Di tahun terakhir mereka sebagai siswa kelas 3 SMA, Karin dan Arga dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka sering bertengkar, tidak pernah sepakat dalam apapun. Namun, semua berubah di sebuah pesta ulang tahun teman mereka.
Dalam suasana pesta yang hingar-bingar, keduanya terjebak dalam momen yang tidak terduga. Alkohol yang mengalir bebas membuat mereka kehilangan kendali, hingga tanpa sengaja bertemu di toilet dan melakukan sebuah kesalahan besar—sebuah malam yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Setelah malam itu, mereka mencoba melupakan dan menganggapnya sebagai kejadian sekali yang tidak berarti. Namun, hidup tidak semudah itu. Beberapa minggu kemudian, Karin mendapati dirinya hamil. Dalam sekejap, dunia mereka runtuh.
Tak hanya harus menghadapi kenyataan besar ini, mereka juga harus memikirkan bagaimana menghadapinya di tengah sekolah, teman-teman, keluarga, dan masa depan yang seakan hancur.
Apakah mereka akan saling menyalahkan? Atau bisakah kesalahan ini menjadi awal dari sesuatu yang tidak terduga? Novel ini mengisahkan tentang penyesalan, tanggung jawab, dan bagaimana satu malam dapat mengubah seluruh hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardianna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan
Setelah mengantarkan satu per satu sahabatnya pulang, Karin akhirnya tiba di rumah. Dia memarkirkan mobilnya di garasi dan masuk ke dalam rumah.
Baru saja melangkah masuk, ibunya, Bu Salma, langsung muncul dari ruang tamu dengan ekspresi serius.
Bu Salma (dengan nada tegas): "Karin, kamu langsung ganti baju ya. Sebentar lagi les. Udah waktunya belajar, jangan lupa target kita tahun ini kamu harus masuk jurusan kedokteran!"
Karin (mendengus pelan sambil melepas tasnya): "Iya, Ma... Tapi aku capek banget abis sekolah. Bisa nggak sih istirahat dulu sebentar?"
Bu Salma (menggeleng sambil tetap tegas): "Nggak ada istirahat-istirahat, Karin. Kamu tau kan, jadi dokter itu butuh perjuangan ekstra. Kamu nggak boleh buang-buang waktu cuma buat main-main. Ini demi masa depan kamu."
Karin (menghela napas, jelas terlihat lelah): "Iya, iya... Aku ngerti, Ma. Tapi... kadang aku pengen punya waktu buat diri sendiri juga, nggak cuma belajar terus."
Bu Salma (sedikit melunak tapi masih berusaha keras membuat Karin paham): "Karin, Mama ngerti kamu capek, tapi kamu harus ingat, dokter itu profesi mulia. Banyak orang yang berharap bisa jadi dokter, dan kamu punya kesempatan itu. Mama cuma mau yang terbaik buat kamu."
Karin (terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan): "Iya, Ma. Aku ngerti kok. Aku ganti baju dulu ya."
Bu Salma (tersenyum tipis): "Bagus. Jangan lama-lama, lesnya sebentar lagi mulai."
Karin berjalan ke kamarnya, menarik napas panjang sebelum masuk. Di dalam kamar, dia melemparkan dirinya ke kasur dan menatap langit-langit kamar dengan lelah.
Karin (berbicara pada diri sendiri): "Kenapa sih semuanya selalu tentang les, kedokteran, dan masa depan... Kapan aku bisa milih jalan hidup aku sendiri?"
Setelah beberapa saat, dia akhirnya bangkit, berjalan menuju lemari untuk mengganti baju dan bersiap untuk les.
Meski hatinya masih sedikit berat, dia tahu ini bukan saatnya untuk melawan ibunya.
Karin baru saja selesai ganti baju dan bersiap-siap untuk pergi les. Sambil menatap cermin, dia menghela napas panjang.
Pikirannya masih melayang-layang, mengingat tekanan dari ibunya yang selalu menuntutnya untuk sempurna dalam segala hal.
Saat dia keluar kamar, dia melihat Bu Salma sedang duduk di ruang tamu dengan raut wajah yang tegas seperti biasa.
Bu Salma: "Hari ini kamu berangkat sama supir ya! Papah belum pulang.”
Karin (menyeka dahinya, tampak lelah): "aku bisa sendiri ko, Aku bisa sendiri kok, deket juga tempat lesnya. Nggak usah khawatir."
Bu Salma (mendengus): "Enggak, kamu tetap diantar supir. Biar nggak ada alasan buat molor di jalan atau malah ngayap lagi! Udah Mama tau kamu tuh kadang suka kabur dari les."
Karin (terkejut, mencoba membantah): "Yallah, Ma... Enggak kok! Aku nggak kabur, aku selalu les!"
Bu Salma (menaikkan alisnya, jelas-jelas tidak percaya): "Oh iya? Kalau gitu kenapa waktu itu kamu bilang pulang telat karena macet, padahal Mama tau dari guru les kamu kalau kamu telat datang?"
