Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Setelah kepergian para guru, kelas kembali tenang—atau setenang yang bisa diharapkan setelah insiden kecil pagi itu. Beberapa siswa berbisik di sudut-sudut ruangan, menatap ke arah Alvaro dengan kecurigaan yang tak berani mereka utarakan. Alvaro hanya bersandar di kursinya, menatap kosong ke arah jendela.
“Kalau kau mau terus bertindak seperti ini, mungkin lebih baik aku bawakan buku panduan aturan Akademi, supaya kau bisa lebih kreatif dalam melanggarnya,” suara Gale tiba-tiba memecah keheningan, disertai langkah kakinya yang berat mendekati bangku Alvaro.
Alvaro meliriknya sekilas. “Panduan itu terlalu membosankan untuk dibaca. Kau tahu itu.”
Gale menjatuhkan diri di bangku kosong di sebelah Alvaro, posturnya yang kokoh terlihat kontras dengan sikap santainya saat duduk. Tangan Gale bersedekap di dada, sementara ia melirik sahabatnya dengan ekspresi yang setengah jengkel, setengah menghibur.
“Kau benar-benar belum berubah sejak SMP,” ujar Gale dengan nada datar namun penuh makna. “Masih suka cari masalah dan menganggap dunia ini hanya papan catur untuk permainanmu.”
Alvaro terkekeh kecil, sebuah reaksi langka dari dirinya. “Dan kau belum berubah sejak saat itu juga—selalu jadi penjaga moral dan kehormatan di sekitarku.”
Gale menatapnya sambil menaikkan alis. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau memastikan kau tetap hidup sampai akhir semester?”
Keduanya terdiam sejenak. Suasana kelas yang tadi tegang berubah lebih santai, meski tak sepenuhnya aman. Dari kejauhan, beberapa siswa masih mencuri pandang ke arah mereka berdua—Alvaro, si "pembuat masalah", dan Gale, si "ksatria akademi". Dua pribadi yang terasa bertolak belakang, tetapi entah bagaimana, justru saling melengkapi.
“Kau ingat, waktu kelas delapan, ketika kau membuat kepala sekolah SMP kita nyaris pingsan karena ular plastik itu?” Gale tiba-tiba membuka topik, nada suaranya berisi kenangan lama.
Alvaro mendengus kecil. “Aku cuma ingin melihat apakah pria tua itu bisa berteriak. Ternyata bisa.”
“Kau dipanggil ke ruang BK selama seminggu penuh,” lanjut Gale sambil tersenyum tipis. “Dan aku harus ikut menemanimu karena aku satu-satunya yang bisa membuatmu tutup mulut dan berhenti melawan guru.”
“Aku tidak meminta kau ikut waktu itu.” Alvaro melirik Gale dengan pandangan menyelidik.
Gale balas menatapnya dengan tenang. “Ya, tapi kau akan dipindahkan sekolah kalau aku tidak ikut. Seseorang harus jadi perisai untuk semua ledakan kecil yang kau buat.”
Suasana di antara mereka terasa lebih hangat, meskipun tak ada tawa berlebihan atau sentuhan dramatis. Gale tidak pernah mencoba mengubah Alvaro—ia tahu sahabatnya itu lebih keras kepala dari batu. Tapi, selama bertahun-tahun, ia selalu ada di sampingnya: sosok yang diam-diam memegangi tali layang-layang liar bernama Alvaro, memastikan ia tidak tersesat terlalu jauh.
Alvaro akhirnya menatap Gale lebih lama. Ekspresi wajahnya masih tenang, tapi di dalam matanya, tersirat penghargaan yang jarang ia tunjukkan.
“Kau tahu, Gale,” Alvaro berujar pelan, “kalau kau punya hobi lain selain mengurusi hidupku, mungkin kau sudah lebih bahagia.”
Gale terkekeh kecil. “Aku baik-baik saja. Seseorang harus menjagamu. Lagi pula, kau tak pernah bayar jasa keamanan yang sudah kuberikan sejak SMP.”
“Anggap saja itu ikhlas.”
“Percuma. Kau tetap berutang banyak padaku.”
Untuk pertama kalinya hari itu, Alvaro menghela napas kecil, nyaris seperti tawa yang tertahan. Suasana kaku di sekitarnya akhirnya mencair—Gale memang satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasa seperti manusia biasa, meskipun hanya sesaat. Persahabatan mereka tidak memerlukan kata-kata manis atau janji berlebihan. Itu hanya ada—kokoh, seperti tembok batu yang tahan badai.
