Melisa, seorang gadis biasa yang sedang mencari pekerjaan, tiba-tiba terjebak dalam tubuh seorang wanita jahat yang telah menelantarkan anaknya.
Saat Melisa mulai menerima keadaan dan bertransformasi menjadi ibu yang baik, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan bahaya. Monster dan makhluk jahat mengancam keselamatannya dan putranya, membuatnya harus terus berjuang untuk hidup mereka. Tantangan lainnya adalah menghindari ayah kandung putranya, yang merupakan musuh bebuyutan dari tubuh asli Melisa.
Dapatkah Melisa mengungkap misteri yang mengelilinginya dan melindungi dirinya serta putranya dari bahaya?
Temukan jawabannya dalam novel ini, yang penuh dengan misteri, romansa, dan komedi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aif04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu dengan Kevin
Akhirnya setelah banyak menguras tenaga dan juga pikiran, dua orang itu bisa kembali ke dunia nyata. Walaupun pendaratan Melisa tidak terlalu baik, tapi ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Yang terpenting sekarang adalah jika mereka bisa ada di sini.
"Aku rindu dengan udara di dunia ini," ujar Melisa yang menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya. Ia merasa sangat lega dan bahagia karena bisa kembali ke dunia nyata.
"Tidak ada yang berbeda dengan udara di sini dan di dalam cermin itu," ujar Ian yang saat ini melihat bagaimana Melisa dengan semangat menghirup udara dengan cara konyolnya. Ia tidak mengerti mengapa Melisa begitu senang dengan udara di dunia nyata.
"Itu hanya pikiranmu, nyatanya udara di sini dan di sana itu sangat berbeda," jawab Melisa dengan senyum. Ia merasa bahwa udara di dunia nyata memiliki sesuatu yang unik dan tidak bisa ditemukan di dalam cermin itu.
"Yayaya terserah padamu saja," ujar Ian, mengalah dalam perdebatan dengan Melisa.
"Oh ya, bagaimana Anda bisa selamat dari reruntuhan tadi? Dan juga bagaimana bisa kastil itu meledak begitu saja? Saya juga tidak melihat satu monster yang keluar dari sana," tanya Melisa, penasaran dengan kejadian yang terjadi di kastil.
Mendengar hal itu, Ian terdiam sejenak lalu kemudian ia menatap ke arah wanita itu. "Aku selamat karena aku keluar sebelum tempat itu dihancurkan. Dan aku tadi pergi ke tempat kau bersembunyi, tapi kau tidak ada, sehingga aku mencari di sekitar tempat itu. Siapa sangka saat aku sedang mencarimu, aku justru mendengar suara ledakan itu. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke sumber suara dan mendapati kau di sana menangis seperti orang gila," jelas pria itu, mencoba meyakinkan Melisa.
"Siapa yang Anda bilang menangis seperti orang gila? Saya menangis dengan begitu cantik, asal Anda tahu," tegas Melisa.
"Yayaya andai saja aku membawa bola perekam maka aku akan merekam bagaimana kau menangis begitu jelek tadi dan akan kusebarkan rekaman itu pada teman-temanku," ujar Ian, yang jelas menyimpan hinaan di dalamnya.
"Bajingan," kesal wanita itu. Kenapa di dunia ini ia harus bertemu dengan pria aneh menyebalkan ini.
"Penghinaan kepada aparat," ujar Ian, dengan nada yang sedikit serius.
"Anda.." Geram Melisa, tapi kemudian ia menghembuskan nafas panjang. "Baiklah terserah pada apa yang Anda mau saja," lanjut wanita itu.
Sepertinya ia benar-benar lelah saat ini, jadi ia ingin pulang dan tidur dengan nyaman tanpa ada yang mengganggu.
"Ayo kita pergi," ajak Melisa. Toh kasus sudah selesai karena tabib Li yang ia pikir adalah korban ternyata salah. Jadi tidak ada yang ingin ia cari, sedangkan Raymond sepertinya pria itu benar-benar baik.
Untuk kedepannya, Melisa sama sekali tidak ingin terlibat lagi. Ia bukanlah aparat negara yang berkewajiban untuk menyelesaikan masalah ini, toh banyak aparat atau kesatria yang hebat di kekaisaran ini.
"Tidak, aku harus tetap disini dan menunggu hingga orang dari kekaisaran datang dan mengamankan cermin aneh ini agar tidak ada kejadian yang sama untuk kedua kalinya," jelas Ian.
"Ternyata begitu, kita akan berpisah disini," Melisa menundukkan kepalanya sejenak, ada sedikit perasaan sedih saat ia mungkin akan berpisah dari teman barunya ini.
Tapi beberapa detik kemudian ia kembali menatap Ian. "Hmm, terimakasih karena beberapa kali menolong saya dalam hutan itu, dan juga saya ingin meminta maaf jika mungkin saya menyinggung Anda beberapa kali,"
Mendengar hal tersebut ekspresi Ian berubah sejenak, matanya sedikit melebar tapi kemudian ia tersenyum "Ternyata kau orang yang tau berterima kasih dan juga minta maaf ya,"
"Tentu saja aku adalah orang yang seperti itu," jawab Melisa dengan cepat.
"Tidak, kau bukanlah orang yang seperti itu," gumam Ian saat mengingat bagaimana sifat Alexa saat belum di rasuki oleh Melisa.
"Lagi-lagi Anda mengatakan sesuatu seakan-akan kita mengenal sejak lama," gurau Melisa,
"Bagaimana jika aku mengatakan jika aku cukup mengenalmu?" ujar Ian dengan wajah seriusnya. Keadaan menjadi begitu sunyi diantara mereka bahkan tidak ada raut apapun dari wajah wanita itu.
"Apa dia telah menyadari siapa aku?" pikir Ian yang tidak lain dan tidak bukan adalah Andrea anak buah dari Duke Ferdinand.
"Hahahaha...kali ini candaan Anda cukup bagus dari pada yang sebelum-sebelumnya," tawa Melisa dengan begitu keras. Ian benar-benar bingung harus bagaimana jika di depan wanita ini.
"Ayolah Tuan Ian, jika saya sudah mengenal Anda dari dulu tidak mungkin saya melupakan orang semenyebalkan Anda ini. Bahkan sampai seribu tahun kedepan saya masih akan terus mengingat bagaimana menyebalkannya Anda," gurau Melisa dengan menghapus air mata yang saat ini ada di ujung matanya akibat dari tertawa yang berlebihan.
Ian merasa lega bahwa Melisa tidak menyadari identitas aslinya, tapi ia juga merasa sedikit kesal karena Melisa menganggapnya sebagai orang yang menyebalkan.
"Huh, pemikiranmu memang selalu membuatku terkejut," gumam Ian yang masih bisa di dengar oleh Melisa.
"Terimakasih atas pujiannya," jawab Melisa, dengan senyum.
"Baiklah, saya harus pergi menemui anak saya sekarang, jadi selamat tinggal Tuan Ian dan sampai jumpa lain kali jika ada kesempatan," pamit Melisa, lalu berjalan dengan santai menuju pintu yang sudah terbuka entah sejak kapan.
Sedangkan Ian hanya menatap punggung kecil yang perlahan mulai menjauh itu, tapi dia cukup puas saat melihat cahaya merah mengikuti wanita itu. "Aku telah meninggalkan sihir padanya, maka kita pasti akan bertemu suatu saat nanti," batinnya.
Tapi sedetik kemudian, aura pada pria itu mendadak berubah. Wajah dingin tanpa ekspresi berbeda dengan wajah Ian yang sebelumnya terlihat menjengkelkan.
"Kau terlambat, Ferdinand," ujarnya, dengan nada yang dingin dan berwibawa.
Tak lama kemudian dari balik kegelapan, sosok pria yakni Duke Ferdinand muncul. "Maafkan saya, yang mulia," jawab Ferdinand dengan sedikit membungkukkan badannya.
"Jika kau melakukan hal itu sekali lagi, maka aku tidak akan segan untuk memberikan hukuman yang setimpal," peringat Andrea dengan nada yang dingin.
"Baik, yang mulia, saya mengerti," jawab Ferdinand dengan terus menundukkan kepalanya.
"Selidiki tentang cermin ini, lalu selidiki juga tentang perubahan pada Alexa Rosewood yang selama ini diasingkan akhir-akhir ini," perintah Andrea.
