Mardo & Kuntilanaknya
Katanya, karena gue keseringan mancing ikan di pinggir sungai sambil memakan roti isi selai nanas yang gue beli satu jam sebelum pancingan dilontarkan, gue jadi gak perhatian lagi sama dia. Kata teman-temannya gue juga tidak bisa bergaul saat mereka nongkrong di kedai kopi hingga larut malam. Bahkan kata nenek tetangganya alis gue seperti makam.
Selalu ada salah di antara ciri-ciri sebuah hubungan yang sudah mencapai akhir. 7 tahun bersama yang dimulai dengan pengumuman kelulusan SMA ternyata hanya berakhir dengan kalimat sederhana.
"Kita putus," ucapnya.
Di antara kami, air mata yang membasahi pipi ternyata lebih banyak darinya. Ternyata hati kecil gue benar, kalau gue memang tidak sesayang itu lagi sama dia.
"Kenapa diam aja!? Kita putus!" katanya sambil terisak.
"Kamu jangan nangis. Kamu jangan sesedih itu."
Satu minggu kemudian, histori pencarian di HP gue dipenuhi dengan keyword: cara merelakan mantan, cara tidak sakit hati lagi, cara cepat move on, amalan cepat jodoh, cara membuat mantan menyesal, tutorial sugesti patah hati, download gratis ebook move on, kriteria pasangan zodiak, ramalan jodoh, orang-orang sukses setelah putus cinta, kisah hidup raja romawi, kiat-kiat membuat mantan menelpon lagi, how to stop banjir, memberantas koruptor tanah air, apakah benar dengan menjadi kaya raya dapat membuat mantan ingin balikan?
Ternyata, malah gue yang sedih berlarut-larut. Paket internet gue hanya gue habiskan untuk menyesali. Sampai di suatu hari gue melihat sebuah iklan yang terpasang di sebuah dinding WC umum.
"Ingin kaya raya? Ingin dikejar-kejar wanita? Ingin mantan Anda menyesal dan mengejar-ngejar Anda lagi? Bergabunglah bersama kami!"
Sambil menunggu joran pancing yang belum juga bergerak, gue terus aja memandangi iklan itu. Gue tahu, hanya orang kurang pintar yang akan benar-benar menghubungi kontaknya.
Untungnya gue teringat dengan guru gue. Sebenarnya bukan guru juga, bisa dibilang sahabat gue. Bukan sahabat dekat juga sebenarnya. Dia adalah bapak-bapak yang kebetulan duduk bersebelahan dengan gue ketika memancing beberapa bulan yang lalu. Kami belum sempat kenalan, tapi gue ingat dia juga suka memancing.
Dia bilang gini: "Kalau kamu penasaran dengan satu hal, tapi kamu juga masih ragu dengan hal itu, maka coba tanyakan pada hatimu yang lugu. Jawablah penasaranmu kata demi kata."
Jawablah "kata demi kata." Gue tersenyum lebar ketika mengingat hal itu.
"Ingin kaya raya? INGIN! Ingin dikejar-kejar wanita? INGIN! Ingin mantan Anda menyesal dan mengejar-ngejar Anda lagi? INGIN! Bergabunglah bersama kami! GABUNG!"
Tut ... tut ... tut ....
Panggilan telepon gue akhirnya diangkat.
"Halo, saya ingin!" kata gue dengan semangat.
"Halo, selamat sore Bapak Ingin. Ada yang ingin kami bantu?"
"Saya Mardo, Pak. Saya ingin!"
"Baiklah Bapak Mardo, ada yang ingin dibantu?"
"Saya ingin gabung, Pak!"
"Oh, soal iklan, ya? Baik ... baik."
Tiga hari kemudian, duduklah gue di sebuah ruko dua lantai dengan kemeja putih celana hitam semata kaki. Dua hari yang lalu gue sempat membaca sebuah artikel soal patah hati. Dijelaskan di sana, bahwa salah satu cara sembuh dari sakit hati ialah dengan melakukan kegiatan baru dan menjadi kaya raya.
Dengan gue berada di sini sekarang, maka gue yakin gue sudah melangkah ke jalan yang tepat. Di samping gue sedang duduk seorang pria yang sepertinya juga masih berumur 23 tahun, sama seperti gue. Pria itu bangkit dari kursinya ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari dalam ruangan di seberang. Mungkin hanya butuh waktu 5 menit sebelum dia keluar dengan tampang kesal.
Gue lalu teringat dengan nenek tetangga mantan gue yang selalu memasang tampang kesal ketika melihat gue. katanya gue jelek, makanya dia kesal. Nama gue dipanggil.
"Bapak Mardo?"
Gue mengangkat tangan.
"Silakan masuk, Pak."
Di depan gue telah duduk seorang kakek-kakek berkumis lebat dengan jas berwarna hitam yang kebesaran. Sebelum mempersilakan gue duduk, dia meminum kopi hitam yang ada di mejanya.
"Sudah kentut?" tanyanya yang belum menatap gue.
"Belum, Pak."
"Silakan duduk."
Gue memperhatikan sekeliling ruangan itu. Banyak lukisan-lukisan orang bermuka sangar yang rata-rata berkumis tebal. Karena keasyikan memandang sekitar, tanpa bisa gue kontrol, angin liar dari pantat gue keluar begitu aja.
"Maaf, Pak ... maaf."
"Tidak apa-apa, angin di sini memang suka masuk."
Dia menatap gue. Ada aura intimidasi yang gue rasakan.
"Mardo, ya? Darimana tahu lowongan kerja di sini?"
