NovelToon NovelToon
Dear, Anak Majikan

Dear, Anak Majikan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Harem / Pembantu / Office Romance / Chicklit
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"

Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"

"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"

Gue ngangguk pelan.

"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seorang Batari

...Antari...

...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...

Gue nggak bisa berhenti memperhatikan dia, meski gue mati-matian buat mengalihkannya dengan ngobrolin bisnis sama bokap, bahas perusahaan sama nyokap, bahkan ngobrol sama Anan.

Tapi begitu Ellaine masuk, mata gue otomatis mengunci ke dia. Gue udah berusaha buat nggak melihat, tapi tetap aja nggak bisa, dan gue benci perasaan nggak terkendali kayak begini.

Sekarang kita lagi liburan di Bali, destinasi favorit sekaligus tradisi keluarga gue. Ellaine dan nyokapnya ikut seperti biasa, tapi kali ini lebih spesial karena Ellaine yang kebagian tugas buat jagain kakek.

Dia kelihatan nyaman banget sama beliau, hubungan mereka dekat.

Sementara gue?

Nggak pernah bisa punya hubungan kayak begitu sama kakek. Gue respek banget sama dia, dia panutan gue, tapi kita nggak pernah punya kesempatan buat dekat benaran.

Kita lagi duduk di teras hotel, di meja panjang. Sinar matahari senja bikin suasana jadi keemasan. Nyokap lagi nyeruput wine favoritnya, bokap sibuk sama tabletnya, gambar-gambar grafik. Anan sama Asta asik nge-scroll HP, ketawa-ketawa ngobrolin foto yang tadi kita ambil dan katanya sekarang udah viral.

Kakek udah balik ke kamar buat istirahat, dan Ellaine duduk di seberang gue, di ujung meja. Dia pakai swimsuit merah yang matching sama rambutnya, ditambah outer pantai tipis yang agak transparan. Tapi tetap aja, gue bisa lihat belahan dadanya dengan jelas. Kulitnya kelihatan lembut banget, sampe gue kepikiran bagaimana rasanya kalau gue menjilat lehernya, turun perlahan ke....

Stop!

Gue langsung geleng-geleng, buru-buru buang muka.

Jangan jadi mesum, Antari.

Pikiran gue makin kacau sejak kejadian di dapur itu, ciuman-ciumannya, rasanya, suaranya pas gue sentuh. Semua itu bikin gue ketagihan, bikin gue pengen lebih.

Tapi lo nggak bisa.

Jadi stop ngayal, tolol.

Ellaine ngambil sepotong semangka, megangnya pakai dua tangan, terus nempelin bibirnya ke buah itu sebelum akhirnya dia gigit. Bibirnya yang lembut itu jadi agak merah gara-gara semangkanya. Gue pengen banget berdiri, megang tengkuknya, terus nyium dia, menghisap bibirnya yang sekarang manis karena semangka itu.

Kayak yang sudah gue bilang, fokus gue hancur tiap dia ada di sekitar gue.

Ellaine akhirnya sadar kalau gue memperhatikan dia, terus mata kita ketemu. Dia mengerutkan alisnya sebelum menyodorkan pertanyaan.

"Apa?"

Gue lagi ngayal menghajar lo di ranjang. "Nggak ada apa-apa."

Ellaine memperhatikan gue kayak gue ini orang aneh, terus balik lagi ke semangkanya. Gue buru-buru bangkit dari kursi.

Gue butuh udara.

Sebelum gue kelihatan malu-maluin dengan ereksi di depan keluarga sendiri.

Gue naik ke suite pakai lift, tangan gue masuk ke kantong celana pendek.

Di dalam lift, ada beberapa cewek staf resort yang naik juga. Gue bisa dengar mereka bisik-bisik sambil curi-curi pandang ke tonjolan celana gue, trus cekikikan kecil.

Gue udah biasa dapet perhatian dari cewek-cewek, tapi gue bukan tipe cowok yang kepedean gara-gara itu. Toh, punya muka cakep bukan berarti lo lebih baik dari orang lain. Tapi, gue akuin sih, ini bikin beberapa hal jadi lebih gampang tapi itu semua nggak ada gunanya kalau gue nggak bisa dapetin perhatian satu-satunya cewek yang benaran gue suka.

