NovelToon NovelToon
Dear, Anak Majikan

Dear, Anak Majikan

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Ketos / CEO / Kisah cinta masa kecil / One Night Stand / Pembantu
Popularitas:9.4k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Mulai sekarang kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"

Gue berusaha mengatur napas. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"

"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu benaran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"

Gue mengangguk pelan.

"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemegang Kendali

...Ellaine...

...────୨ৎ────જ⁀➴...

Gue bukan seseorang yang pandai menyambut perpisahan. Kayaknya wajar sih, soalnya gue juga gak pernah menghadapi yang kayak gini. Pas Antari pergi ke universitas aja, kita gak sempet pamitan.

Gue gak sanggup lihat mukanya setelah nolak dia. Jadi ini situasi yang benar-benar asing buat gue, gue gak punya banyak pengalaman, gak tahu harus bagaimana, dan jujur aja, gak tahu harus bereaksi kayak apa. Tapi sekarang, gue harus menjalani semua ini.

Anan bakal pindah ke universitas di luar negeri. Pesawatnya berangkat beberapa jam lagi, itu kata Zielle. Barusan gue tinggalin dia di dapur, lagi makan bareng orang tua Anan, terus ada Antari sama Asta juga di sana.

Gue lihat pintu kamarnya agak kebuka, jadi gue ngintip ke dalam. Kamarnya rapi banget, bersih, tapi rasanya kosong.

Anan lagi gak pakai baju, cuma pakai jeans, rambutnya masih basah, dan dia lagi nyoba masukin sesuatu ke koper yang kayaknya udah kepenuhan.

Gue tahu hari ini bakal datang, tapi tetap saja, gue kaget seberapa sakit rasanya lihat dia siap-siap pergi. Lihat dia ngepak barang-barangnya, sadar kalau sebentar lagi dia bakal pergi, kalau gue gak bakal lagi lihat dia iseng ngejek gue di lorong, gak bakal lagi dengar suara dia main game di ruangannya, atau ngobrolin hal-hal gak penting di mana aja.

Gue meremehkan kehadiran dia, sampai sekarang gua baru sadar kalau gue bakal kangen.

Pas dia lihat gue, dia senyum, tapi ada sedih di matanya. Mata birunya masih sempat menyala sedikit.

"Udah siap?"

Dia mengangguk sambil hembuskan napas. "Kayaknya sih gitu."

Gue gak tahu harus ngomong apa. Gue udah pasang muka tegar di depan dia selama ini, jadi gue gak yakin dia bakal kuat kalau lihat gue nangis.

Tiba-tiba gue keingat Anan waktu kecil, di restoran, dia taruh tangannya di kaca pas gue juga taruh tangan gue di sisi sebaliknya. Senyumnya waktu itu hangat banget, polos. Dia emang selalu punya hati yang baik. Anak-anak ini udah jadi keluarga gue.

"Lo kepikiran apa?"

"Gak ada." Tenggorokan gue rasanya sesek. "Gue gak bakal ikut ke bandara."

Dia gak nanya kenapa, gak juga kelihatan kecewa. Dia cuma ngangguk, dia mengerti kalau gak semua orang kuat buat berpisah di bandara. "Jadi lo ke sini buat pamitan?"

Dia jalan ke arah gue, makin dekat, makin susah gue nahan air mata yang udah mulai ngumpul di mata gue. "Eh, gue..."

Suara gue nyangkut. Gue coba benahi tenggorokan sebelum lanjut. "Gue harap lo sukses di sana. Gue yakin lo bakal baik-baik aja, lo anak yang superpinter..." Gue berhenti sebentar. Pandangan gue mulai kabur. "Dan lo bakal jadi dokter yang luar biasa. Gue bangga banget sama lo, Anan."

Ekspresinya jatuh. Matanya jadi merah. Sebelum dia bisa ngomong apa-apa, dia narik gue ke pelukannya, erat banget.

"Makasih, Ellaine..." Suaranya pelan, "Makasih buat semuanya. Buat jadi sosok wanita baik, buat ngajarin gue hal-hal yang nyokap gue gak pernah mau ajarin."

Dia cium pelan sisi kepala gue. "Gue sayang banget sama lo."

Dan saat itu juga, gue gak bisa nahan lagi. Air mata jatuh satu-satu ke pipi gue. "Gue juga sayang lo, dasar tolol."

