"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima Elemen Yang Berbisik
Mei menatap pintu pagoda yang bersinar, setiap simbol elemen memancarkan cahaya yang semakin terang. Tangan kanannya menggenggam Cermin Pertama, sementara tangan kirinya masih memegang gulungan tua dari Wei An. Kabut di sekelilingnya berputar semakin cepat, membentuk pola-pola yang mengingatkannya pada riak air dalam cangkir teh.
"Air mengalir ke dalam api," Mei mengulang bagian dari teka-teki dalam gulungan. Matanya terfokus pada simbol air dan api yang bersinar di pintu. Ada sesuatu yang familiar dalam cara kedua simbol itu berinteraksi—seperti cara teh hitam Madam Lian beriak ketika pertama kali dituang ke dalam cangkir porselen.
Perlahan, Mei mengeluarkan kantong kecil berisi daun teh dari sakunya—kebiasaan yang tidak pernah dia tinggalkan sejak mulai bekerja di kedai. Aroma yang menguar ketika dia membuka kantong itu membuat kabut di sekitarnya bergerak aneh, seolah menari mengikuti aroma teh.
"Kenangan dalam setiap cangkir," dia berbisik, mengingat kata-kata Master Song.
Dengan hati-hati, dia menaburkan beberapa helai daun teh ke permukaan Cermin Pertama. Seperti yang terjadi dengan teh hitam Madam Lian, daun-daun itu tidak jatuh tetapi melayang di atas permukaan cermin. Namun kali ini, mereka membentuk pola yang berbeda—bukan lingkaran lima elemen, melainkan serangkaian simbol yang tampak seperti tulisan kuno.
Permukaan cermin mulai beriak, dan dalam pantulannya, Mei melihat sesuatu yang berbeda dari penglihatan sebelumnya. Kali ini dia melihat sebuah ruangan yang familiar—ruang penyimpanan teh di kedainya. Tapi ruangan itu tampak berbeda, lebih tua, dengan rak-rak yang penuh gulungan alih-alih teh.
Dalam pantulan itu, seorang wanita muda—yang kembali tampak seperti versi lain dari dirinya—sedang menulis sesuatu dengan tinta perak. Di hadapannya, lima cangkir teh disusun dalam formasi yang sama seperti simbol di pintu pagoda.
"Para Penjaga bukan hanya menjaga Cermin," sebuah suara berbisik dari dalam kabut. Suara itu terdengar seperti Madam Lian, tapi juga seperti suara Mei sendiri. "Mereka adalah Cermin itu sendiri."
Tiba-tiba, pintu pagoda bergetar hebat. Simbol-simbol elemental berputar cepat, dan untuk sesaat, Mei melihat celah-celah cahaya di antara batu-batu pagoda—seperti sisik naga yang bersinar dari dalam.
"Naga tidur dalam lukisan," Mei mengulang bagian lain dari teka-teki. Matanya beralih ke vas Master Song yang masih tergeletak di tanah. Dalam cahaya dari pintu pagoda, naga yang terukir di vas itu tampak lebih hidup dari sebelumnya, sisik-sisiknya berkilau dengan warna yang sama seperti simbol-simbol di pintu.
Mei berlutut di samping vas, mengamati detail ukirannya lebih dekat. Ada sesuatu yang aneh dalam cara naga itu dilukis—seolah dia tidak sedang meliuk di permukaan vas, melainkan masuk ke dalamnya.
"Sampai waktu membalikkan diri," dia menyelesaikan teka-teki.
Seolah merespons kata-katanya, naga dalam vas mulai bergerak. Bukan ilusi kali ini—sisik keramiknya benar-benar bergeser, dan matanya yang diukir mulai bersinar dengan cahaya keemasan. Dari dalam vas, suara derak halus terdengar, seperti es yang retak di permukaan kolam beku.
Tepat saat itu, Mei mendengar suara langkah dari dalam kabut. Tiga sosok berjalan mendekat: Wei An dengan mata retaknya yang berkilau aneh, Madam Lian yang kini tampak lebih muda dari biasanya, dan Master Song yang sisik-sisik di kulitnya kini tampak jelas.
"Kau menemukannya," Madam Lian berkata, matanya terfokus pada vas. "Cermin Kedua telah memilihmu."
"Atau mungkin," Wei An menambahkan dengan nada getir, "dia telah memilihmu lima ratus tahun yang lalu."
"Waktu adalah ilusi," Master Song berkata, suaranya kini lebih dalam, lebih kuno. "Seperti pantulan dalam cermin yang retak—kita melihat banyak versi dari satu kebenaran."
"Tapi kebenaran yang mana?" Mei bertanya, tangannya masih menggenggam erat Cermin Pertama. "Siapa... apa sebenarnya kalian ini?"
"Kami adalah Penjaga," Madam Lian menjawab.
"Kami adalah Pengkhianat," Wei An berkata di saat yang sama.
"Kami adalah Cermin," Master Song menyelesaikan.
Kabut di sekeliling mereka berputar semakin cepat, membentuk dinding putih yang memisahkan mereka dari dunia luar. Di dalam dinding kabut itu, Mei melihat bayangan-bayangan bergerak—potongan-potongan waktu yang tumpang tindih: dirinya sebagai gadis kecil yang belajar menyeduh teh, Madam Lian yang menuangkan teh hitam pertamanya, Wei An yang membaca gulungan-gulungan tua, dan Master Song yang membentuk vas dengan tanah liat yang berkilau seperti sisik naga.