Begitu masuk suite, gue lihat kakek duduk di sofa, semangkuk popcorn ada di pangkuannya sambil nonton film. Gue kasih senyum tipis sebagai salam, lalu lanjut jalan ke kamar gue.

"Antari."

Gue langsung berhenti waktu dengar suara kakek memanggil, terus gue balik badan ke dia.

"Ya? Ada yang kakek butuhin?"

Tanpa melihat gue, dia ngomong, santai tapi dalam. "Pengecut itu bukan sifat seorang Batari."

Gue langsung mengerutkan alis. "Apa maksudnya, Kek?"

Dia ngeluarin napas panjang, kayak lagi mikir sesuatu. "Kakek harap kamu nggak terlalu lama buat sadar, sebelum semuanya terlambat."

"Sadar tentang apa?"

Akhirnya dia noleh ke gue, senyum dikit. "Berjuang buat apa yang kamu mau..." dia berhenti sebentar, "...atau siapa yang kamu mau."

Gue mau merespon, tapi dia langsung ngangkat tangan. "Shhh, filmnya lagi seru-serunya. Sana, pergi."

Gue cuma bisa diam, terus lanjut masuk ke kamar. Begitu sampai, gue langsung menjatuhkan badan ke kasur, tutup mata.

Tapi pikiran gue malah makin liar.

Ellaine, dan swimsuit itu.

Ellaine, ketawa pas Anan bercanda. Ellaine, pura-pura kesel tiap kakek nggak dengarin dia. Ellaine, melesetkan bibirnya pas mau ngomong sesuatu yang nggak seharusnya. Ellaine, punya kebiasaan nepuk mulutnya dulu sebelum bohong atau pas lagi gugup.

Bagaimana caranya gue ngelupain lo, Ellaine, kalau lo ada di mana-mana?

Gue benaran pengen menjauh. Nggak mau merusak hidup lo lagi, nggak mau nyakitin lo lagi. Tapi bagaimana kalau semua yang ada di diri gue justru ketarik ke lo, dengan kekuatan yang bahkan gue sendiri nggak bisa lawan?

Tapi gue juga nggak bisa buat ngecewain bokap. Bokap gue nggak sekaku dan sedingin sekarang. Dulu dia adalah sosok ayah terbaik yang bisa gue mintain apa pun, sampai nyokap selingkuh.

Dia bangun semua ini dari nol, kerja keras siang-malam. Waktu gue kecil, dia jarang ada di rumah, tapi selalu menyempatkan waktu buat kita.

Gue masih ingat malam itu. Malam di mana dia tahu soal nyokap. Gue masih bisa melihat jelas bagaimana tatapan matanya kosong, merah karena kurang tidur dan kebanyakan minum, sementara lantai kantornya penuh pecahan gelas whisky yang dia banting.

...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...

..."Papa," panggil gue, dengan hati-hati menginjak lantai biar nggak kena pecahan kaca.

Dia duduk di belakang mejanya, nggak nengok. "Keluar dari sini, Antari."

Gue masih remaja waktu itu, penuh amarah dan luka. Gue butuh dia.

Gue butuh bokap gue.

"Antari nggak bakal ninggalin Papa sendirian."

Bokap bangkit, angkat tangannya ke udara kayak udah nyerah sama semuanya. "Papa ini berantakan, gagal jadi suami."

Gue geleng-geleng kepala. "Itu nggak benar."

Dia ketawa kecil, tapi jelas bukan karena senang. Lebih ke antara kecewa atau nangis.

"Papa bisa ngebangun imperium miliaran, tapi ternyata nggak bisa jagain pernikahan Papa sendiri."

"Ini bukan salah Papa. Ini salah dia. Dia—"

"Hati-hati ngomongnya." Suaranya tegas, dingin. "Dia tetap Mamamu, Antari. Apa pun yang terjadi antara kita, itu nggak akan merubah kenyataan itu."

"Papa nggak harus tetap sama dia, Pa. Kita bakal ngerti kok kalau Papa mau pisah."