Pas kita akhirnya lepasin pelukan, Anan ngusap air mata gue pakai ibu jarinya. "Tolol?"

Kita berdua ketawa, masih dengan mata berair.

"Tenang aja, gue bakal pulang sesekali. Pas weekend, Natal… Lo gak bakal bisa lepas dari gue semudah itu."

"Harusnya gitu! Oke, lanjut gih, buat beresin barang-barang lo."

Gue ngelap hidung yang mampet gara-gara nangis barusan.

"Oke."

Anan nyium kening gue sebentar. "Dan ingat, gak peduli bagaimana lo nanti sama si Es Batu... Lo selalu jadi yang terbaik buat gue."

Gue kedipin mata ke dia. "Good girl."

Gue tinggalin dia buat beresin koper dan turun ke bawah. Semua orang udah nunggu di ruang tamu.

Pas gue ketemu tatapan Antari, kita cuma saling lihat sebentar sebelum gue langsung belok ke lorong, masuk ke kamar. Gue gak mau ada di sana pas Anan keluar bawa kopernya. Kayaknya gue baru aja sadar kalau perpisahan itu adalah kelemahan gue.

Di lorong, gue ketemu nyokap. "Udah mau berangkat?"

Dia senyum, tapi ada sedih di matanya. "Iya, bentar lagi."

"Mama ke bawah dulu."

Gue cuma ngangguk dan geser badan biar dia bisa lewat.

Nyokap sayang banget sama tiga bersaudara Batari. Bisa dibilang, dia malah lebih sering bareng mereka dibanding Mama kandung mereka sendiri.

Gue hembuskan napas, masuk ke kamar.

Masih pagi buta, pesawat Anan take off pagi banget, jadi gue masih ada waktu tidur beberapa jam lagi.

"Gue… pengen sama lo, Ellaine."

Gue berbalik di tempat tidur, naruh satu sisi wajah gue di tangan. Kata-kata Antari terus berulang di kepala gue, lagi dan lagi…

"Karena lo. Karena cuma lo yang bisa lihat gue apa adanya."

Bagaimana bisa dia ngomong kayak begitu, terus ngilang gitu aja?

Gue balik badan lagi, sekarang tiduran telentang dengan tangan gue di samping.

Dasar Es Batu bego.

Gue nutup mata, narik napas dalam-dalam. Gue benaran butuh tidur tiga jam ini. Kalau enggak, besok hari gue bakal hancur.

Di tengah gelapnya kamar, cahaya bulan masuk lewat jendela. Bayangan pohon di luar bikin bentuk-bentuk aneh di langit-langit. Senyum kecil muncul di bibir gue saat teringat waktu gue umur delapan tahun...

.........

"Lo ngapain?"

Dia lagi naruh seprai di lantai kamarnya dan matiin lampu.

Gue masih takut gelap waktu itu. Trauma dari tahun-tahun gue di jalanan belum sepenuhnya hilang, jadi gue langsung merem erat-erat, ngerasa takut.

Tapi Antari ambil tangan gue, nuntun gue buat tiduran di seprai bareng dia. Gue masih nutup mata. Gue gak mau lihat monster-monster di sekitar gue.

"Antari… gue gak suka gelap."

"Gue tahu." Dia bisik pelan. "Lihat ke langit-langit. Buka mata lo."

Perlahan, gue buka mata.

Langit-langit kamarnya penuh sama stiker yang bercahaya, bintang, planet, rasi bintang, semua warna-warni. Pemandangannya… gila sih. Indah banget.

"Gila…"

"Lo gak perlu takut. Gelap juga bisa indah, Ellaine."

.........

Setelah itu, dia sering banget ngenalin gue ke kegelapan dengan cara yang beda, nunjukin hal-hal indah yang tersembunyi di dalamnya. Sampai akhirnya, gue nggak takut lagi.

Gue rasa, gak banyak yang tahu seberapa baik hati Antari sebenarnya.

Gue jadi penasaran, apa dia pernah nunjukin sisi itu ke orang lain juga?

Kenapa lo mau kelihatan acuh dan dingin, padahal lo punya hati yang hangat, Antari?

Dengan pertanyaan itu yang terus muter di kepala gue, rasa capek akhirnya menang, dan gue ketiduran.

...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...

"Ini daftar tugas harian kamu," kata Bu Renata sambil menyodorkan selembar kertas ke gue. "Dan saya ulangin lagi, Ellaine, kita benar-benar senang kamu daftar buat magang di sini. CV kamu dan pemgalaman kerja kamu keren banget."

