Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Risiko Kerja
Sulay mengambil speaker bluetooth gue yang tiba-tiba nyala lagi setelah tadi mati tiba-tiba. Dia menaruhnya di pojok lantai dan menatap gue.
"Lo sempat melihat mukanya nggak?"
"Hah? Muka siapa, Pak?"
Sulay mengambil pecahan kaca di lantai.
"Gini, ya ... Do. Pertama, gak usah ngomong formal sama gue. Kedua, gue mau lo jawab jujur demi pekerjaan kita sekarang. Lo melihat muka cewek tadi nggak?"
Gue mencoba mengingat kejadian sebelum gue menyapu.
"Waktu gue bersih-bersih tadi, gue nemu foto cewek di lantai."
Gue mengeluarkan foto itu dari saku celana. Sulay segera mengambilnya. Sulay menarik napas panjang berulang kali. Dia tampak gelisah. Setelah dia mengembalikan foto itu ke tangan gue, dia berpaling dan menelepon seseorang.
"Maaf, Bos. Kita dalam masalah."
Gue memperhatikan foto cewek itu lebih detil. Seorang cewek berbaju merah, berambut panjang dengan poni menutupi dahi dan wajah tersenyum manis. Kalau dilihat-lihat lagi, kelopak mata cewek ini berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Seakan terlalu banyak tertawa, atau terlalu banyak menangis. Sulay kembali menghadap gue.
"Kita harus panggil dia lagi ke sini."
"Dia? Dia siapa, Pak?"
Sulay menunjuk foto di tangan gue.
Gue melihat jam, sudah tepat jam 11 malam. Sulay duduk bersila dengan mata terpejam. Mulutnya seperti sedang mengucapkan sesuatu tapi tidak bersuara. Speaker bluetooth gue tiba-tiba mati lagi. Asap obat nyamuk kembali menebal. Terdengar kembali suara-suara bisikkan yang sebelumnya gue kira suara serangga malam. Di antara suara itu, gue mendengar suara:
"Te! Te sate ...!"
Sulay langsung membuka matanya. Kami serempak memandang ke sumber suara.
"TE! TE SATE ...! UWOH!"
"Siapa, tuh!?" Sulay mulai terganggu. Gue mulai lapar.
"Tukang sate, Pak."
"Suruh diam! Gue harus konsentrasi, nih!"
"Caranya?"
"Terserah! Pikirin sendiri! Cepetan!"
Gue berjalan mendatangi sumber suara.
Dari suaranya yang entah kenapa terasa semakin menjauh ke dalam pemakaman, gue mulai curiga bahwa tukang sate ini juga adalah mata-mata yang sedang mengawasi kami. Dan itu artinya kami sedang di mata-matai. Setelah menyadari itu, gue langsung berbelok ke belakang batu nisan yang sangat besar. Batu nisannya terbuat dari batu yang tampak sangat kokoh. Di sana tertulis:
Terbaring dengan tenang:
Orang Nomor Satu di Kuburan: Tesates
Gue sangat kagum. Ternyata juga ada peringkat di kuburan ini. Otak gue tiba-tiba kembali mengeluarkan perdebatan: kuburan atau pemakaman? Dan dengan cerdas gue mencoba menganalisisnya. Kalau tempat ini disebut kuburan, maka orang-orang di sini adalah orang-orang yang terkubur atau dalam bahasa lain yaitu tertimbun. Juga bisa berarti tempat ini adalah tempat orang mengubur kenangan.
Lalu kalau disebut pemakaman, artinya orang-orang ini adalah orang-orang yang dimakamkan atau dalam bahasa sehari-hari yaitu orang yang meninggal lalu ditempatkan di tempat khusus. Gue memikirkannya sampai-sampai gue baru menyadari kalau batu nisan di belakang gue ini bersinar oleh cahaya bulan. Karena semakin terang, terlihat beberapa tulisan lainnya:
Tak terkalahkan sepanjang hidupnya, bersama pedang yang dibawa sampai ajalnya.
"Te! Te sate ...!"
Bukan gerobak sate yang gue lihat sekarang. Gue yakin itu adalah seorang pria tinggi yang sedang menenteng pedang berdiri membelakangi gue yang bersandar di sebuah batu nisan. Saat cahaya bulan meredup tertutupi awan, dia berbalik badan dan menatap gue. Gue bisa melihat wajahnya. Wajah seorang pria berkumis lebat, yang gue rasa pernah lihat sebelumnya entah di mana.
Pergerakan awan di atas sana membuat cahaya bergerak dramatis. Pria itu tersinari cahaya bulan mulai dari kakinya, naik ke atas hingga wajahnya terlihat jelas. Tidak terlihat ramah untuk seorang tukang sate. Dia berjalan ke arah gue, dan cahaya bulan bergerak menyinari pedangnya.