Suasana kelas mulai mereda. Alvaro masih bersandar di bangkunya, sementara Gale duduk di sebelahnya dengan sikap santai. Mereka berdua menikmati momen hening yang jarang terjadi di Akademi Debocyle—setidaknya hingga pintu kelas terbuka dengan suara berdecit pelan.
Semua kepala menoleh ke arah pintu, termasuk Alvaro dan Gale. Berdiri di sana, dengan tatapan tajam dan sikap tegap seperti seorang ratu, adalah Latania.
Latania dikenal bukan hanya karena wajahnya yang memukau, tapi juga auranya yang tegas dan dingin. Rambut hitam panjangnya diikat tinggi, membiarkan beberapa helai jatuh bebas membingkai wajahnya. Seragamnya rapi tanpa cela, dengan emblem Akademi bersinar di dada kirinya, tanda posisinya sebagai salah satu murid terbaik.
“Hei, Latania datang,” bisik beberapa siswa.
Tanpa mempedulikan lirikan kagum atau bisikan yang mengikutinya, Latania melangkah masuk. Langkah kakinya teratur, nyaris tanpa suara, tapi setiap gerakannya mengundang perhatian. Ia berhenti tepat di depan Alvaro dan Gale, menatap keduanya dengan pandangan penuh arti.
“Kalian berdua memang selalu jadi pusat keributan,” ucapnya, suaranya rendah namun tajam seperti pisau. “Aku bahkan bisa mendengar ledakan itu dari ruang perpustakaan.”
Gale menatap Latania dengan senyum kecil. “Selamat pagi juga, Latania.”
Latania melirik Gale sekilas, sebelum tatapannya kembali ke Alvaro yang hanya membalasnya dengan pandangan malas.
“Apa lagi, Alvaro?” Latania menyilangkan tangan di dada. “Berapa kali kau harus membuat Akademi ini berada di ujung tanduk sebelum kau puas?”
Alvaro mendengus kecil. “Aku tidak ingat punya kewajiban melapor padamu.”
Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibir Latania. Senyum itu bukan tanda kelembutan—lebih seperti tanda bahwa ia tahu sesuatu yang tak diketahui orang lain.
“Kau selalu menyebalkan,” gumamnya. “Tapi kau tahu? Semua orang masih menaruh harapan padamu—meskipun kau bertindak seperti ini.”
Gale terkekeh kecil. “Kau terlalu keras padanya, Latania. Biarkan Alvaro menikmati kebebasan sementaranya.”
Latania memutar bola matanya dengan elegan. “Kebebasan? Hanya jika kau pikir bermain api di Akademi adalah kebebasan.”
Alvaro menatap Latania cukup lama sebelum akhirnya membuka mulut, nadanya datar. “Kau datang jauh-jauh hanya untuk menguliahi kami, atau kau punya urusan lain?”
Latania mendekat, sedikit membungkuk hingga tatapan mereka sejajar. Ada kilatan tajam di matanya.
“Aku datang untuk memperingatkan kalian berdua,” katanya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Gale berhenti tersenyum. “Aku mendengar kabar… sesuatu yang buruk akan terjadi di Akademi.”
Hening mendadak menyelimuti mereka. Alvaro menatap Latania lekat-lekat, mencoba mencari kebohongan di balik matanya, tapi yang ia temukan hanya ketegasan dan kesungguhan.
“Buruk seperti apa?” tanya Gale akhirnya, suaranya lebih serius.
Latania menegakkan tubuhnya, melipat tangan di belakang punggung. “Aku belum tahu pasti, tapi kau bisa merasakannya, bukan? Ada yang tidak beres sejak pagi ini.”
Tanpa menunggu jawaban, Latania berbalik dan berjalan menuju bangkunya di barisan depan. Langkahnya sama tegas seperti saat ia datang, menyisakan ketegangan samar di antara Alvaro dan Gale.
“Dia selalu seperti itu,” gumam Gale akhirnya.
Alvaro hanya diam. Di kepalanya, ucapan Latania berputar tanpa henti. Sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan entah kenapa, kali ini, Alvaro mempercayainya.
Suasana kelas kembali sibuk seperti biasa, meskipun gema kata-kata Latania masih terngiang di kepala Alvaro. Sesekali, matanya melirik ke luar jendela, memandang patung pendiri Akademi yang masih sedikit gosong akibat insiden pagi tadi.
“Alvaro.”
Sebuah suara lirih menarik perhatiannya. Alvaro menoleh, mendapati seorang siswa duduk di bangku yang tak jauh darinya—Dave. Wajah Dave tampak sedikit pucat, tapi senyumnya ramah, meskipun gugup. Tubuhnya kecil, jauh lebih mungil dibandingkan Gale, dan rambutnya yang berantakan memberi kesan ia sering melupakan sisir.