"Makasih banyak, Bu Renata."

"Oh, ayolah, panggil saya Renata. 'Bu Renata' bikin saya ngerasa tua."

"Oke, Renata."

Renata ini kepala bagian Marketing di perusahaan Batari. Dia ngenalin gue ke tim kerja dan satu lagi anak magang di sini, Vey. Gue duduk di bagian meja besar yang harus gue bagi sama Vey.

Walaupun ruangannya sharing, gue masih nggak percaya. Ini hari pertama magang gue, pertama kalinya gue bisa kerja di bidang yang udah gue pelajari bertahun-tahun, sesuatu yang gue suka.

Jangan salah paham, gue bersyukur banget Pak Batari ngizinin gue ngambil posisi nyokap waktu dia sakit, tapi kerja sebagai staf rumah tangga di keluarga Batari selamanya bukan mimpi gue. Gue punya ambisi dan banyak tujuan, dan ini salah satunya.

Gue juga nggak milih perusahaan ini cuma karena hubungan gue sama keluarga Batari. Gue objektif banget pas mutusin ini. Perusahaan ini salah satu yang paling besar di negara ini, tim Marketing-nya punya reputasi, dan mereka udah ngeluarin kampanye iklan paling kreatif dan terstruktur yang pernah gue lihat.

Setiap kali gue lihat hasil kerja mereka atau baca artikel tentang tim ini, gue selalu ngerasa, "Gue harus kerja di sana."

Ragu, gue kasih isyarat ke dia buat diam dan nggak menghancurkan penyamaran gue.

Gue tahu Antari nggak akan sadar. Gedung ini gede banget, dan gue cuma anak magang yang kerja tiga hari seminggu di shift sore. Gue juga nggak bisa ninggalin kerjaan di rumah keluarga Batari sepenuhnya, jadi untung aja magang ini nggak full-time atau tiap hari.

"Lo bangga gak?" tanya Vey, duduk beberapa langkah dari gue.

"Banget. Lo?"

"Gila banget! Gue dengar ada lebih dari 100 orang yang daftar! Dan kita berdua yang kepilih. Kita beruntung banget."

Gue senyum. "Iya, benar."

Sore itu gue habisin waktu buat membereskan meja kerja dan setting komputer perusahaan supaya lebih nyaman buat gue. Pas istirahat sore, Vey dan gue keluar beliin kopi buat tim ke kafe di seberang jalan.

Dia ngeluarin kartu perusahaan buat bayar. Ini salah satu tugas kita, dan gue sih nggak masalah. Kafein itu bahan bakar utama pekerja kantor, dan kita di sini masih yang paling junior.

Pas kita balik ke gedung dan masuk lewat pintu putar kaca, gue tiba-tiba berhenti mendadak. Hampir aja nampan kopi di tangan gue terbang.

Antari.

Dia keluar dari lift, pakai setelan biru tua yang kelihatan mahal banget, dipadu sama dasi biru langit. Wajahnya tetap dingin kayak biasanya, ekspresi yang dia tunjukin ke semua orang.

Telinganya nempel ke HP, sementara tangan satunya lagi megang beberapa dokumen. Di belakangnya ada dua cowok lain, juga pakai setelan rapi.

Sebelum dia bisa melihat gue, refleks gue langsung nyari tempat ngumpet. Gue buru-buru lari ke samping dan sembunyi di balik pot tanaman yang tingginya sedikit lebih tinggi dari gue.

Bagaimana caranya gue bisa ngelakuin itu tanpa numpahin kopi setetes pun?

Gue juga nggak ngerti.

Harusnya tadi gue tulis skill ini di CV gue.

Gue ngintip dikit dari balik daun-daunan, dan mata gue langsung ketemu sama Vey. Dia berdiri kaku, memperhatikan gue dengan ekspresi, "Anjir, lo ngapain?"

Akhirnya dia pergi dan gue lega. Tapi Vey masih memperhatikan gue, jelas-jelas nunggu penjelasan. "Ellaine?"

"Ehm… ini agak rumit."

"Lo barusan sembunyi dari manajer perusahaan ini? Kenapa?"

"Lo tahu dari mana dia manajer?"

"Dia itu Duta perusahaan, muncul di mana-mana di iklan. Dan ya, nggak heran sih… orangnya cakep banget."

Dan ciumannya juga luar biasa.