Bokap gigit bibirnya, matanya makin merah. "Papa cinta sama dia, Nak." Satu tetes air mata jatuh sebelum dia buru-buru mengelapnya. "Papa nggak mau sendirian."

"Papa punya kita."

Dia melihat gue, senyum pahit. "Kalian bakal dewasa, ngejalanin hidup masing-masing, terus ninggalin Papa," jelasnya, suaranya pelan tapi berat. "Papa bakal berakhir sendirian, di panti jompo, kayak kakek."

"Antari nggak bakal ninggalin Papa." Gue maju selangkah. "Antari nggak bakal biarin Papa sendirian, Pa. Antari janji."

"Kamu masih bocah, Antari. Kamu nggak ngerti apa yang kamu omongin."

"Antari ngerti!" Gue yakin banget waktu itu. "Antari bakal selalu ada buat Papa, apa pun yang Papa butuhin, di rumah ini, di perusahaan. Antari janji. Setuju?"

Bokap kasih senyum, tapi matanya masih kelihatan berat. "Setuju.".....

...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...

Dan sekarang, gue ketiduran dengan ingatan itu yang masih muter di kepala gue.

Pas gue kebangun, udah lebih dari jam sepuluh malam. Gue langsung mandi, terus telepon Elnaro, yang dari tadi siang nggak berhenti menghubungi gue. Dia lagi kepengen curhat soal drama di keluarga bokapnya.

Elnaro terus mengoceh di ujung telepon, sementara gue cuma kasih jawaban pendek. Gue tahu dia butuh tempat buat ngeluarin unek-uneknya, jadi gue biarin aja dia yang megang kendali di obrolan ini.

Sambil dengarin dia, gue turun ke lantai bawah, lewat pintu geser yang langsung ke area kolam renang. Sekilas kelihatan sepi, sampai mata gue menangkap satu sosok duduk di pinggir kolam, kakinya masuk ke air.

Ellaine.

Gue masih dengarin suara Elnaro di telepon, tapi mata gue nggak bisa lepas dari cewek yang udah mengisi kepala gue sejak dia masih bocah.

Dia pakai dress pantai simpel dengan motif bunga, tapi warna merahnya menyatu banget sama rambutnya yang diiket cepol tinggi. Beberapa helai rambutnya lepas, jatuh di sekitar wajahnya. Warna itu juga bikin kulitnya yang sekarang lebih kelihatan makin bersinar gara-gara beberapa hari di pantai.

Dia kelihatan lagi ngelamun, kakinya berayun-ayun di air.

Apa sih yang lo pikirin, bego?

Gue masih ingat betapa bencinya dia gue panggil "bego", dari kecil.

Gue akhirnya pamit sama Elnaro, masukin HP ke kantong, terus jalan ke arah Ellaine. Gue berdiri di sampingnya, dan pas dia sadar ada gue, dia noleh.

Ellaine angkat kepala, matanya nemuin mata gue. Sekilas, gue bisa lihat dia agak tegang, jadi gue kasih senyum kecil, ramah. "Hey."

Dia balik lagi memperhatikan air. "Hey."

"Gue boleh duduk di sini?"

"Boleh."

Gue duduk di sampingnya, tapi tetap kasih jarak. Gue tahu masih ada ketegangan di antara kita, terutama sejak malam itu, malam di mana gue bilang ke dia kalau gue nggak bohong soal pacar gue. Tapi seperti yang gue takutkan, itu malah bikin dia makin bingung, karena gue nggak bisa ngejelasin semuanya tentang gue dan Maurice.

Lampu-lampu dari dalam kolam bikin airnya kelihatan berkilau, begitu pun matanya. Cantik banget. Gue jadi keingat malam kembang api itu.

Gue selalu pengen nanya kenapa dia nolak gue. Gue pikir karena kita ada di rumah yang sama, dia juga suka sama gue. Tapi ternyata gue salah. Dan sejujurnya, gue takut banget dapet jawaban yang kalau ternyata dia benaran nggak pernah ngerasa hal yang sama.

Gue akhirnya mutusin buat ngomong, biar suasananya nggak makin canggung. "Lo masih jago nahan napas di air?"

Dia meruncingkan bibirnya dikit, ekspresinya susah gue baca.

Dia kesel?

