"May, aku takut. Aku ingin mundur, aku ingin membatalkan semua ini." Ucap Rain dengan tubuh gemetaran.
Malam ini dia berada disebuah kamar hotel presiden suit. Ya, Rain terpaksa harus melelang keperawananannya demi uang. Dia butuh banyak uang untuk biaya rumah sakit adiknya. Selain itu dia juga tutuh uang untuk biaya pengacara, ayahnya saat ini sedang meringkut ditahanan karena kasus pembunuhan.
"Jangan gila Rain. Kau harus membayar ganti rugi 2 kali lipat jika membatalkan. Masalahkan bukan selesai tapi akan makin banyak. Jangan takut, berdoalah, semoga semuanya berjalan lancar." Ucap Maya.
Berdoa? yang benar saja. Apakah seorang yang ingin berbuat maksiat pantas untuk berdoa minta dilancarkan, batin Rain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PEKERJAAN MAYA
"Permisi mbak, anda diminta untuk ketempat administrasi." Kata seorang suster yang biasa merawat Alan.
"Baik Sus."
Rain sudah paham, ini pasti perihal biaya rumah sakit. Tak banyak lagi uang yang tersisa direkening tabungannya. Pengobatan Alan sungguh menguras isi rekeningnya.
Rumah yang dijualnya memang besar dan lumayan mewah. Tapi karena dirumah itu telah terjadi pembunuhan, sulit sekali mendapat harga yang pantas. Dia harus berbesar hati melepaskan rumah itu dengan harag dibawah pasaran. Tak ada pilihan lain, dia butuh uang. Kesembuhan Alan adalah prioritasnya.
Selain itu, Rain juga tak sanggup tinggal disana. peristiwa itu membuat Rain trauma dan takut masuk kerumah yang dulu dia anggap sebagai istananya.
"Mbak Rain, ini biaya yang harus segera dilunasi. Dan diharapkan untuk menambah deposit." Petugas administrasi menyodorkan sebuah kertas padanya.
Mata Rain membulat sempurna melihat nominal yang tertera disana. 50 juta lebih jumlah yang harus dibayar. Padahal ini hanya tunggakan beberapa hari. Ini lebih mahal dari perkiraannya.
Entah sudah berapa banyak uang yang masuk untuk pengobatan Alan. Kalau disuruh menghitungpun, Rain tak sanggup menghitungnya. Ditambah lagi dia harus memberi deposit agar pengobatan Alan tetap berjalan. Astaga, dia tak tahu darimana lagi mendapatkan uang.
Mengingat keadaan Alan yang terus membaik, rasanya tak mungkin menghentikan pengobatan. Jalan satu satunya hanyalah mencari uang agar pengobatannya tetap berjalan.
Rain menyerahkan kartu debitnya pada petugas. Untuk saat ini dia memang masih ada uang, tapi kedepannya dia bingung harus mencari kemana.
...*******...
Pagi ini Rain merasa kurang enak badan. Mungkin karena tenaga dan pikiran terkuras habis untuk menangani masalah Alan dan ayahnya.
Rain hanya tiduran diranjang kecil miliknya. Dia merindukan Gaza. Dia butuh Gaza saat ini. Andaikan ada Gaza disampingnya, dia pasti tak akan setertekan ini. Setidaknya pria itu bisa mengurangi beban pikirannya. Tapi keputusannya sudah bulat untuk berpisah dengan Gaza.
Tok tok tok
Dengan langkah malas Rain kedepan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Maya.
"Rain, gimana keadaanmu?" tanya Maya cemas. Mendengar Rain sakit, gadis itu segera datang dengan membawa bubur ayam kesukaan Rain.
"Sarapan dulu Rain." Maya memindakan bubur yang dia beli tadi kedalam piring. Dia juga membuatkan teh untuk Rain.
Walau tak ada selera, Rain mencoba tetap makan. Dia ingat pesan ayahnya agar selalu menjaga kesehatan. Dia adalah tiang di keluarganya saat ini. Jika dia sakit, siapa yang akan menjaga Alan. Dan siapa yang akan menjadi penyemangat hidup ayahnya. Jadi, sekuat apapun angin menerpanya, dia harus tetap kokoh berdiri.
"Makasih ya May." Ucap Rain sambil menelan sesuap demi sesuap bubur dari Maya.
"Tidak perlu berterimakasih Rain. Keluargamu sudah banyak membantuku. Sudah saatnya aku ganti membantu kalian."
Maya dulunya adalah pegawai ditoko ayah Rain. Karena maya yang terbilang cerdas, ayah Rain memberinya beasiswa untuk melanjutkan kuliah.
Tapi semenjak Maya sudah bekerja ditempat lain dengan gaji lumayan. Maya tidak mau lagi merepotkan keluarga Rain. Dia mulai membiayai sendiri kuliahnya.
"Kemarin aku menjenguk Paman Teguh. Dia terlihat sangat kurus. Aku tak tega melihatnya." Maya memang menyayangi teguh seperti ayahnya sendiri. Pria itulah yang dulu selalu menasehatinya dan menjadi menyemangat hidupnya. Tanpa dorongan dari Teguh, Maya tak mungkin melanjutkan kuliah.
"Aku lebih tak tega lagi May. Ayahku yang sebelumnya adalah pahlawan bagi keluarga kami. Sekarang dia tak berdaya." Mata Rain kembali memanas. Dadanya sesak, sesaat kemudian, cairan bening meleleh dari sudut matanya.
"Yang sabar Rain, pasti ada pelangi setelah hujan." Maya menghapus air mata Rain dengan ibu jarinya.