"Lima ratus tahun yang lalu," Madam Lian mulai bercerita, "kami mencoba mengikat para Naga Lima Elemen ke dalam Cermin-cermin ini. Kami pikir kami bisa mengendalikan kekuatan mereka, menggunakan mereka untuk menjaga keseimbangan dunia."
"Tapi kekuatan seperti itu tidak bisa dikekang," Wei An melanjutkan. "Seperti air yang selalu mencari jalannya, seperti api yang selalu lapar akan bahan bakar baru."
"Maka kami membuat pilihan," Master Song mengambil alih. "Atau setidaknya, dalam satu versi waktu, kami membuatnya."
"Dan dalam versi itu," Madam Lian menatap Mei dengan tatapan yang sulit dibaca, "kau adalah kunci yang membuka segalanya—atau menguncinya selamanya."
Sebelum Mei bisa merespons, naga dalam vas bergerak lebih keras. Keramik mulai retak, menampakkan cahaya keemasan dari dalam. Bersamaan dengan itu, simbol-simbol di pintu pagoda bersinar semakin terang, dan Cermin Pertama di tangan Mei bergetar semakin kuat.
"Waktunya tiba," Wei An berbisik, matanya yang retak melebar. "Pilihan harus dibuat."
"Tapi pilihan apa?" Mei bertanya, frustasi dalam suaranya. "Kalian berbicara dalam teka-teki dan paradoks. Apa yang sebenarnya kalian inginkan dariku?"
"Bukan apa yang kami inginkan," Master Song menggeleng. "Tapi apa yang air inginkan ketika bertemu api. Apa yang naga inginkan ketika terbangun dari tidur panjangnya."
"Dan apa yang kau inginkan," Madam Lian menambahkan, "ketika menghadapi cermin yang memantulkan bukan hanya dirimu, tapi semua versi dirimu yang pernah dan akan ada."
Mei menatap ketiga Penjaga di hadapannya, lalu beralih pada vas yang semakin retak. Dalam kepalanya, potongan-potongan teka-teki mulai tersusun—seperti daun teh yang perlahan mengendap di dasar cangkir, membentuk pola yang bisa dibaca.
"Kalian bukan hanya Penjaga," dia berkata perlahan, "kalian adalah bagian dari Cermin itu sendiri. Seperti pecahan-pecahan kaca yang mencoba menyatu kembali." Dia mengangkat Cermin Pertama, mengamati bagaimana cahayanya berinteraksi dengan retakan di mata Wei An. "Dan retakan dalam cermin... adalah retakan dalam waktu itu sendiri."
Wei An tersentak, seolah kata-kata Mei mengenai sesuatu yang dalam. "Kau mulai memahami," dia berkata pelan. "Tapi pemahaman bisa menjadi pisau bermata dua."
"Lima ratus tahun lalu," Mei melanjutkan, matanya kini beralih pada sisik-sisik di kulit Master Song, "kalian tidak mengikat Naga ke dalam Cermin. Kalian menggunakan Cermin untuk membagi kekuatan mereka di antara kalian sendiri."
"Pintar sekali," Madam Lian tersenyum, tapi senyumnya mengandung kesedihan yang dalam. "Tapi itu hanya separuh kebenaran. Karena yang kami bagi bukan hanya kekuatan mereka, tapi juga..." dia menatap Mei dengan tatapan yang familiar, "...esensi mereka."
Kabut di sekeliling mereka bergerak lebih cepat, membentuk spiral yang naik ke puncak pagoda. Dalam pusaran kabut itu, Mei melihat lebih banyak bayangan: lima orang yang berdiri dalam formasi melingkar, lima cermin yang bersinar dengan cahaya elemental, dan lima naga yang menari dalam ritual kuno.
"Kalian mencoba menjadi Naga," Mei berbisik, kengerian dalam suaranya bercampur dengan pemahaman. "Tapi tubuh manusia tidak dirancang untuk menampung kekuatan seperti itu."
"Maka kami retak," Wei An mengangguk, tangannya menyentuh matanya yang pecah. "Seperti cermin yang dipaksa memantulkan matahari terlalu lama."
"Semua kecuali satu," Master Song menambahkan, matanya terfokus pada Mei. "Satu Penjaga yang tubuhnya menerima kekuatan itu seperti teh menerima air panas—menyatu dengannya, berubah karenanya, tapi tidak hancur olehnya."
Vas di tanah kini hampir sepenuhnya tertutup retakan, cahaya keemasan memancar dari setiap celah. Bersamaan dengan itu, simbol-simbol di pintu pagoda mulai bergerak, kelima lingkaran berputar seperti roda dalam mekanisme kuno.
"Dan Penjaga itu..." Mei merasakan tanda di pergelangan tangannya berdenyut semakin kuat, "...adalah aku? Dalam kehidupan yang lain?"
"Ya," Madam Lian menjawab. "Dan tidak. Karena kau bukan hanya dirimu dalam kehidupan lain, kau adalah semua versi dari Penjaga itu—masa lalu, masa kini, dan masa depan, semuanya ada dalam satu titik waktu."
Tiba-tiba, vas itu meledak. Tapi alih-alih pecahan keramik, yang berterbangan adalah serpihan-serpihan cahaya yang membentuk sosok naga keemasan. Naga itu melayang di udara sejenak sebelum melebur menjadi cermin kedua—cermin dengan bingkai keemasan dan permukaan yang beriak seperti kolam di bawah sinar matahari.
"Cermin Kedua," Wei An berbisik. "Cermin Waktu."