"Gue masih lebih jago dari pada lo."

Gue ngangkat alis. "Gue udah jauh lebih baik sekarang."

"Paru-paru lo lemah."

"Gila, lo...."

"Lo pantas dapet itu."

Gue ngangguk, ngakak kecil. "Lo benar sih, tapi gue benaran udah improve."

Dia ketawa kecil, tapi nadanya lebih kayak ngeledek.

"Apa? Lo nggak percaya?"

Ellaine memperhatikan gue, terus menyilangkan tangan di dadanya. "Buktikan."

"Hah?"

Dia miringin kepala ke arah kolam. "Sekarang."

"Kenapa? Lo takut gue menang kali ini? Oke."

Gue langsung melepas kaos lewat kepala. Sekilas, gue lihat Ellaine sedikit merah dan buru-buru memperhatikan ke arah lain. Senyum menang otomatis muncul di bibir gue. Dia nggak bakal ngaku, tapi gue tahu dia tertarik.

Gue turun ke kolam yang airnya sepinggang gue. Kita lagi ada di bagian dangkal, jadi nggak masalah. Ellaine memperhatikan gue dengan ekspresi jahil.

"Lo harus renang dari ujung ke ujung dua kali, di bawah air, tanpa ambil napas."

"Hah?!"

"Kenapa? Lo nggak bisa? Gue udah beberapa kali ngelakuin ini sejak kita di sini."

Kolamnya nggak kecil, tapi gue rasa gue bisa. "Kalau gue berhasil, gue dapet apa?"

"Mungkin gue bakal mulai melihat lo sebagai manusia lagi."

"Ouch."

Ellaine nyengir, tangannya bertumpu di pinggir kolam, badannya agak maju ke arah gue.

"Semoga berhasil, Es Batu."

"Makasih, Bego."

Tatapan Ellaine langsung tajam kayak mau membunuh gue. "Yang bego itu lo!"

Gue ketawa kecil, udah lama nggak adu bacot sama dia seperti ini. Terus gue jalan ke pinggir kolam buat siap-siap.

Gue lihat Ellaine sekali lagi sebelum nyebur dan mulai renang secepat mungkin di bawah air.

Putaran pertama masih aman.

Pas masuk putaran kedua, paru-paru gue mulai panas. Badan gue teriak minta udara, tapi gue nggak mau nyerah. Sedikit lagi.

Begitu nyampe ujung, gue muncul ke permukaan, ngos-ngosan, nyari udara sebanyak mungkin. Gue nyari Ellaine, dan gue lihat dia lagi jalan ke arah pintu keluar.

"Hey! Ellaine!"

Dia nengok sebentar, terus dengan santainya ngacungin jari tengah ke gue.

Oh, ini nggak bakal selesai begini aja.

Gue buru-buru naik dari kolam secepat mungkin, air masih netes dari badan gue, tapi gue nggak peduli. Ellaine udah ngelewatin pintu geser dan sekarang menuju lobi resort, ke arah lift.

"Pak, Anda basah, sebaiknya—" Salah satu staf resort ngomong sesuatu, tapi gue nggak dengar. Gue fokus ke Ellaine, dan dalam beberapa langkah, gue udah berhasil menangkap tangannya.

Dia kelihatan kaget melihat gue udah nyusul secepat itu. Gue manfaatin momen itu buat nunduk, ngangkat dia, dan nyeret dia ke atas bahu gue.

Orang-orang mulai memperhatikan kita, ada yang bisik-bisik. Tapi gue cuek. Gue bawa dia balik ke area kolam.

"Antari! Turunin gue sekarang juga!"

Begitu sampe di pinggir kolam, gue nurunin dia. "Lo nantangin gue, lo kabur pas kalah, terus lo ngacungin jari ke gue?"

Dia menyilangkan tangan di dadanya. "Gue nggak nyangka lo bakal berhasil."

"Tapi gue berhasil. Jadi, akui kalau paru-paru gue nggak lemah lagi."

"Nggak."

Astaga, nih cewek emang kepala batu banget. Gue jadi kek bocah kalau udah beradu argumen sama dia.

Gue langsung menggenggam bagian depan bajunya, terus muterin badannya sampe dia setengah menggantung di atas kolam, cuma gue yang nahan dia.

