah perlahan di dalam gua yang gelap, mengandalkan keahlian militernya untuk tetap tenang dalam kegelapan yang menyelimuti.
Suara tetesan air menambah kesan menegangkan, sementara langit-langit gua yang tinggi seolah mengancamnya dengan keheningan yang menakutkan.
Dia terus memeriksa senjata Kar98k di tangannya, memastikan pelurunya terisi penuh. Meskipun senjatanya lebih cocok untuk pertempuran jarak jauh, dia tahu betapa pentingnya menjaga ketenangan dalam situasi seperti ini.
Di sepanjang jalan, Hiroshi melihat banyak hewan aneh terkurung dalam sangkar. Beberapa tampak ketakutan, yang lain terlihat agresif, menggeram seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Dia melanjutkan, merasakan bahwa dia semakin dekat dengan tujuan, saat itu pandangannya tertuju pada sebuah ruang besar di ujung gua.
Ketika dia tiba di ruang besar, Hiroshi tersentak. Di tengah ruangan, sebuah pemandangan yang mengejutkan menantinya. Seorang anak kecil manusia terkurung dengan rantai, wajahnya pucat dan pakaiannya lusuh, mencerminkan kehidupan yang penuh penderitaan. Namun, yang lebih menakutkan adalah sosok di sampingnya; seorang makhluk dengan tangan hitam seolah terbakar, berdiri diam dengan jubah yang menutupi tubuhnya. Wajahnya aneh, mulutnya sangat lebar, menciptakan kesan mengerikan seperti sesuatu yang berasal dari mimpi buruk.
Hiroshi berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar. Dia harus berfungsi di bawah tekanan. Dengan hati-hati, dia melangkah maju, senjata Kar98k tetap siap. Ketika dia mendekati rantai yang mengikat anak itu, dia mengeluarkan kunci sihir yang diberikan Calista. Sementara makhluk itu tampak seperti sedang tidur, Hiroshi tahu bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu.
“Tenang,” bisiknya kepada anak itu, “Aku di sini untuk menyelamatkanmu.”
Saat Hiroshi mulai melepaskan rantai dari pergelangan tangan anak itu, dia merasakan gerakan di belakangnya. Secara refleks, dia menoleh dan melihat makhluk itu mulai bergerak. Ketegangan menyelimuti ruangan, dan tanpa berpikir, Hiroshi menutup mulut anak itu dengan lembut, memberi isyarat agar dia tetap diam.
“Jangan berisik,” dia berbisik sambil cepat-cepat melepaskan rantai terakhir. Anak itu membuka matanya lebar-lebar, tampak bingung, tetapi Hiroshi tidak punya waktu untuk menjelaskan.
Begitu rantai terlepas, anak itu berdiri dengan tubuhnya yang gemetar. Setelah berhasil melepaskan anak itu dari rantai yang mengikatnya, Hiroshi segera menggendongnya, berusaha menghindari detak jantung yang berdengung di telinganya. Namun, sepertinya nasib tidak berpihak pada mereka. Suara menggonggong anjing bergema, dan makhluk menyeramkan itu terbangun dengan suara melengking yang menggetarkan dinding gua.
“GRRRRRRRRRR!!!” Suara itu menggema, menandakan bahwa makhluk itu siap mengejar mereka. Hiroshi, panik, berlari secepat mungkin dengan anak kecil itu terpeluk di dadanya. Kaki-kaki makhluk itu berdentam-dentam di belakangnya, semakin dekat.
"Jangan berisik! Tetap di sini!" Hiroshi berbisik dengan tegas, meskipun dia tahu anak itu tidak bisa banyak membantu dalam situasi ini. Dia merasakan napasnya yang cepat dan tidak teratur di lehernya, mencerminkan ketakutannya.
Hiroshi melangkah cepat, menghindari batu-batu tajam yang berserakan di lantai gua. Setiap langkah terasa berat, setiap detak jantung seperti mendengungkan suara makhluk itu di telinga.
Hiroshi berlari menyelamatkan diri ke dalam celah sempit di gua yang gelap. Dia berhenti sejenak, mengatur napas dan mendengarkan suara langkah makhluk mengerikan itu yang semakin jauh.