Gue batuk kecil buat nutupin pikiran yang tiba-tiba muncul itu. "Gue cuma… lo tahu lah, ngerasa terintimidasi. Dia bos besar di sini, hari pertama kerja, wajar lah panik dikit."

"Gue ngerti. Lagian, aura dia benaran serem sih, sampe gue ngerasa dingin."

"Nah, itu dia!"

Kita balik ke meja kerja setelah bagi-bagi kopi buat tim. Mereka semua ngucapin terima kasih, dan gue lega semuanya berjalan lancar.

Tapi kepala gue masih sibuk mikirin Antari. Gue nggak tahu kenapa gue nggak mau dia tahu gue kerja di sini. Mungkin karena gue nggak mau diperlakukan spesial, nggak mau bikin suasana kerja jadi canggung kalau orang-orang tahu gue kenal dia.

Gue pengen mereka nilai kerjaan gue karena usaha gue sendiri, bukan karena siapa yang gue kenal.

Gue tahu mereka bakal bilang nggak ada yang berubah. Tapi gue juga tahu… pasti beda rasanya kalau tim kerja tahu gue punya hubungan dekat sama si bos besar.

...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...

Begitu sampe rumah, gue udah lelah banget. Habis kerja langsung lanjut ke kampus, dan ternyata gue benar-benar nyepelein magang ini. Gila sih, cuma beberapa jam tapi rasanya kayak seharian penuh.

Gue nggak kaget pas masuk ruang tamu dan melihat kosong. Udah biasa. Jadi gue langsung ke dapur, laper banget. Sambil nguap, gue nepuk-nepuk perut, berharap ada makanan yang siap buat dilahap.

Gue langsung bengong pas masuk dapur, nyaris keselek udara sendiri.

Antari ada di sini.

Ini pertama kalinya kita ketemu lagi berdua sejak malam itu. Malam di mana dia ngucapin kata-kata yang masih terus kepikiran sampe sekarang. Tapi yang lebih bikin gue shock bukan cuma kehadirannya… melainkan... dia lagi masak.

Dia pakai celemek di atas kemeja putihnya, kayaknya dalaman dari setelan yang tadi dia pakai. Jas dan dasinya udah dicopot dan ditaruh di kursi. Dan dari wangi yang nyebar di dapur, apa pun yang dia masak, pasti enak banget.

Dia masih membelakangi gue, jadi dia belum nyadar gue di sini. Gue bersandar ke kusen pintu sambil memperhatikan dia.

Pemandangan yang bagus.

"Berapa lama lagi lo mau diam di situ sambil mandangin gue?"

Suara beratnya bikin gue kaget.

Bagaimana dia tahu?!

Seperti bisa baca pikiran gue, dia nunjuk ke bayangan gue yang kelihatan jelas di tembok sampingnya pakai sendok yang dia pegang.

Sial.

"Cuma… nggak nyangka aja lihat lo kayak gini."

Dia berbalik, dan jantung gue tiba-tiba jadi lebih hangat. Wajah itu… Dengan sedikit janggut tipis, rahang tegas, dan aura maskulin yang kuat. Bahkan dengan celemek sekalipun, dia masih kelihatan seksi.

Tapi bukan itu yang paling bikin gue ngerasain sesuatu. Tatapannya. Matanya yang hangat, beda banget sama ekspresi dingin yang dia tunjukin di kantor tadi siang. Sama gue, dia selalu kelihatan beda.

"Dikit lagi selesai. Duduk sana," katanya sambil nunjuk meja makan.

Gue ngangkat alis. "Lo masak buat gue?"

"Kenapa kelihatan kaget banget? Siapa yang bikinin lo sandwich pertama kali pas lo mulai tinggal di sini? Siapa yang ngajarin lo bikin pancake? Siapa yang—"

"Iya, iya, gue ngerti."

Dia senyum, dan sumpah… gue kepengen banget nyamperin dia, megang wajahnya, terus nyium bibirnya.

Santai, Ellaine.

Tenang.

Gue duduk, memperhatikan dia lanjut masak dan nyiapin makanan di piring.

Pas dia duduk di seberang gue, dia mandangin gue sebentar sebelum akhirnya ngomong. "Lo kelihatan capek banget."

"Iya, gue capek banget. Hari ini panjang banget," jawab gue.

Sebenernya gue pengen cerita soal magang gue. Gue nggak biasa nyimpen rahasia dari Antari, kecuali satu hal, apa yang nyokapnya lakuin ke gue.