"Akui."

"Nggak!"

Gue pura-pura mau melepasin dia, dan dia otomatis nyangkut di lengan gue, ngeluarin suara kecil panik.

"Kesempatan terakhir, Ellaine."

Dia malah nyengir, terus menjulurkan lidah. "Gue nggak takut air. Gue bukan gula, nggak bakal larut."

Oke.

Gue langsung lepasin tangannya.

...BYUR!...

Dia jatuh telentang ke air.

Pas dia muncul lagi ke permukaan, rambutnya udah berantakan, cepolannya udah lepas. Dia menyibak rambut dari mukanya, dan gue cuma bisa ketawa puas.

"Lo tuh emang idiot."

"Dan lo bego, gak bisa terima kekalahan."

Dia memperhatikan gue tanpa niat buat keluar dari air atau ngaku kalau gue menang.

Jangan masuk air, Antari.

Dia basah-basahan, sedekat itu dan lo sendirian?

Bahaya banget.

Gue cuekin suara di otak gue dan langsung nyebur, menyipratkan air ke dia sampe dia mundur. Karena gue lebih tinggi, air cuma sampe pinggang gue, tapi buat dia udah selevel dada.

Mata gue otomatis melirik ke lehernya yang basah, tetesan air mengikuti kontur kulitnya, terus ke badannya.

Ga bohong, ga sengaja juga melihat bajunya yang ngambang di air, terus dia buru-buru nutupin kakinya.

Ini ide buruk.

"Jangan lihat-lihat, dasar mesum!" omelnya sambil memegangi bajunya.

Gue yang udah tegang langsung nurut dan fokus ke mukanya. Tapi sial, dia malah gigit bibirnya, dan otak gue langsung kacau lagi.

Harus nyari pengalihan isu, nih.

"Lo tuh payah banget kalo kalah, ya?"

"Gue cuma gak suka kasih lo kepuasan."

"Tapi gue udah menang."

"Belum sampe gue bilang lo menang."

Gue menyipitkan mata. "Lo masih aja keras kepala dari dulu."

"Dan lo masih segitu butuhnya buat menang."

Gue sadar percakapan ini ga bakal ada ujungnya, jadi gue alihkan topik.

"Walaupun udah direnovasi, kolam ini tetap sama. Dulu di sini gue yang ngajarin lo renang."

Dia ngangkat alis. "Ngajarin? Gue belajar sendiri kali."

"Lo gak ingat gimana dulu lo ngelilit gue pas pertama kali berenang di area yang dalam? Kuku lo itu sampe ninggalin bekas di leher gue."

Dia cuma angkat bahu. "Gue gak ingat."

Gue nyengir menang. "Halah. Lo ingat, kan?"

"Yang gue ingat tuh lo lari-larian sambil teriak pas ada lebah ngejar lo keliling kolam!" Dia ketawa lepas.

"Gue alergi, gue punya hak buat panik!"

"Haaaa Pleassseee! Gue bakal mati!" Dia menirukan suara gue waktu itu sambil ketawa makin kenceng. "Padahal tuh lebah udah pergi, tapi lo masih aja lari."

Gue ga bisa nahan ketawa juga.

Ketawa kita pelan-pelan mereda, terus kita saling tatap. Ada sesuatu di antara kita, makin kuat, makin jelas.

Lo ngerasain ini juga, kan, Ellaine?

Gue melangkah maju, tapi dia mundur sambil mengeringkan tenggorokannya. "Gue harus pergi."

Tapi gue gak berhenti. Tangan gue mengepal di samping, nahan nafsu gue buat nyentuh dia. Gue terus maju, dia terus mundur, sampe akhirnya punggungnya mentok ke dinding kolam.

"Antari…"

Gue gak dengarin. Gue makin dekati dia, menyudutkannya. Dia melepaskan genggaman di bajunya buat taruh tangannya di dada gue, mencoba mengehentikan gue.

"Antari…"

Mata gue turun ke tubuhnya, bajunya yang ngambang di air, mengungkap kakinya dan… lebih dari itu.