Karin (menunduk, merasa tertangkap basah): "Itu cuma sekali, Ma..."
Bu Salma (dengan nada penuh peringatan): "Pokoknya, kamu diantar supir. Nggak ada alasan buat nggak datang tepat waktu. Udah cukup Mama capek mikirin masa depan kamu, jangan bikin tambah pusing."
Karin (menghela napas panjang, menyerah): "Iya deh, Ma. Aku diantar aja."
Bu Salma (mengangguk puas): "Bagus. Ingat ya, Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Jangan sia-siakan kesempatan ini."
Karin hanya bisa diam, meskipun di dalam hati dia merasakan beratnya tuntutan ibunya.
Karin menarik napas dalam-dalam saat berjalan menuju pintu depan. Sebelum keluar, dia melirik ke arah Bu Salma, yang masih duduk di ruang tamu, membaca buku.
Karin: "Ma, aku berangkat dulu ya."
Bu Salma (tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya): "Hati-hati di jalan. Jangan lupa langsung ke tempat les, jangan mampir-mampir."
Karin (sambil membuka pintu): "Iya, Ma. Les, pulang. Gitu aja kan."
Bu Salma (menatap Karin sebentar, nada suaranya lembut namun tegas): "Mama serius, Karin. Fokus sama tujuan kamu. Jangan sia-siain waktu."
Karin (tersenyum tipis, meskipun dalam hati merasa sedikit tertekan): "Iya, Ma. Aku ngerti. Aku pergi dulu ya."
Bu Salma hanya mengangguk sekali, kembali ke bukunya.
Karin keluar rumah, mendapati mobil sudah menunggu di depan dengan supir yang membuka pintu untuknya.
Dengan perasaan yang bercampur aduk antara tanggung jawab dan keinginan untuk bebas, Karin masuk ke mobil dan mulai perjalanan menuju tempat les.
Di dalam mobil, Karin memandangi jalanan melalui jendela, pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan teman-temannya tadi. Sementara itu, bayangan Arga dan masa kecil mereka terus muncul di benaknya.
Karin (dalam hati): “Kangen juga rasanya dengan Arga kecil. Dulu kita sering main bareng, tertawa, dan berbagi cerita. Rasanya mudah sekali akrab waktu itu. Tapi kenapa sekarang dia jadi nyebelin banget? Setiap kali ketemu, cuma bikin ribut terus. Aku bahkan nggak tau apa yang salah antara kita. Dulu, semua terasa lebih sederhana. Kenapa semuanya jadi rumit sekarang?”
Karin menggigit bibir bawahnya, merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan.
Ada rasa nostalgia yang menghangatkan hati dan kemarahan yang membakar semangatnya.
Dia tahu, meskipun dia dan Arga pernah dekat, banyak hal telah berubah, dan hubungan mereka kini jauh dari yang diharapkannya.
Dengan pikiran yang penuh, Karin membiarkan mobil membawa dirinya menuju tempat les, berharap waktu bisa menyembuhkan luka-luka lama dan membawa jawaban tentang hubungan rumit mereka.
Disisi lain Arga dan teman-temannya baru saja sampai di tempat tongkrongan mereka setelah pulang sekolah. Mereka duduk melingkar di sekitar meja, sambil membuka makanan dan minuman yang mereka bawa.
Riko (menyeruput minumannya): "jadi ga lo kenapa tadi telat ke kelas?.”
Arga (memainkan smartphone-nya, terlihat agak tegang): "Ya, lo tau lah. Gara-gara Musuh gue Karin.”
Cicio (sambil melahap makanan): “ribut kenapa lagi sih.?”
Arga (mencoba menjaga nada santai, tapi ada ketidaknyamanan dalam suaranya): "Gue lagi tarik Karin, tiba-tiba galang murid baru itu, dia nongol dan sok pahlawan."
Bibo (tertawa kecil): "Wah, si Galang berani juga ya. Baru hari pertama udah berani ngelawan lo."
Denandra (mengangguk sambil memandang Arga): "Kenapa sih bisa ribut gitu?"
Arga (berusaha menjaga rahasia, dengan nada dingin): "lo semua tau kan emang dia tuh suka bikin masalah. Dan si Galang itu, kayaknya mau cari ribut juga."
Riko (mengangguk, tampaknya masih penasaran): "Tapi lo sendiri kenapa sih? Kayak ada masalah pribadi sama Karin?"
Arga (meneguk minumannya, lalu menghela napas): "Masalahnya, Karin tuh emang nyebelin. Dulu, waktu kita masih kecil, kita sering barengan. Tapi entah kenapa, dia sekarang berubah. Selalu nyari masalah."
Cicio (sambil melirik ke arah Arga dengan penasaran): "Gue ngerti sih, kadang ada orang yang emang berubah drastis. Tapi kayaknya lo perlu ngobrol lebih baik sama dia, mungkin ada kesalahpahaman."
Bersambung….