“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
E ~ Bab 30
...****************...
Sebelum membaca, boleh juga tarik napas dulu. Seperti yang kemarin saya ucapkan … kalau akan melewati sedikit hal buat eneg, tapi tetap sat set! Karena nulis alur yang muter-muter di situ saja, kepala langsung cenut-cenut 😁
......................
‘Abang!’ Amala berhasil menghempaskan tangan Yasir, netranya bergetar menatap sosok pria yang mengenakan pakaian kerja, kaos polos, celana jeans serta sepatu boots.
Yasir berpura-pura tertawa, ia mengusak rambutnya, jelas pemuda dihadapannya ini terlalu kuat untuk dilawan olehnya.
Agam Siddiq, walaupun tidak berpendidikan tinggi, tetapi memiliki kedudukan, kehormatan serta disegani, jangkauan pertemanannya pun bukan hanya orang biasa saja.
“Kami hanya sekedar sedikit melepaskan rindu, tolong jangan dianggap serius!”
“Kau anggap apa tunanganmu tu? Wanita yang bisa disentuh sesuka hati sebelum halal? Bila sudah tak dapat menahan nafsu, harusnya sadar diri dan cepat nikahi!” dengusnya dengan tatapan setajam mata pisau.
Amala yang berdiri di hadapan Yasir hanya bisa menelan air ludahnya, menautkan tangan demi menutupi kegugupan yang luar biasa.
Agam berdiri di antara Yasir serta Amala, tetapi posisinya lebih mundur kebelakang, menatap lekat sisi samping Amala, jelas wanita itu ketakutan sampai tubuhnya bergetar hebat.
“Sebelum saya berubah pikiran, cepat enyahlah kau!”
Tanpa dipinta dua kali, Yasir Huda langsung melenggang pergi. Dia lebih memilih menyelamatkan karirnya yang baru saja dimulai, menjadi seorang PNS.
Tidak ada percakapan, hanya ada keheningan, Amala masih berdiri di posisinya, menunduk dalam dengan tangan saling bertautan.
“Kau bukan wanita lemah, Nur Amala! Apa gunanya ilmu bela diri, kalau melindungi diri sendiri saja tak mampu! Posisimu belum terpojok, dengan sekali tendangan ataupun hempasan kuat, kau pasti berhasil meloloskan diri, atau memang enggan?”
Seketika netra Mala menatap wajah Agam, hatinya teriris kala mendapati binar kecewa.
“Maaf, Bang! Maaf, maaf!” Isakan yang tadi ia tahan lolos sudah.
Agam Siddiq tidak menanggapi, dia lebih memilih pergi.
“Bodoh! Bodoh!” berulang kali Amala memukul kepalanya. Tubuhnya luruh, seketika pasir bercampur debu memenuhi rok bagian bawah.
“Ya Rabb, maafkan hamba! Melihatnya seperti itu, hati ini bagaikan ditusuk ribuan duri. Lebih baik mendapati sorot amarah, daripada kecewa! Dulu ketika hamba jatuh dari kereta, Abang Agam begitu murka, tapi sekarang ….” Amala bermonolog seraya meminta pengampunan, air matanya kembali berlinang.
Setelah sekian menit menangis sampai tersedu-sedan, ia menghapus jejak air mata lalu berjalan pulang.
“Nirma, apa tadi Mas Yasir mampir dulu kesini?” tanyanya pada sang adik yang sedang melipat baju baru, hadiah dari sang ibu.
“Iya, Mbak. Dia nanya keberadaan Mbak Mala, terus tak suruh menyusul saja ke sumur,” jawabnya santai seperti tidak bersalah.
“Mengapa kau kasih tahu? tak pantas seorang laki-laki mendatangi wanita yang belum halal baginya, apalagi di tempat terlarang macam kamar mandi, Nirma! Bagaimana kalau pas kebetulan Mbak tak mengenakan hijab, atau lebih parahnya lagi cuma tapian handuk!” Mala menatap nanar sang adik.
Nirma menaruh pakaiannya di atas amben, menatap sekilas wajah sang Kakak. “Maaf, Mbak! Tapi, nantinya kalian juga pasti menikah juga, jadi apa yang harus dipermasalahkan?”
“Dosa, Nirma! Dosa! Iya kalau dia jodoh Mbak, kalau nggak … apa diri ni tak rugi? Kau tu sudah dewasa, harusnya tanpa diberitahu sudah dapat membedakan mana yang benar dan salah!”
Nirma yang biasanya selalu diperlakukan lembut serta dimanja, tentu tidak terima mendapatkan bentakan.
“Halla … Mbak Mala terlalu berlebihan! Lagian juga nggak terjadi apa-apa ‘kan? Tolong deh Mbak, jangan kampungan kali! Di kota saja banyak yang statusnya masih pacaran, tapi mereka santai saja jalan berdua sambil gandengan tangan!”
“Ada apa ni? Mengapa kalian bertengkar?!” Mak Syam datang menengahi, dirinya baru pulang dari ladang. Perdebatan pun berakhir.
.
.
