Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3 Mencapai Tujuan
Dua jam dalam perjalanan, Argha telah sampai di Singapura. Sengaja ia datang untuk menemui sang papa, Alan Aji Winata. Tujuannya adalah membahas mengenai pernikahannya.
Kedatangan Argha disambut oleh Heru, asisten pribadi papanya. Mereka menuju ke ruang kerja Pak Alan.
“Tuan, Tuan Muda telah datang,” kata Heru dengan sedikit membungkukkan badan.
“Suruh dia masuk.” Pria dengan rupa persis seperti Argha menurunkan kakinya, ia menegakkan tubuhnya yang menyender pada kursi kebesarannya itu, menunggu sang putra.
“Pa.”
Senyum manis terbit di bibir Alan. Sudah sangat lama ia tak melihat sang putra. Dua bulan ini ia menetap di Singapura, belum punya waktu untuk pulang.
“Argha. Tumben kamu datang mencari papa. Ada yang kamu ingin bicarakan? Kesepakan waktu itu apa kamu masih ingat?” Mendatanginya adalah sebuah anugerah yang besar. Sejak lama, putra sulungnya ini memang sangat irit dalam bicara. Ia hanya mengatakannya lewat telepon. Sementara sekarang ini, putranya datang menemuinya. Padahal, tidak ada jadwal untuk Argha datang ke Negara ini.
“Aku mau nikah.”
Mendengar hal itu, hati Alan bergemuruh, bahkan matanya sampai berkaca-kaca. Ia tak menyangka, lebih tepatnya terharu. Namun, detik berikutnya keningnya mengkerut. “Sama perempuan, kan?’
Mata Argha mendelik. ‘Sialan Artha. Candaannya justru membuat gue jadi kaya enggak ada harga dirinya.’
“Papa pikir, Argha ini apa? Jelas aku menikah dengan perempuan. Bukan makhluk astral atau jadi-jadian.”
Alan berdeham. Ia merasa telah salah bicara, dan kini terlihat kikuk sendiri. “Maaf. Perempuan beruntung mana yang akan kamu nikahi?”
“Inara Ambar Pratiwi.” Argha mengatakannya dengan lugas.
Mata Alan mendelik sempurna. “In-inara? Bukankah itu pacarnya Artha?”
Seperti biasa, ekspresi wajah Argha tak terbaca, ekpresinya selalu datar. “Iya. Mantan pacaranya Artha lebih tepatnya,” jawabnya dengan menekankan kata ‘mantan pacarnya’ hal ini membuat Alan kebingungan.
Jujur, Alan memang tidak menyetujui hubungan Artha dengan gadis itu. Alasannya gossip mengatakan, jika Inara adalah wanita matre. Atau memang ia menginginkan putra bungsunya itu menikah dengan wanita terhormat. Namun, untuk Argha, ia sama sekali tidak memaksa standard seperti apa pun. Terpenting, putranya itu mau menikah dengan seorang wanita saja sudah cukup bagus. Mengingat aduan dari Artha jika Argha menyukai sesama jenis, Alan memang merasa ketakutan. Terlebih, trauma yang dialami oleh Argha, membuatnya kualahan sendiri.
“Pa?”
Alan berdeham. Lamunannya buyar seketika, “jelaskan sama papa, kenapa kalian bisa giliran. Maksudnya … kenapa Inara malah mau nikah sama kamu, sementara dia yang sudah dilamar oleh adikmu itu.”
Argha menghela napas. Ia tak mau, jika Inara adalah sebuah alibi dan juga ajang untuk melukai hati adiknya itu. Ia menggigit bibir bawahnya. “Em, dia … dia adalah perempuan yang aku cintai sejak lama. Kebetulan, Artha juga menghianatinya, mereka putus, ya sudah aku maju.”
Alan membungkam mulutnya sendiri. “Kok bisa gitu ya? Lantas, kenapa Inara mau? Kenapa dia tidak—“
“Aku yang maksa dia.”
“What?!” Alan memijat kepalanya yang mendadak pening. “Argha, kamu tidak bisa—“
“Apapun bisa aku lakukan, Pa. Dari pada keluarganya malu karena gagal nikah, kan? terpenting, aku nikah. Dan itu, kan yang papa mau? Menikah dan memberikan penerus keluarga kita?”
Alan mengangguk dengan pelan. Merasa cukup masuk akal.
“Apa jangan-jangan Papa justru percaya dengan fitnah dari Artha mengenai aku?”