"Hujan ini sudah terlalu lama May, rasanya aku tak sanggup lagi untuk menunggu pelangi." Sahut Rain sambil memegangi dadanya yang sesak. Cobaan ini terlalu berat baginya. Karena tragedi malam itu, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat.
"Jangan bicara seperti itu. Kau masih punya aku Rain. Aku akan membantu sebisa mungkin. Bagaimana dengan Gaza. Hubungan kalian baik baik saja kan?"
Rain menggeleng pelan.
"Beberapa hari yang lalu, tante Salma datang kesini. Dia memohon padaku agar aku memutuskan pertunanganku dengan Gaza."
Maya terkejut mendengarnya. Selama ini, yang dia tahu tante Salma sangat menyayangi Rain, rasanya mustahil wanita itu meminta Rain memutuskan pertunangannya dengan Gaza. Padahal tanggal pernikahan mereka juga sudah ditentukan.
"Dan kau menyangggupinya?"
Rain menghela nafas sambil menatap nanar bubur yang ada dihadapannya. Kalau ditanya sanggup, sebenarnya dia tak sanggup. Tapi dia juga tak mau egois. Benar kata tante Salma, nama baik keluarga mereka akan hancur jika pernikahan ini tetap terjadi.
"Aku tak ada pilihan lain May. Aku juga tidak ingin. Tapi aku tak boleh egois. Ayah Gaza seorang pejabat, tak mungkin bagi mereka berbesanan dengan narapidana."
"Aku tak menyangkan tante Salma setega itu."
"Dia hanya ingin menyelamatkan nama baik keluarganya May. Aku tak menyalahkan dia."
"Tapi tak harus dengan cara seperti ini Rain. Kau dan Gaza saling mencintai."
"Rumah tangga tidak hanya dibangun dengan cinta May. Masih banyak aspek lain yang menjadi pertimbangan."
"Aku akan mendukung semua keputusanmu Rain." Maya memeluk Rain untuk memberinya dukungan.
"Terimakasih May."
Rain melanjutkan makan, dia tak ingin larut dalam kesedihan karena Gaza. Ada Alan dan ayahnya yang lebih membutuhkannya.
"Bagaimana kondisi Alan sekarang?"
"Sepertinya aku lupa memberitahumu, perkembangan Alan sangat bagus. Dokter Purnomo bilang kemungkinan besar Alan akan segera sadar."
"Alhamdulillah Rain, akhirnya usahamu membuahkan hasil." Maya tersenyum senang. "Kenapa kau tak terlihat bahagia Rain?" Maya melihat kesedihan dimata Rain.
"Aku bingung May, tabunganku sudah semakin menipis. Tapi pengobatan Alan masih harus berlanjut. Saat Alan sadar nanti, dia juga masih harus menjalani proses pemulihan yang tidak sebentar. Selain itu biaya pengacara juga sangat mahal. Kau tahukan jika aku menyewa pengacara terbaik. Aku hanya ingin memberikan keadilan untuk ayah." Rain berkata sambil terisak.
"Aku akan berusaha membantumu Rain. Walaupun mungkin tidak banyak."
Rain menggeleng cepat.
"Kau sudah terlalu banyak membantu May. Aku tak bisa lagi menerima bantuanmu." Rain tiba tiba teringat tentang pekerjaan yang pernah dimintanya pada Maya.
"Bagimana dengan pekerjaan itu May, kau sudah bicarakan dengan bos mu kan? Bagiamana, aku bisa ikut bekerja denganmu kan? Aku sangat butuh pekerjaan May." Desak Rain.
Maya menelan ludahnya dengan susah payah.
"Ma, maaf Rain, sepertinya tidak bisa. Sulit untuk masuk diperusahaan tempatku bekerja. Seleksinya sangat ketat."
"Kau meragukan kemampuanku? Aku akan mencoba May. Aku tak peduli apa hasilnya. Kalaupun aku tidak diterima, seengaknya aku pernah mencoba. Tolong May, bantu aku." Rain menggenggam tangan Maya. Tampak sekali diwajahnya jika dia sangat berharap perkerjaan itu.
Maya ragu untuk mengatakan, tapi dia tak bisa terus membohongi Rain.
"Kau belum tahu pekerjaanku Rain."
"Kamu bekerja kantorankan? Di sebuah perusahaan real estate. Kamu udah pernah cerita dulu." Rain masih mengingat cerita Maya kala itu.
Maya menggeleng. "Maaf Rain, sebenarnya saat itu aku berbohong."
"Ma, maksud kamu?" Rain mengerutkan keningnya.
"Aku takut kamu akan membenciku jika tahu pekerjaanku yang sebenarnya." Ujar Maya sambil menunduk.
"Yang sebenarnya? A, apa maksudmu May, aku tak paham. Jangan berputar putar. Aku sudah pusing May, aku sudah banyak masalah." Desak Rain.
"Aku... aku..." Maya menggigi bibir bawahnya sambil memejamkan mata. Berat sekali untuk mengatakan yang sebenarnya pada Rain. Karena konsekuensinya, Rain akan kecewa dan mungkin membencinya.
"Apa May?"
"Aku seorang mucikari ."
Rasanya seperti petir yang menggelegar. Mata Rain membulat sempurna, mulutnya menganga saking kagetnya. Dia terus menggeleng karena tak percaya.
"Tidak, tidak, kau pasti becanda kan?" Tanya Rain sambil menatap kedua manik mata Maya.
"Aku tak becanda Rain, aku seoarang mucikari."
Tubuh Rain melemas mendengarnya. Maya tidak sedang becanda, dia bisa melihat kejujuran dimatanya.
Bisanya Nambah kesalahan mulu kerjaan loe