Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Tes
Di Kamar Arlan
Tanpa ragu Terry melepaskan pakaiannya hingga tak tersisa, melemparnya asal. Ia berencana untuk berada di samping Arlan saat pria itu membuka mata, menjadi sosok yang "menyelamatkan" dan memanfaatkan momen ini untuk menjadikannya nyonya Arlan.
Dengan hati-hati, Terry membaringkan dirinya di samping Arlan, menyusup ke dalam selimut yang sama. Senyum licik tersungging di wajahnya sebelum ia mengubah ekspresi menjadi lebih lembut, pura-pura rapuh.
Arlan mengerang pelan, matanya terbuka sedikit. Tatapannya buram, mencoba memahami bayangan samar di hadapannya. "Apa yang terjadi...?" tanyanya dengan suara serak, masih setengah mabuk.
Terry terdiam sejenak, menunduk seolah malu, sebelum akhirnya berkata pelan, "Arlan, kau mabuk. Aku... aku membantumu pulang, tapi... kau malah..." Ia menutup wajah dengan kedua tangannya dan mulai menangis pelan, meski dalam hatinya ia tertawa puas.
Arlan perlahan menegakkan tubuhnya, mengerjap beberapa kali untuk mengusir sisa mabuknya. Tatapannya menyapu ranjang yang acak-acakan, pakaian yang berserakan di lantai, dan sosok Terry yang masih menangis di sampingnya. Sebuah kilasan singkat muncul di benaknya, semalam, ia yakin sosok terakhir yang bersamanya adalah Alika.
"Alika..." batinnya menggema, tapi kenyataan di hadapannya membuat pikirannya semakin kacau. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Terry memandang Arlan dengan mata basah. "Arlan, kau tak akan lari dari tanggung jawab, 'kan?" tanyanya dengan nada penuh harap, suaranya terdengar gemetar, meski matanya menyiratkan manipulasi.
Arlan menatap Terry dengan ekspresi dingin dan datar. "Tanggung jawab? Untuk apa?" tanyanya tanpa nada, seolah tak ada emosi yang tersisa dalam suaranya.
Terry tersentak, tidak menyangka respon Arlan akan sedingin itu. "Untuk... apa yang terjadi tadi malam. Kau tidak ingat? Kita... kita bersama," ujarnya dengan nada yang lebih memelas, mencoba menggapai tangan Arlan.
Arlan menepis tangannya dengan lembut tetapi tegas, membuat Terry terdiam. "Dengar, Terry. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi aku tahu aku tidak pernah menyentuhmu. Jangan mengira aku sebodoh itu."
"Tapi—" Terry mencoba memprotes, tetapi Arlan memotongnya.
"Sudah cukup." Suaranya terdengar seperti pisau yang tajam dan dingin. Ia bangkit dari ranjang, mengabaikan pakaian yang berserakan di lantai. "Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi jangan mencoba memainkan drama murahan ini di hadapanku."
Terry menatapnya dengan mata melebar, rasa panik mulai merambati dirinya. Namun, Arlan hanya melangkah pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Terry yang terpaku dengan kegagalannya yang mulai terbuka.
Beberapa menit kemudian, Terry berdiri di depan pintu kamar Arlan, wajahnya masih tampak gugup. Ia baru saja ditinggalkan Arlan dengan sikap dingin yang membuatnya merasa terpojok. Namun, otaknya mulai bekerja cepat. Senyuman licik mengembang di bibirnya saat melihat Widi memasuki rumah Arlan dari jendela lorong.
"Aku harus membalik situasi," gumamnya, sambil merapikan rambut dan wajahnya di cermin di lorong.
Ia melangkah ke ruang tengah dengan langkah gemetar yang disengaja, berusaha terlihat seperti orang yang baru saja mengalami sesuatu yang berat.
Widi, yang baru saja masuk ke ruang tengah dengan ekspresi tenang, terkejut melihat Terry ada di rumah Arlan pagi-pagi. Ia menatap Terry dengan alis terangkat. “Terry? Kenapa pagi-pagi begini kamu sudah di sini? Dan kenapa wajahmu tampak kusut begitu?” tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Terry menghela napas panjang, lalu tersenyum getir. “Aku tidak ingin membuat Tante khawatir. Tapi, aku rasa aku harus memberitahu ini agar tidak ada kesalahpahaman nantinya.”
"Apa maksudmu?" tanya Widi, matanya menyipit. Ia merasa akan mendengar sesuatu yang tak mengenakkan.
Terry menunduk, seolah sedang menahan air mata. “Semalam, Arlan... dia mabuk berat di luar. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai seperti itu. Saat aku menemukannya di bar, aku khawatir terjadi sesuatu padanya jika pulang dengan kondisi mabuk, jadi aku mengantarnya pulang.”
"Apa? Arlan mabuk?” Widi nampak tak percaya, karena selama ini putranya dikenal sangat menjaga diri.