“Ada apa?” tanya Alvaro singkat.
Dave menegakkan punggungnya, lalu menatap Alvaro dengan ragu. “Aku cuma ingin bilang… terima kasih.”
Alvaro mengernyit. “Terima kasih? Untuk apa?”
Dave memainkan ujung pulpen di tangannya, menatap meja sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Alvaro. “Minggu lalu… kau tahu, di halaman belakang, waktu beberapa anak kelas dua menggangguku. Kalau kau tidak lewat waktu itu, mungkin—”
“Oh, itu,” potong Alvaro. “Bukan urusanku.”
“Tapi tetap saja… kau bilang sesuatu pada mereka, dan mereka pergi. Kau tidak harus melakukannya, tapi… kau melakukannya,” ucap Dave cepat, seolah takut ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. “Aku cuma mau bilang itu sangat berarti buatku.”
Alvaro diam. Ia bahkan hampir lupa kejadian itu—baginya, mengusir sekelompok anak usil hanyalah tindakan spontan, bukan sesuatu yang perlu diingat. Namun, bagi Dave, momen itu rupanya menyimpan arti yang lebih dalam.
“Kau berlebihan,” gumam Alvaro, memalingkan wajah. “Mereka hanya bocah-bocah berisik.”
Dave tersenyum kecil, tapi tatapan matanya tulus. “Tetap saja… Aku tahu kau tidak suka dilibatkan dalam urusan orang lain, tapi kau menyelamatkanku hari itu. Aku berhutang budi padamu.”
Alvaro menatap Dave sejenak. Ada sesuatu di balik sikap canggung siswa itu—sesuatu yang familiar baginya. Seperti melihat seseorang yang berusaha keras bertahan di dunia yang tak berpihak padanya.
“Jangan berhutang pada siapa pun,” ucap Alvaro akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Itu hanya akan menyulitkan hidupmu.”
Dave tertawa kecil, meskipun nadanya agak getir. “Kau terdengar seperti ayahku.”
Ucapan itu membuat Alvaro terdiam. Tidak banyak yang berani mengobrol dengannya, apalagi dengan cara seakrab ini. Namun, Dave berbeda—mungkin karena Dave tidak takut pada reputasi Alvaro, atau mungkin karena ia hanya seorang siswa biasa yang terlalu polos untuk menilai orang lain berdasarkan omongan.
“Kau aneh,” komentar Alvaro akhirnya.
Dave terkekeh. “Aku sudah sering mendengarnya.”
“Kalau begitu, berhentilah duduk di sini. Orang-orang akan mengira kau bagian dari masalahku.”
“Aku tidak peduli,” jawab Dave cepat, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Lagipula, aku hanya ingin sedikit tenang. Duduk di dekatmu… entah kenapa membuatku merasa aman.”
Alvaro menoleh, keningnya berkerut samar. Tapi sebelum ia sempat membalas, Gale menyenggol lengannya dari samping.
“Teman barumu?” tanya Gale dengan senyum setengah mengejek.
“Bukan,” jawab Alvaro singkat.
Dave hanya tertawa pelan mendengar itu, lalu menatap Gale dengan ramah. “Halo, Gale. Aku sering melihatmu waktu latihan di lapangan.”
“Kau tahu namaku?” Gale menatap Dave dengan sedikit terkejut.
“Siapa yang tidak tahu namamu? Kau kan murid berbakat di Akademi ini,” jawab Dave dengan polos.
Gale tersenyum tipis. “Kau tahu caranya bicara yang menyenangkan, ya.”
Percakapan kecil itu berakhir ketika bel tanda istirahat berbunyi. Dave bangkit lebih dulu, merapikan bukunya dengan cepat.
“Aku duluan, ya. Terima kasih lagi, Alvaro,” ucapnya sebelum pergi.
Alvaro hanya menatap punggung Dave yang berlalu, tanpa menjawab. Ada sesuatu yang aneh dengan anak itu—bukan dalam arti buruk, tetapi… entah bagaimana, sosok Dave terasa rapuh, seperti kaca tipis yang siap pecah kapan saja.
“Kau menyelamatkan anak itu?” tanya Gale setelah beberapa saat.
“Aku tidak sengaja,” jawab Alvaro pelan.
Gale menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Kadang hal kecil bisa berarti besar untuk orang lain, Al. Jangan anggap itu remeh.”
Alvaro hanya diam, tapi pikirannya masih tertuju pada Dave. Sebuah firasat samar menyelinap di kepalanya—seakan ia tahu, entah bagaimana, anak itu akan menghadapi sesuatu yang lebih besar dari yang ia mampu tanggung.