"Saya melihat iklannya, Pak. Di dinding WC."
"Kamu sungguh-sungguh mau kerja?"
"Mau, Pak."
Dia menyalami gue.
"Welcome to the club, Man."
Dengan wajah berseri-seri, gue meninggalkan ruangan itu. Di luar, seseorang yang tadi memanggil gue telah menunggu.
"Selamat bergabung dengan perusahaan kami, Pak Mardo. Semoga kita bisa bekerja sama sebagai tim, ya."
"Iya, Pak, terima kasih. Saya bisa mulai masuk kerja kapan, ya, Pak?"
"Jumat Kliwon, Pak, jam 11 malam datang ke sini lagi, ya. Pakaian kerja di sini bebas, yang penting warna hitam dari atasan sampai bawahannya."
"Oh, siap, Pak. Kalau boleh tahu, saya ngerjain apa aja, ya, Pak?"
"Nanti Pak Mardo lihat sendiri, deh. Bapak gak ada trauma sama kuburan, kan?"
"Gak ada, Pak."
"Baik, sampai ketemu nanti, ya, Pak."
Pada malam Jumat Kliwon, yang artinya malam di mana besok gue harus masuk kerja, gue baru aja menyelesaikan transaksi penjualan semua alat pancing kesayangan gue. Pembelinya adalah seoang kakek-kakek yang baru satu minggu pensiun dari pegawai negeri, terus katanya bingung mau ngapain lagi.
Karena baru punya uang, jadinya gue buru-buru membeli baju dan celana buat kerja besok. Katanya pakaiannya bebas yang penting serba hitam. Masih jam 8 malam, sampailah gue pada sebuah pasar. Terjadilah proses pilih-memilih, tawar-menawar antara gue dan pemilik toko.
"Yang lengan panjang ukuran S ada, kan, Bang?"
"Hitam polos, kan? Ada, sih yang ukuran S, tapi tangannya XL."
"Hah? Gimana, tuh?"
"Jadi dia badannya ukuran S, tapi tangannya sepanjang XL."
Manusia macam apa yang punya badan kecil tapi tangannya panjang selain maling? Gak ada, kan!? Kayaknya gue salah masuk toko, deh.
"Bercanda, kok ... gitu aja mau nangis."
Dia menyerahkan baju kaos lengan panjang kepada gue.
"Sekalian celana panjang hitam polos, ya, Bang. Ukuran 29."
Sambil menyerahkan celana itu, dia memperhatikan pinggang gue.
"Banyakin makan, ya."
Karena belum dikasih tahu gue akan kerja apaan, jadinya pikiran gue membuat asumsi-asumsi sendiri. Pekerjaan apa yang dilakukan malam hari di kuburan dengan pakaian serba hitam? Apalagi kalau bukan mata-mata. Iya, kan?
Iya juga. Mungkin gue membutuhkan keperluan untuk menjadi mata-mata yang baik dan benar. 10 menit gue browsing akhirnya gue tahu gue harus membeli apa aja. Karena tugas mata-mata lebih banyak menggunakan mata, maka gue membeli kacamata hitam dan sekotak obat tetes mata agar mata gue tidak kering.
Kemudian karena gue kerjanya malam hari, maka tentu gue butuh banyak kafein agar gue tidak mengantuk. Maka dengan gembira gue membeli 1 kg biji kopi robusta. Terakhir, karena lokasinya di kuburan, maka musuh gue tentu adalah nyamuk dan suara bising serangga malam. Jadilah gue membeli banyak obat nyamuk bakar dan speaker bluetooth untuk melawan kebisingan malam hari. Gue emang jenius.
Masih belum terlalu malam untuk sebuah pasar yang ramai. Gue duduk di sebuah warung bersama belanjaan gue yang ternyata tidak sedikit. Sambil menikmati soto, gue membuka Instagram dan melihat banyak teman-teman gue yang pamer harta. Kata mereka sebelum usia 25 tahun kita setidaknya sudah harus memiliki uang 100 juta rupiah. Umur gue baru 23 tahun, dan gue akan menjadi mata-mata. Mungkin di umur 25 tahun nanti gue sudah punya banyak mata.
Kegiatan scrolling gue terhenti ketika melihat foto mantan pacar gue. Dia memakai kaos merah muda dengan rambut pendek sebahu. Dia yang sepengetahuan gue gak pernah menyukai rambut pendek, akhirnya menyudahi prinsipnya sendiri.
Sama halnya dengan gue. Gue yang berjanji gak akan pernah menjual alat pancing gue akhirnya terjual juga beberapa jam yang lalu. Manusia emang bisa berubah dengan mudah. Caption fotonya bertuliskan: "Mencoba terbiasa dengan kebiasaan yang hilang:)"
Sambil menatap bapak-bapak yang juga makan soto di samping kanan gue, gue bilang:
"Mencoba terbiasa dengan kehilangan."
Bapak-bapak itu tersedak, dengan cepat menatap gue dan bangkit dari kursinya.
"Kemalingan!? Siapa yang kemalingan!?"
Ibu-ibu pemilik warung keluar.
"Maling!? Di mana malingnya!? Pak ...! Maling, Pak!"
Suami ibu-ibu itu keluar.
"Hah!? Maling!? Di mana!? Biar gua pukulin sampai mampus! Mana malingnya!?"
Mereka kemudian berlarian sambil teriak-teriak maling. Akhirnya satu pasar menjadi heboh. Gue yang bingung juga kaget pasrah aja sambil melanjutkan makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments