“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
S ~ Bab 22
Sebelumnya saya ingin memberitahukan susunan nya ya Kak, karena masih ada yang bingung tentang alur ini.
* Kisah Dhien mundur 2 tahun sebelum Amala.
* Amala sudah bertunangan dengan Yasir.
* Wahyuni sudah menikah dengan Hasan, dan memiliki satu orang putri umur 1 tahun.
* Meutia masih gadis dan berkuliah di ibu kota provinsi, baru mulai dikejar si bucin Ikram.
* Nirma masih polos, belum kenal Burungnya Asil Yasir Huda 🤣
* Trio Cebol baru berumur 8 jalan 9 tahun.
Selamat membaca ❤️
......................
"Aku tak mencuri, hanya merebut kembali hak ku! Kalian merampas uang kematian Ayah, membuat hidup Emak ku layaknya di neraka! Membentuk Zulham menjadi sosok durhaka! Tak mengakui ku sebagai anggota keluarga, tepati begitu bernyali ingin mengendalikan diri ini, dasar manusia tamak tak tahu diri!"
BYUR.
Seketika air sungai yang tadi tenang kini berkecipak.
Dhien membuang sebuah batu besar yang diikat tali tambang dan terdapat dua lonceng Lembu.
"Sampai mati pun, kalian tak kan bisa menemukan barang bukti!" ujarnya seraya menatap tajam sungai bagian terdalam, dimana dia melenyapkan jejak hasil merampok nya.
Sayup-sayup Dhien mendengar suara trio Cebol dan Meutia yang sepertinya terlibat perdebatan sengit, ia melangkah begitu pelan agar tidak menimbulkan suara.
"Dasar biang kerok, dimana berada pasti ribut! Mungkin bila diajak berperang, sudah mati duluan sebelum berkesempatan menjatuhkan lawan!" Di bukanya sepatu boot-nya dan juga tas ransel, lalu menaiki batang kayu.
Meutia dan ketiga muridnya, sedang sibuk dengan Nirma yang terlihat enggan melompat, mereka tidak menyadari keberadaan Dhien dibelakang mereka dan sudah bersiap hendak mengguncang.
"Siapa yang menggoyang pohon?!" Meutia dan lainnya langsung melihat kebelakang.
Terlambat, mereka sudah keduluan terlempar dan tercebur.
"KAK DHIEN PAOK!"
BYUR.
"Tolong! Tia, tolong aku!" Nirma berteriak sambil memejamkan mata.
"Astagfirullah. Melek, Nir! Tinggi airnya saja cuma sebatas leher mu! Bisa-bisanya kau berteriak macam orang kesurupan!" Meutia menarik rambut belakang Nirma.
"Oh iya ya, ku kira sudah tenggelam tadi?" Nirma berpegangan pada cabang ranting.
"Ada-ada saja Kakak ni, mana mungkin orang tenggelam bisa berteriak! Dasar Kak Nirma temannya si Budi!" Ayek yang juga berpegangan pada dahan, mencibir habis adiknya Amala.
"Awas Wee!" Dhien ikut menceburkan diri.
Berakhir mereka mandi di sungai, berenang kesana-kemari, melupakan pancingan yang entah dimana rimbanya.
Seperti itulah kira-kira foto Trio Cebol saat bermain disungai bersama para temannya.
***
"Ayok pulang! Perut lapar, Ikan pun dapat! Sia-sia dari matahari mulai tinggi sampai menjelang sore pun, umpan kita sama sekali dianggurin Ikan tak tahu diri! Dikasih makan enak, tapi sok jual mahal! Kelaparan baru tahu rasa!" Meutia menggerutu, dirinya jalan paling depan.
"Kalian saja yang Paok! Niat mancing apa mau gelut? ribut betul, ya kabur lah ikannya!" cibir Dhien, berjalan di tengah-tengah.
"Lewat belakang bukit rumah mu saja, Tia! Biar tak ada yang melihat kita basah kuyup dan supaya cepat sampai!"
"Bagus tu, Kak. Nanti tinggal guling-guling saja kita turun bukitnya," sahut Ayek.
"Kau sana yang menggelinding, aku tak mau! Udah dingin, celana basah, masa mau main tanah lagi, udah macam donat ditaburi tepung gula nantinya!" protes Rizal.
"Is ... tak asik kau, Zal!" balas Ayek.
"Ternyata seru juga ya, main dan mandi di sungai. Aku sudah lama sekali tak pernah ke sungai lagi!" celetuk Nirma.