Terry mengangguk, suaranya gemetar. “Aku tidak bisa membiarkan Arlan pulang sendirian, Tante. Dan aku juga khawatir orang-orang akan menyebarkan gosip buruk tentang Arlan. Bagaimanapun, dia pewaris keluarga ini, dan nama baiknya sangat penting. Jadi, aku membawanya masuk ke kamar memastikan tidak ada pelayan yang tahu kondisinya. Tapi...” Ia menggigit bibir, terlihat ragu untuk melanjutkan.
“Tapi apa?” Widi menatapnya tajam, rasa khawatir mulai terlukis di wajahnya.
Terry memainkan jemarinya, seolah sedang berjuang mengendalikan emosi. “Arlan...dia memaksaku melayaninya. Aku sudah menolak, Tante, tapi dia tidak menghiraukan aku.” Terry menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis terisak untuk menyempurnakan aktingnya.
Wajah Widi berubah pucat seketika. Ia berdiri membatu di tempat, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Terry. Reputasi keluarga adalah segalanya baginya, dan cerita ini bisa menjadi bencana jika sampai keluar.
“Kau yakin... Arlan melakukan itu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Terry mengangguk pelan, menurunkan tangannya dari wajah. “Aku tidak ingin membesar-besarkan ini, Tante. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Aku merasa... hancur, Tante.”
Widi menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak ingin bertindak gegabah. Setelah beberapa saat hening, ia berkata dengan nada tegas, “Terry, aku ingin kau tetap tenang. Masalah ini jangan sampai bocor ke luar rumah ini. Aku akan berbicara dengan Arlan dan memastikan dia bertanggung jawab.”
“Tante, aku tidak ingin membuat masalah,” Terry berkata dengan nada merendah, menatap Widi penuh harap. “Aku hanya ingin semuanya tetap baik-baik saja.”
Widi menepuk bahu Terry dengan lembut. “Aku mengerti, Terry. Kau sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga nama baik keluarga ini. Aku tidak akan membiarkan Arlan lepas dari tanggung jawabnya.”
Dalam hati, Widi merasa marah, bingung, dan dikhianati oleh putranya. Namun, sebagai seorang ibu yang menjaga citra keluarga, ia tahu bahwa langkah berikutnya harus diambil dengan hati-hati.
Widi membawa Terry ke kamar Arlan dengan wajah tegang. Tangannya menggenggam pergelangan Terry, memastikan perempuan itu tidak berubah pikiran di tengah jalan. Terry menunduk sepanjang perjalanan, berusaha menyembunyikan senyum tipis yang tersungging di sudut bibirnya.
Begitu pintu terbuka, Arlan yang sedang mengenakan kemeja bersih berdiri di dekat jendela, wajahnya datar seperti biasa. Namun, ada kilatan tajam di matanya begitu ia melihat Widi dan Terry memasuki kamar.
"Arlan," Widi memulai, suaranya tegas tetapi terdengar sedikit bergetar. "Aku ingin penjelasan darimu. Terry mengatakan sesuatu yang sangat serius, dan aku perlu mendengar langsung darimu."
Arlan melipat tangan di depan dada, wajahnya tetap dingin. "Penjelasan tentang apa?"
"Tentang apa yang kau lakukan padanya semalam." Widi melirik Terry sekilas sebelum kembali menatap putranya. "Dia bilang kau mabuk dan—"
"Aku memaksanya tidur denganku?" Arlan memotong dengan nada datar. Ia menatap ibunya dan Terry secara bergantian, rahangnya mengeras. "Itu tuduhan yang serius."
Terry langsung terisak, menutup mulut dengan tangan seolah menahan tangis. "Arlan, aku tidak ingin membuat masalah, tapi—"
"Kalau begitu jangan buat masalah," potong Arlan dingin, matanya menatap Terry tajam. "Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi."
Widi menghela napas, mencoba menenangkan situasi. "Arlan, dia bilang dia membawamu pulang karena kau mabuk. Kau mungkin tidak sadar apa yang terjadi setelah itu. Terry hanya ingin keadilan."
Arlan mengerutkan kening. "Keadilan? Ma, aku mabuk, itu benar. Tapi aku ingat siapa yang ada di sini semalam, dan itu bukan Terry."
Terry tersentak, menatap Arlan dengan mata membelalak. "Kau... kau tidak ingat, Arlan? Kau bahkan memanggil namaku semalam!"
Arlan menyipitkan mata, langkahnya mendekati Terry dengan perlahan. "Kalau begitu, mari buktikan. Tes DNA. Kita lihat apakah ada jejakku di tubuhmu atau sebaliknya."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
akhirnya keduanya saling mengenali...
Arlan dan alika sampai terkejut org tuanya saling mengenal...
Adric jg sangat membutuhkan figur seorang ibu dan adric sangat nyaman sm alika....
Widi sangat menentang arlan menikah dgn alika krn keluarga alika berantakan..
keputusan arlan tdk bs diganggu gugat akan tetep menikahi alika....
bagas mendengar nama Arya membeku ada apakah dgn bagas dan Arya...