“Meutia, boleh tak? Abang datang bertamu ke rumahmu?”
“JANGAN! Nanti Tia, bisa digorok Bang Agam!”
“Tapi, Abang ingin mengenal keluarga mu. Biar tak timbul fitnah, lagipula niat Abang tulus ingin mempersunting engkau, Meutia!” Ikram menatap kuku kaki Meutia yang hitam karena lumpur.
Mata Meutia membulat, hidungnya kembang kempis. “Abang cakap apa? Menikahi? Macam mana Tia bisa jadi seorang istri, ngurus diri sendiri saja malas kali! Nanti yang ada dirimu ku kasih makan batu, mau?!”
“Tak apa kalau Tia kurang pintar memasak, Abang bisa.”
“Bukan kurang pintar, tapi tak bisa dan malas belajar! Menyetrika baju juga sering gosong bagian tengahnya, menyapu rumah pun masih banyak tertinggal rambut rontok, mengepel apalagi, bila sudah kesal … Tia siram saja lantainya. Masih berminat?”
Ikram mengangguk pasti. “Saya mencari seorang istri, bukan asisten rumah tangga. Soal bersih-bersih, Abang juga bisa. Nanti sebelum pergi bekerja, rumah akan Abang bersihkan dan rapikan terlebih dahulu, makanan bergizi sudah terhidang di atas meja.”
“Lantas gunanya seorang istri tu apa?” Meutia menatap kancing jaket jeans Ikram.
“Untuk menjadi teman cerita, berbagi canda dan tawa, menyemarakkan hari-hari Abang. Meutia cukup berbahagia, menjadi tempat Abang pulang setelah seharian lelah mencari nafkah!” beritahu nya dengan nada lembut.
“Enak juga ya kalau macam tu? Tak perlu mengurus rumah, cukup bahagia. Bukankah tujuan kita hidup memang untuk menggapai bahagia ya?”
“Betul, Tia! Mau ya, menikah dengan Abang?”
“Tak mau! Tia masih ingin bebas berkelana, mengerjai Trio Cebol dan Kak Dhien, serta memacu motor kesayangan!” jawabnya tegas.
Bahu Ikram sedikit membungkuk, hatinya tersayat akan penolakan sang gadis idaman, tetapi tidak dengan semangat juangnya.
"Tak apa kali ini Tia menolak, Abang akan mengajukan lamaran lagi dan lagi, sampai Meutia menerima!"
"TERSERAH!!"
“Yudi, tolong kau tarik paksa sahabat mu tu, sebelum aku yang turun tangan!” Dhien yang berdiri sedikit jauh dari Meutia serta Ikram, mendengus kasar.
“Entahlah, Dhien! Aku capek kali dibuat si Ikram.” Yudi mengusak rambutnya, dirinya sudah berkenalan dengan Dhien dan lainnya.
.
.
“Mak, Dhien hari ni hendak menderes perkebunan karet milik keluarga Pakcik Leman! Jadi, nanti pulangnya sedikit lebih sore!” Dhien berpamitan.
“Tak naik kereta kau?”
“Tak lah, lebih cepat jalan kaki. Biar bisa menghemat uang bensin!”
Emak Inong pun mengangguk paham, ia melepaskan kepergian sang putri demi mengais rezeki.
“Mengapa perasaan ni tak enak, Ya Allah, tolong lindungi putri hamba!”
***
Wanita yang mengenakan kaos kancing tiga di bagian depan, bercelana jeans hitam dan topi itu terlihat begitu semangat melajukan pisau deresnya, berjalan dari satu pohon ke pohon lainnya.
“Kali ini tak ada ampun untuk kau Dhien!” Fikar membuka resleting celana, mengeluarkan burung dan mengoleskannya dengan buah kecubung yang sengaja dibawanya, lalu membuang asal.
Satu detik hingga 2 menit, benda yang sebelumnya dikatai seperti burung Emprit itu mulai tegak sempurna. Kemudian tanpa kembali mengancingkan resleting, Fikar mengendap-endap mendekati Dhien.
“Hai … mantan istri!” Ditariknya kuat bahu Dhien, sampai wanita itu nyaris terjengkang.
“Kau!” Dhien menatap manik mata memerah dipenuhi gairah, alam bawah sadarnya memberitahukan bila ada bahaya.
“Lari lah kalau kau bisa Dhien! Dasar pengecut, menipuku hanya demi mempertahankan perawan mu! Kali ini takkan kubiarkan kau lolos!” Fikar hendak meremas payudara Dhien, tetapi gagal dan ….
Srek.
kancing baju Dhien berhamburan, bajunya koyak sampai batas perut.
Kejadian tidak terduga itu seperti hujan petir disiang hari, tenaga Fikar dikala dirinya sadar sepenuhnya, bukanlah lawan yang mudah untuk ditumbangkan.
.
.
“Baru kali ni, aku merasa begitu kotor menjadi seorang wanita!”
.
.
Bersambung.
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut
sedalam itu rasamu buat Dhien
nah bangkit Dhien tunjukkan kamu setegar karang yang ga bisa dihempas siapapun