Dalam kegelapan, dia merasa aman, meskipun jantungnya masih berdegup kencang.
Anak itu terengah-engah, matanya lebar dengan ketakutan. Hiroshi memandangnya, mencoba memberi rasa tenang. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lembut meski tegas.
Anak itu hanya mengangguk, wajahnya pucat dan terkejut. Hiroshi memandangnya lebih dekat; dia tampak seperti anak manusia biasa, meskipun matanya terlihat penuh harapan dan ketakutan.
“Namamu siapa?” Hiroshi bertanya, berusaha memecah kesunyian yang mencekam.
“...Aku... aku tidak tahu. Mereka menyebutku dengan nomor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar. “Tapi… bisa panggil aku Seraphine.”
Hiroshi merasakan ketegangan di dalam hatinya. “Seraphine,” dia mengulangi, mencoba mengingat nama yang mungkin penting ini. “Apakah kau putri Seraphine?”
Anak itu mengangguk, air mata mulai mengalir di pipinya.
“Iya, aku putri. Mereka menculikku… Aku terkurung di tempat gelap. Aku tidak tahu berapa lama.”
Hiroshi merasa lega mendengar pengakuan itu. Dia tahu bahwa yang dibawanya adalah bangsawan yang dicari.
“Kau aman sekarang. Aku akan membawamu pulang,” dia berjanji, meskipun suara makhluk itu masih menggema di jauh.
Seraphine menjelaskan lebih lanjut, “Mereka menangkapku saat aku sedang bermain di taman istana. Aku tidak tahu ke mana mereka membawaku, tapi aku mendengar banyak orang yang terperangkap seperti aku.”
Hiroshi mendengarkan dengan seksama. “Apa kau tahu siapa yang melakukan ini? Mengapa mereka menangkapmu?”
“Tidak banyak yang bisa aku ingat. Hanya suara gelap yang menyuruhku diam… dan lalu, mereka mengunci aku di sini,” Seraphine menjawab, wajahnya semakin pucat.
Hiroshi merasakan kemarahan menyala dalam dirinya. “Jika mereka menyakiti kau, aku tidak akan membiarkan mereka lolos.” Dia berusaha menunjukkan ketenangan, tetapi rasa marah itu sulit ditekan.
Mereka berdua berdiam di dalam celah gua, meresapi kegelapan dan keheningan yang mendalam. Hiroshi menyiapkan senjatanya, memastikan peluru di dalam Kar98k-nya terisi penuh, meskipun jantungnya berdebar keras.
“Dari mana kau datang, Seraphine?” Hiroshi bertanya, berusaha mengalihkan perhatian anak itu dari ketakutan.
“Aku datang dari Kerajaan Eldoria. Mereka… mereka menculikku untuk meminta tebusan,” jawabnya dengan suara pelan. “Aku harap orang tuaku mencariku.”
Hiroshi mengangguk, merasakan empati tumbuh dalam dirinya. “Kita akan menemukan jalan keluar, dan aku akan membantumu kembali ke rumahmu.”
Seraphine menatap Hiroshi dengan harapan, meskipun matanya masih dipenuhi ketakutan. “Apakah… apakah kita bisa keluar dari sini?” dia bertanya ragu.
“Kita harus berusaha,” Hiroshi menjawab tegas. “Tetap bersamaku, dan kita akan menemukan cara.”
Mendadak, suara langkah kaki kembali menggema, membuat keduanya terdiam. Makhluk itu sepertinya telah kehilangan jejak mereka, tetapi Hiroshi tidak berani mengambil risiko.
“Kita harus pergi sekarang,” dia berbisik, mengajak Seraphine untuk merayap keluar dari celah. Dengan penuh perhatian, dia mengawasi sekitar, memastikan jalan aman untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Saat mereka bergerak, Hiroshi merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat di pundaknya. Melindungi seorang putri, terjebak dalam situasi yang berbahaya, menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya. Dengan tekad yang membara, dia bersiap menghadapi setiap ancaman demi keselamatan anak itu.
Hiroshi merasa sejenak aman saat mereka melangkah keluar dari celah sempit itu. Dia menggandeng tangan Seraphine erat-erat, berusaha mengingat setiap belokan dan lorong yang telah mereka lewati. Dia tahu bahwa setiap langkah harus dipikirkan dengan matang jika mereka ingin selamat dari makhluk yang mengerikan.