Dia taruh piring-piring di meja, dan sumpah, semuanya keliatan mewah.

"Wow." Presentasinya kayak masakan chef profesional. "Tunggu sampe lo nyobain rasanya."

Dia duduk di samping gue, terus tiba-tiba dia ngambil tangan gue dan nyium punggungnya. Bibirnya yang hangat di kulit gue langsung bikin bulu kuduk gue berdiri.

Mata kita bertemu. Dia masih megang tangan gue.

"Maaf gue ngilang beberapa hari. Lagi sibuk sama proyek baru di kantor, sampe beberapa kali harus nginep di sana."

"Nggak apa-apa. Lo nggak perlu jelasin ke gue."

"Gue harus jelasin. Gue nggak bisa bilang mau ngejar lo, terus tiba-tiba hilang dan balik lagi kayak nggak ada apa-apa. Lo pantas dapet lebih dari itu."

Gue nelan ludah. Deket banget. Ini bahaya buat otak gue yang udah kepenuhan fantasi tentang dia selama berbulan-bulan. Gue buru-buru menarik tangan gue dari genggamannya.

"Oke, oke. Udah waktunya ngetes masakan lo."

Dia ngeliatin gue penuh harapan pas gue menyuap makanan pertama. Iseng, gue sengaja bikin ekspresi jijik.

"Kenapa?" dia langsung panik.

Gue ngunyah, senyum, terus pas udah nelan, gue bilang, "Enak banget. Gue cuma jijik sama lo."

Dia menyipitkan mata, terus dalam satu gerakan cepat, dia kasih cium kecil di pipi gue.

"Hei!"

Si brengsek itu malah nyengir lebar.

"Cuma bercanda."

Panas langsung naik ke pipi gue, jadi gue buru-buru fokus makan lagi.

Setelah selesai makan, gue berdiri buat nyuci piring. Antari bersandar di meja dapur di seberang gue. Kita ngobrol soal kerjaan. Tapi gue masih belum bilang ke dia kalau hari ini gue mulai magang di perusahaannya sendiri.

Gue pengen banget ngerasain bibirnya.

Tapi...

Gue juga masih inget semua luka yang dia kasih ke gue berbulan-bulan lalu. Tentang tunangannya. Tentang betapa hancurnya gue waktu itu.

Jadi, meskipun udara di antara kita berasa berat, meskipun tatapan dia udah turun ke bibir gue, meskipun napas kita cuma tinggal sejengkal…

Gue nggak bergerak.

Antari juga nggak.

Tangannya masih ada di pipi gue, ibu jarinya sedikit mengusap kulit gue, seolah nunggu izin buat bisa melakukan lebih dari ini.

Gue telan ludah.

"Gue kangen lo." Suaranya rendah.

Gue mau bilang gue juga, tapi suara gue ketahan di tenggorokan. Jadi gue cuma kasih dia senyum kecil, terus pelan-pelan, gue angkat tangan gue, menaruhnya di pipi dia. Jari-jari gue merasakan tekstur janggut tipisnya, hangatnya kulit dia di bawah telapak tangan gue.

Antari nutup mata sesaat, merasakan sentuhan gue sepenuhnya. Pas dia buka lagi, matanya makin gelap, penuh sama sesuatu yang bikin perut gue mencelos.

Gue tau dia mau nyium gue.

Dan yang lebih gawat… gue nggak yakin bisa nolak.

"Lo tahu lo cantik?" bisiknya sambil terus ngusap pipi gue.

Gue senyum tipis. "Gue tahu."

Alisnya naik, kayak nggak nyangka gue bakal jawab gitu. "Baiklah."

Terus, dia nurunin tangannya dan ngambil satu langkah ke belakang, mutusin semua kontak antara kita.

Gue langsung kangen angetnya.

"Besok, abis kelas, gue jemput lo di kampus. Kita pergi makan malam."

Gue pura-pura mikir. "Hmm, gue pikir-pikir dulu deh."

"Lo pikir-pikir?"

"Oke, gue setuju. Tapi cuma karena makanan lo tadi enak banget."

Dia nyengir. "Bagus."

"Oke."

Dia angkat tangan, "Selamat malam, Ellaine."

"Selamat malam, Antari."

Dia balik badan buat pergi. Tapi entah kenapa, sebelum gue sempet mikir panjang, kaki gue udah gerak sendiri.