Alan menggeleng dengan kuat. Ia tak ingin, putra sulungnya itu semakin marah. “Bukan itu.”
“Jadi, apa papa merestui hubungan kami?”
Alan menghirup udara dalam-dalam untuk mengisi oksigen dalam paru-parunya yang seolah menipis. “Oke.”
Klek
Alan dan Argha kompak menoleh. Wanita berusia 50 tahun tampak tersenyum lembut dengan membawakan sepiring kue.
“Eh, Argha kapan datang?”
Wajah Argha berubah menjadi sangat dingin. Namun, ia tak ingin merusak suasana. Mengalah, bukan berarti kalah, kan? Ia berusaha untuk bersikap biasa, “barusan.”
“Dela, Argha akan menikah,” ucap Alan kepada istrinya itu.
“Ah, sungguh? Dengan siapa?” Dela terlihat sangat senang mendengar kabar itu, meski Argha sama sekali tak pernah menganggapnya.
Saat Alan hendak menjawab, ponsel Dela berbunyi. Terlihat nama rumah sakit di layar ponselnya. “Sebentar ya, Mas, Argha, ada telepon dari rumah sakit. Mungkin ada hal penting.” Dela langsung menjauh seraya mengangkat teleponnya. Argha tak menghiraukan, ia tak suka berlama-lama interaksi dengan ibu tirinya itu.
“Ga.”
Argha mengangkat wajahnya. Wajah dinginnya itu terlihat sangat lelah. Menunggu kelanjutan papanya berbicara.
“Istirahatlah. Kita bisa makan malam sama-sama nanti,” titah Alan.
“Tidak, Pa. Makasih. Argha akan kembali ke Jakarta saja. Kasihan Inara di rumah. Dia sedang sakit.”
“Kalian satu rumah?” Alan tak habis pikir, sebegitu pesat kemajuan putranya itu. Meski pun demikian, ini adalah hal baik bukan? Setidaknya rumor putranya gay itu tidak benar. Ia sama sekali tak menyangka, putranya itu bisa secepat ini dekat dengan perempuan.
Argha mengangguk tanpa beban. Matanya mengerjab beberpa kali, mirip seperti anak kecil yang begitu polos. “Kenapa memangnya?”
“Ti-tidak. Ya sudah. Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau menginap. Dengan kamu datang saja, papa sudah sangat senang. Semoga pernikahan kalian lancar. Papa akan pulang sebelum acara lamaran. Kapan kamu akan datang ke rumah keluarga Inara?”
Kening Argha mengkerut. “Bukankah dulu papa tidak mau melamar Inara untuk Artha?”
“Ini pengecualian, Argha. Sejarah besar ini. Perlu dirayakan.”
Argha menghela napas. ‘Sialan rumor, buat orang semuanya menjadi repot,’ batinnya. “Ya sudah. Argha pulang. Permisi.”
Alan geleng-geleng kepala. ‘Takdir macam apa ini? Sejak dulu, mereka memang tidak pernah akur.”
“ Tunggu! Gha, bagaimana dengan Diana? Bukankah dia menyukai kamu, Gha?” Mengingat Diana itu putra rekan bisnisnya, Alan berharap Argha akan mempertimbangkan ini. Toh, gadis itu juga menyukai putranya, kan?
“Diana? Sejak dulu aku sama sekali tidak menyukai dia. Kenapa Papa tiba-tiba membahas dia? Sudah beberapa kali aku menolak ini, kan, Pa?” Argha mengendurkan ikatan dasinya yang seakan mencekik, apa lagi ini membahas mengenai Diana. Hal yang sangat ia tidak sukai sama sekali.
“Baiklah. Papa minta maaf. Papa enggak bermaksud. Dengan kamu mau menikah saja, itu sudah cukup, kok.”
Ah, andai kalau tidak ada berita itu, mungkin Argha juga akan bernasib sama dengan Artha, yang diberikan standar yang tinggi untuk calon istrinya.
“Argha harus pulang, Pa. Permisi.” Argha benar-benar pergi dari ruang kerja papanya itu. Ia masih harus meyakinkan kedua orang tua Inara, berharap semua tujuannya akan berhasil semua, termasuk memberikan Artha pelajaran. Pria tampan itu menyeringai, sampai mengabaikan sapaan dari beberapa anak buah papanya di luar.
“Artha, kamu akan mendapatkan pelajaran yang setimpal.”