"Alexa Rosewood, wanita gila itu, yang mulia?" terdengar begitu tidak yakin dengan apa yang ia dengar.
"Hmm," jawab Andrea singkat.
"Tapi dia..." Ferdinand ingin melanjutkan, tapi Andrea memotongnya.
"Selidiki saja, jangan banyak bertanya," ujar Andrea membuat Ferdinand terdiam.
"Baik, yang mulia, saya akan melakukan penyelidikan lebih lanjut," Ferdinand tidak punya pilihan lain kecuali patuh dengan apa yang pria itu perintahkan.
Setelah itu, Andrea menghilang begitu saja tanpa ada yang tahu kemana pria itu pergi, termasuk Ferdinand sekalipun.
"Kenapa mendadak ingin menyelidiki tentang Alexa Rosewood, apa wanita itu ada hubungan dengan kekacauan akhir-akhir ini," tebak Ferdinand setelah kepergian Andrea.
"Ya, sudah pasti begitu, dia ingin balas dendam dengan apa yang terjadi padanya di beberapa tahun silam," lanjutnya dengan begitu yakin.
Ferdinand tahu bahwa Andrea memiliki motif yang kuat untuk menyelidiki tentang Alexa Rosewood, dan dia yakin bahwa ini terkait dengan kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini.
Di sisi lain Melisa justru, tersenyum senang saat melihat bagaimana Kevin yang baru saja pulang dari pasar dengan beberapa manisan di tangannya.
"Wah, anak ibu sepertinya tidak merindukan ibu sama sekali, Kevin pasti senang karena bisa makan banyak manisan saat ibu sedang tidak ada," goda Melisa pada sang anak yang sudah tidak ia lihat begitu lama.
"Ibu... Kevin sangat merindukan ibu... Kevin tidak apa tidak beli manisan jika bisa terus bersama ibu," ujar Kevin yang sudah memeluknya dengan erat. Ia takut jika sang ibu akan menjadi jahat lagi jika ia terlalu banyak menghamburkan uang seperti saat ini.
"Ya ampun, sayang ibu hanya bercanda, hahaha... ibu yang seharusnya minta maaf pada Kevin karena sudah membuat putra ibu yang tampan ini menunggu," ujar Melisa.
"Ibu, Kevin sayang ibu," gumamnya.
"Ibu juga sayang Kevin," wanita itu lalu membawa tubuh kecil itu dalam gendongannya.
"Apa dia merepotkan Anda?" tanya Melisa pada kesatria yang menjaga Kevin. Ia khawatir mungkin saja Kevin membuat ulah.
"Tidak, nyonya, dia bertingkah sangat baik, bahkan saya sangat senang bisa menjaganya," ujar kesatria itu.
"Syukurlah jika begitu, saya benar-benar berterimakasih," ujar Melisa dengan senyum.
"Ini, silahkan diterima," ujarnya dengan memberikan satu koin emas pada kesatria itu.
"Ini terlalu berlebihan, nyonya, lagipula tadi Anda juga sudah memberikan saya bayaran yang banyak dan itu sudah sangat cukup. Ditambah menjaga Kevin benar-benar menyenangkan," kesatria itu tampaknya juga senang karena bisa menjaga Kevin.
"Saya mohon terimalah, karena saya benar-benar berterima kasih," Melisa sedikit memaksa karena ia benar-benar tidak enak hati jika tidak memberikan sesuatu pada pria ini. Lagipula beberapa koin emas bukanlah hal yang besar jika dibandingkan dengan keselamatan anaknya.
Setelah penolakan yang cukup panjang akhirnya prajurit itu akhirnya menerima uang itu dengan rasa syukur.
"Jika begitu, terima kasih nyonya, jika Anda datang ke sini lagi maka saya akan menyambut Anda dengan baik. Anda juga bisa mampir ke rumah saya dan bertemu dengan istri dan anak saya," tulusnya. Rasanya benar-benar berkah yang sangat luar biasa bisa bertemu dengan seseorang sebaik Melisa.
"Terima kasih, jika ada waktu luang aku pasti akan mampir dan menyapa," balas Melisa dengan tersenyum ramah.