Gue cepet-cepet tarik lengannya, membuatnya berbalik, terus tanpa ragu, gue genggam kerah kemejanya dan cium dia.

Antari langsung bales.

Lapar.

Rakus.

Gila.

Akhirnya bibir kita ketemu, basah, panas, dan gue ngerasa tubuh gue langsung kebakar sama sentuhannya.

Terus pas dia menggeram pelan di antara ciuman kita?

Gue nyaris kelepek-kelepek di tempat.

Gue memiringkan kepala buat mendalami ciuman kita, nikmati setiap detik, ngerasain gimana dia bener-bener pengen gue.

Tapi...

Cukup, Ellaine. kalau nggak, lo bakal dilenyapkan di atas meja dapur.

Gue akhirnya tarik diri. Tapi sebelum sempet lepas sepenuhnya, dia langsung tarik pinggang gue, nempelin tubuh kita, berusaha nyium gue lagi.

Gue cepet-cepet taruh jempol di bibirnya, menghentikan dia. Terus gue geleng-geleng kepala.

"Lo nggak punya kendali di sini." Gue melepas pelukannya pelan, terus kasih dia tatapan sinis. "Gue yang pegang kendali."

Dan gue ninggalin dia di dapur, napasnya masih berat, matanya masih penuh gairah.

Apa pun yang bakal terjadi setelah ini, antara gue dan Antari…

Itu semua bakal terjadi karena gue yang nentuin.

Karena... Gue... Adalah... Api...

1
Quinza Azalea
bagus
🕊: Terima kasih, kak.
total 1 replies
Ummi Yatusholiha
selamat ya antari ellaine atas kelahiran baby ailsa,baby girl
kesayangan keluarga batari🥰🥰

lah thor,udah selesay aja kisah ini. happy dan semangat trus yaaa 🥰🥰
Ummi Yatusholiha: masama thor 🥰🥰🥰
🕊: Iya, kak makasih banget udah stay.
total 2 replies
Ummi Yatusholiha
maaf thor,masa sih pak batari dan dokter kinara ngomongnya ke pasien pake gue sih
Ummi Yatusholiha: kakek juga ada part yg ngomong pake gue thor 😊
🕊: Ya ampun, iya lagi. Maaf typo kak... 🙏
total 2 replies
Ummi Yatusholiha
selamat atas kebahagiaan antari dan ella 🥰
btw, kalian gak mau nikah yaa,kisah ini bukan berlatar belakang luar negeri kan thoorr
Ummi Yatusholiha
paling sedih asta deh,mungkin karna dia si bungsu dan dia gak bisa ngomong apa2.. sabar ya keluarga batari,itu sudah jadi keputusan terbaik utk kalian
Ummi Yatusholiha
gimana tanggapan antari yaa🤔🤔🤔
Ummi Yatusholiha
KB ellaine kayaknya gagal deh
Ummi Yatusholiha
ngeri dengan kemarahan antari
Susi Andriani
kasihan
Ummi Yatusholiha
hadeuh hadeuuuhhh
Ummi Yatusholiha
aslinya antari sebetulnya sih rapuh,tapi sangat berusaha utk jadi org yg kuat demi tanggung jawabnya
Ummi Yatusholiha
nyesek deh,gegara kelakuan seorang ibu,satu rumah jadi hancur.
ella emang paling cocok dampingi antari,antari butuh ella
Ummi Yatusholiha
karna mabok,akhirnya ellaine bisa cerita soal ancaman si astuti. bagus deh,antari udah gak salah paham sama ella
Susi Andriani
bakal jadi malam panjang dan panaaaas
Susi Andriani
tor gantilah jangan pake elu gue
🕊: iya, kak entar diganti pakai , ana-antum
total 1 replies
Ummi Yatusholiha
akhirnya kesampaian juga keinginan kalian buat "bersatu"
gak pakai pengaman ya antari,siap hamil dong ai ella
Ummi Yatusholiha
sapa nih yang bakal menang di malam panjang ellaine antari 😊😊
Ummi Yatusholiha
suka sama karyamu thor,selalu penasaran tungguin kelanjutan kisah antari ellaine 🥰🥰🥰
Ummi Yatusholiha
suka sama karyamu thor,selalu penasaran tungguin kelanjutan kisah antari ellaine 🥰🥰🥰
Ummi Yatusholiha
bagus ellaine,bikin penasaran tuh si antari,jangan main nyerah aja 😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!