"Kau tu udah macam Induk Ayam, Nir! mengeram saja kerjamu! Main pun cuma rumah-rumahan terbuat dari tanah dibawah pohon nangka, mana lah seru!" cibir Meutia.
"Aku tu paling suka main pasar-pasaran, apalagi main bongkar pasang yang ada sepasang suami istri dan anaknya!" sanggah Nirma.
"Udah kebelet kawin apa kau, Nir? Dari dulu tak juga berubah selera permainan mu tu," sela Dhien.
"Aku memang kepengen nikah muda, Kak! Biar nanti kalau punya anak seperti adik-kakak dengan ku."
"Memang kau sudah ada calonnya?" Meutia menoleh ke belakang menatap Nirma, mereka mengobrol sambil terus berjalan melewati hamparan rumput dan ilalang.
Nirma menggeleng. "Belum ada, cuma sebatas keinginan saja kok! Siapa tahu di ijabah Yang Maha Kuasa."
"Tak ada yang salah bila ingin menikah muda, asal jangan sampai merebut pasangan orang lain saja. Lebih parah lagi merusak hubungan ikatan suci pernikahan!" ucap Dhien.
"Ih ... jangan sampai lah! Nikmat nya hanya sesaat, deritanya bakalan seumur hidup. Sebab, apapun itu bila didapat dengan cara tak baik, akan kembali ke diri kita sendiri! Cepat atau lambatnya hanya tentang waktu saja! Hukum tabur tuai itu nyata adanya loo, sudah banyak buktinya!" timpal Meutia.
"Betul tu! Siapa yang merebut, suatu saat nanti bakalan merasakan kehilangan juga, mungkin bisa lebih para dan berkali-kali lipat rasa sakitnya!" Dhien menambahi kalimat Meutia.
Nirma hanya diam saja, bingung hendak menangapi bagaimana, dalam hati berharap jangan sampai menjadi sosok perusak kebahagiaan orang lain.
"Kak Tia, kapan rencana kita menguras rawa-rawa hampir kering tu?" Ayek menunjuk pinggiran tempat yang sebagian penuh rumput serta berlumpur dalam.
"Kapan kak, Dhien?" Meutia bertanya kepada sahabatnya.
"Lusa lah, sepertinya tak lama lagi akan turun hujan. Jadi, kita harus gerak cepat! Lagi pula aku ingin buat ikan asin gabus. Kau sudah izin Bang Agam belum, Tia?"
"Tak payah izin lah, Tia kan termasuk pemiliknya!" ucapnya pongah.
***
Sore hari menjelang magrib.
“Nek … Lembu kita ada yang tak pulang, sudah lelah kami mencarinya! Tapi, tetap nihil hasilnya!” beritahu Zulham.
“Bagaimana bisa?!” Nek Blet sampai berdiri dari kursi goyang rotan.
"Tak tahu, Nek! Tadi sewaktu hendak menggiring pulang bersama warga lainnya, ternyata punya kita ada yang tak berkumpul dengan kawanan nya!" Zulham masih berusaha mengatur napasnya.
"Lembu apa yang hilang, Zulham?!" Nek Blet begitu emosi, sampai kepalanya terasa berdenyut.
"Dua ekor Lembu betina yang lagi bunting, Nek!"
"A_apa?!" Sekujur tubuh Nek Blet bergetar, kepalanya terasa berat, dan netranya berkunang-kunang.
"Mengapa dada ni sesak sekali, dan bumi terasa seperti berputar, berguncang, apa ada lindu (gempa bumi) kah?"
"Nenek!"
"Mamak!"
Zulham dan Ayie memapah sosok tua yang terlihat begitu lemas, lalu mendudukkan pada sofa ruang tamu. "Indri, ambilkan air putih!"
Istrinya Zulham langsung menurut, mengambil segelas air putih, yang langsung diminum Nek Blet hingga tandas.
"Pergi ke rumah Wanita Pembawa Sial tu! Semua ni pasti ulahnya! Mana ada yang berani selain Dhien gila! CEPAT ZULHAM!" Nek Blet kembali berteriak, napasnya sudah pendek-pendek, wajahnya pias.
"Lembu ku! Mengapa harus yang bunting? Biadab betul si pelaku kurang ajar tu!"
Zulham pun bergegas menghidupkan motornya, Indri tidak mau ketinggalan, bersama mereka menuju rumah Dhien.
"Apa yang hendak Abang lakukan, bila memang Dhien lah pelakunya ...?"
.
.
Bersambung.
semangaat Dhien doaku meyertaimu
tar kembali lagi skalian bawa tiker sm kupi , klo dh End yak. 🤩😘🤗