“Terima kasih telah menyelamatkanku,” kata Seraphine, suaranya masih bergetar. Dia melihat Hiroshi dengan penuh harap. “Tapi, siapa namamu?”
“Hiroshi,” dia menjawab, berusaha terdengar tenang. “Sekarang, mari kita keluar dari sini.”
Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Tiba-tiba, teriakan Seraphine memecah keheningan. “Hiroshi!” Dia menjerit, suaranya penuh ketakutan.
Hiroshi berbalik dan melihat makhluk itu muncul kembali dari kegelapan, tangan besarnya meluncur dengan cepat, menghantam tubuh Hiroshi hingga terhempas ke tanah. Sebuah rasa sakit yang tajam menjalar di kepalanya.
“Akh!”
Hiroshi mengerang, darah mengalir dari lukanya.
Dalam keadaan setengah terjatuh, Hiroshi dengan cepat mengangkat Kar98k-nya, menembakkan beberapa peluru ke arah wajah makhluk itu.
“DOrrr” Suara senjata bergaung, tetapi makhluk itu hanya terhuyung sedikit, seolah tidak terpengaruh oleh peluru yang mengarah ke wajahnya.
Hiroshi bangkit, merasakan adrenalin mengalir dalam dirinya. Dia tidak punya pilihan lain. Menggenggam katana dengan erat, dia melangkah maju.
“Kau tidak akan mengambilnya dariku!” teriaknya, berusaha mengusir rasa takut yang menggelayuti pikirannya.
Makhluk itu mendengus, wajahnya menyeringai dengan gigi tajam. Dia mengeluarkan suara menyeramkan, seperti desahan angin malam.
“Kau tidak akan bisa menyelamatkannya, manusia!” Suaranya bergema, menggetarkan udara di sekitar mereka.
Hiroshi mengayunkan katana, serangan pertamanya meleset saat makhluk itu bergerak cepat, menghindar dari tebasan.
“Dia masih anak! Kau tidak punya hak untuk menyakiti!” Hiroshi berteriak sambil mengerahkan seluruh tenaga.
Makhluk itu mulai melancarkan sihir gelap, melafalkan kata-kata kuno dalam bahasa yang tidak bisa dimengerti.
“Zha’ruul mar’thar!”
Dan seketika, gelombang energi gelap meluncur ke arah Hiroshi, mengarah ke tubuhnya.
Hiroshi terpaksa melompat ke samping, merasakan semburan energi itu mengoyak tanah di dekatnya. “Damn!” dia mengumpat, tidak ada waktu untuk ragu.
“Seraphine!” dia berteriak, “Jauhkan dirimu dari sini!”
Seraphine menatap dengan ketakutan, namun Hiroshi tidak bisa membiarkannya di bawah ancaman makhluk itu.
Dia harus berjuang untuk hidup mereka. Menggenggam katana, Hiroshi melancarkan serangan bertubi-tubi, berusaha menemukan celah di pertahanan makhluk itu.
“Mari kita akhiri ini!” Hiroshi berteriak, melakukan serangan mendalam dengan katana-nya, menusukkan ke arah sisi makhluk. Namun, makhluk itu tidak mudah dikalahkan; dia membalas dengan serangan sihirnya yang semakin ganas.
Hiroshi menghindar dengan gesit, merasakan peluh dingin membasahi dahinya. Pertarungan ini tidak hanya menguji fisik, tetapi juga keberanian dan keteguhan hatinya. Dalam kepanikan, dia mulai memikirkan langkah selanjutnya, dan Seraphine yang menontonnya semakin tegang.
“Jangan biarkan dia menang, Hiroshi!” Seraphine berteriak, memberikan semangat. “Aku percaya padamu!”
Suara itu memberi Hiroshi kekuatan baru. Dia menancapkan kakinya ke tanah, menyiapkan katana dengan penuh konsentrasi. Makhluk itu kembali melancarkan sihirnya, namun kali ini, Hiroshi telah siap.
“Aku tidak akan mundur!”
Dengan satu tebasan kuat, dia menyasar ke arah jantung makhluk itu, bertekad untuk mengakhiri pertempuran ini secepat mungkin.