Gue gigit bibir, merasa napas gue sama berantakannya dengan dia. Dadanya naik turun, matanya penuh kebingungan. Gue angkat tangan, pakai ibu jari buat nyentuh bibirnya yang sedikit terbuka.

Ellaine jelas-jelas gugup, tapi dia langsung menyingkirkan tangan gue.

"Gue harus pergi."

Dia mencoba kabur, tapi sebelum dia sempet melangkah jauh, gue menangkap tangannya, maksa dia buat melihat gue. "Gue tahu lo ngerasain ini juga."

Dia melepaskan tangannya dari genggaman gue.

"Gue gak bilang 'enggak'." Tapi dia senyum, tipis, sedih. "Bukan gue yang harus ngambil keputusan di sini, Antari. Gue tahu apa yang gue mau, gue juga tahu harga diri gue. Gue gak bakal nurunin harga diri gue buat jadi orang kedua sementara lo masih bingung sama perasaan lo sendiri."

Terus dia pergi.

Dan gue gak ngelakuin apa-apa buat menahan dia. Karena gue tahu, dia benar.

Di sini, yang pengecut itu gue. Yang gak berani berjuang buat apa yang gue mau… itu gue.

Gue keingat kata-kata Kakek.

..."Pengecut bukan sifat seorang Batari."...

Kakek, kayaknya gue bukan keluarga Batari, deh.

1
Ummi Yatusholiha
emang susah klo sudah ngomong soal status sosial.. sedih deh dgn hubungan kalian 🥺🥺
Ummi Yatusholiha
btw kok bisa ellaine bisa ngamar sama natius yaa,apa lagi natius masih SMA,gimana ceritanya coba 🤔🤔
Ummi Yatusholiha
ternyata yg terjadi di malam pesta kambang api semua karena peran si nyonya astuti,sang majikan.ella trus terang aja deh ke antari soal nyokapnya
Ummi Yatusholiha
hadeuh antari ellaine asta,bakal rumit deh ini.
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
Ummi Yatusholiha
aduh ellaaaa,kan kamu bisa pake kamar mandi,nagapain coba main jari gak liat2 tempat,kedapatan kan sama asta 🤭🤭
Aan
karyanya bagus
Ummi Yatusholiha
thanks udah up thor.. kirain tadi up banyak2 lagi 🤭
Ummi Yatusholiha
senang dengan part percakapan kakek bahari dan ellaine 🥰
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔
Ummi Yatusholiha
plin plan deh antari,klo emang kamu suka dan nyaman sama maurice,trus kenapa masih gangguin ella,apa emang ella cuma jadi mainan doang,pdhal kamu nyadar klo ella gak pantas di gituin.kasian ella,jadi baper kan
Ummi Yatusholiha
udah biasa terjadi kan dikalangan pebisnis dan pengusaha,menjodohkan anak mereka demi bisnis
Ummi Yatusholiha
tuh kan antari,mau mainin perasaan ella kah,udah bukan pacar tapi tunangan
Ummi Yatusholiha
kayaknya mama antari baik2 aja deh, tapi kok bisa selingkuh ya 🤔🤔
Ummi Yatusholiha: sementara baca thor,blm tamat sih,masih ditengah jalan 😊😊
Tya 🎀: wah kyknua udah namatin zielle sama anan nih bisa tau mamanya antari selingkuh
total 2 replies
Dita Suriani
kisahnya masih kusut
Tya 🎀: Iya, kak. Belum disetrika
total 1 replies
Ummi Yatusholiha
jeng.. jeng.. jeng
Ummi Yatusholiha
selamat.. selamat 😄😄
Ummi Yatusholiha
beneran jatuh ke pesona antari nih si ella
Ummi Yatusholiha
pasti deh antari punya impian sendiri, tapi dgn terpaksa harus ikuti kemauan orgtua. gak heran sih
Ummi Yatusholiha
beneran nih,antari sudah putus dari maurice.. atw akal akalan antari aja
Ummi Yatusholiha
laahhh,ternyata si cowok mata hitam elnaro toh.. bisa di gampar antari tuh klo sampe ketahuan sempat2 nya deketin ella 🤭🤭
Ummi Yatusholiha
smoga gak di apa apain tuh si ella sama si mata hitam
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!