Dia berdiri tepat di depan gue. Karena tubuhnya yang tinggi, atau karena gue yang terlalu pendek, gue merasa terpojok. Dia membalikkan pedangnya, membuat cahaya bulan memantul ke mata gue yang membuat silau pandangan. Sebagai seorang mata-mata yang hampir profesional, gue segera memakai kacamata hitam gue. Anjir! Masih silau!
"Te ... Te sate ...."
"E-enggak lapar, Pak."
"Mau berapa tusuk?"
Dia menggoreskan pedangnya ke batu nisan di belakang gue. Menimbulkan suara berdecit yang tidak enak.
"Orang nomor satu di kuburan!? Omong kosong!" katanya.
Dia menggores tulisan itu, dan serpihan batunya jatuh di atas kepala gue.
"70 tahun bertarung di dunia, 83 peperangan, tidak pernah tertebas fatal oleh pedang mana pun. Kalian sebut orang nomor satu di kuburan!?"
Gue nggak tahu kenapa dia jadi ngomel-ngomel sendiri. Gue melihat cahaya bulan menerangi sebuah jalan ke kiri dan sepertinya ada tempat sembunyi. Melihat ada peluang, gue segera kabur ke tempat itu. Dan anehnya, dia gak peduli. Dia masih aja bicara sendiri di depan batu nisan yang sejak tadi dia gores dengan pedangnya.
Gue tiarap di antara dua kuburan yang agak tinggi. Di belakang gue, gue bisa mendengar suara musik yang gue yakin berasal dari speaker bluetooth gue di tempat Sulay. Gue melepas kacamata yang sepertinya tidak terlalu berguna. Gue melihat pria itu telah berhenti bicara sendiri. Lalu, dengan satu ayunan pedang, dia membelah dua batu nisan itu seperti tukang rujak membelah pepaya!
Dia menengok ke segala arah. Gue takut dia akan ke sini dan juga membelah gue jadi dua. Untungnya, karena gelap, dia malah berjalan ke arah berlawanan. Gue lega banget. Rasanya kayak habis kentut setelah seminggu tidak keluar. Karena membayangkan kentut, tanpa terencana gue kentut beneran! Nyaring dan bau!
Pria itu langsung berbalik ke arah gue dengan cepat. Walaupun ada sedikit keyakinan dia akan pingsan karena gas beracun yang gue hasilkan, nyatanya ketakutan gue lebih besar dari itu. Gue semakin panik saat dia berdiri di sebelah gue. Sambil memejamkan mata karena sudah hampir pasrah, gue mendengar suara langkah kaki dari arah yang berbeda.
Gue berharap seseorang datang, entah menyelamatkan gue atau karena dia sedang sial sehingga harus berhadapan dengan pria tinggi yang membawa pedang, gue gak peduli. Yang penting gue bisa selamat aja dulu. Pria berpedang itu melangkah ke arah yang gue maksud tadi. Baru aja dua langkah, HP gue tiba-tiba memutar musik!
Lebih tepatnya, koneksi bluetoothnya mati dari speaker di tempat Sulay. Jadinya suaranya pindah ke HP gue langsung. Lagu yang diputar adalah lagu dari girlband Korea, aespa, yang berjudul 'Forever'. Tentu aja, pria berpedang itu langsung menusuk-nusukkan pedangnya ke arah gue!
Gue juga gak ngerti kenapa serangannya banyak yang meleset. Mungkin karena gelap, atau karena bau kentut gue sebelumnya. Gue segera menggulingkan diri ke depan, dan tiba-tiba kaki gue kena tebas! Sumpah perih banget! Baru kali ini gue kena sayatan pedang sepanjang 1 meter. Gue teriak kesakitan sambil berusaha kabur.
Gue menengok ke belakang, dan pria itu berjalan mengejar gue sambil tersenyum tidak bersahabat. Pedangnya dia goreskan ke tanah, dan sering terkena batu nisan lainnya. Membuat suara yang mengganggu. Gue melihat kaki kanan gue yang berdarah, dan terus aja mencoba berlari ke arah yang gue juga gak tahu ke mana.
Gue tersandung botol-botol di samping kuburan. Aneh juga, kenapa banyak botol di kuburan yang satu ini. Gue terjatuh, dan pria berpedang itu sudah sangat dekat. Gue melemparinya dengan botol-botol itu. Semuanya bisa dia tangkis dengan pedangnya. Keren banget. Kanapa gue malah kagum!?
"Sekarang coba bilang lagi. Orang nomor satu di kuburan!? Saya ini orang nomor satu di dunia!"
Dia berdiri di atas gue. Mengangkat pedangnya, dan siap menusuk gue! Tinggal sedikit lagi dan pedang itu berhasil menusuk dada gue. Sebelum itu kejadian, Sulay tiba-tiba datang dan menangkis pedangnya. Sulay menoleh sedikit ke arah gue. Cahaya bulan menyinari pakaiannya.
"Biar gue yang lawan dia," katanya, dengan lagu Korea yang masih bermain.