Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Gaun putih itu terasa berat di tubuh Nayla, seolah membebani pundaknya dengan tanggung jawab yang tak terlihat. Jemarinya bergetar, menggenggam erat buket bunga mawar yang mulai layu di ujungnya. Semua di ruangan itu sepi, kecuali denting pelan alat makan yang berasal dari tamu-tamu yang tampaknya lebih tertarik pada hidangan daripada upacara yang baru selesai.
Arga berdiri di sisinya, tubuhnya tegap tetapi wajahnya tetap dingin. Sejak tadi, ia hanya berkata seperlunya, seperti pria yang hanya menjalankan kewajiban tanpa emosi.
“Kamu kelihatan cantik,” bisik Arga, suaranya nyaris tak terdengar, tetapi tanpa senyum di wajahnya.
Nayla memaksakan diri mengangguk, tidak ingin menjawab. Pikirannya sibuk bergumul dengan pertanyaan yang terus berulang: Apakah ini hidup yang akan kujalani selamanya?
---
Setelah upacara sederhana itu selesai, mereka dibawa ke sebuah rumah besar yang kabarnya adalah milik Arga. Mobil berhenti di halaman, dan pintu mobil dibuka oleh seorang pelayan. Nayla menatap bangunan megah itu, tetapi perasaan asing membuatnya tidak merasa nyaman.
“Ini rumah kita,” kata Arga dengan nada datar, melangkah lebih dulu ke pintu.
Nayla mengikutinya, langkahnya berat. Di dalam, interior rumah itu sangat mewah—lantai marmer putih yang berkilauan, lampu gantung kristal, dan perabotan mahal yang tampak seperti jarang disentuh. Namun, semua itu tidak membuatnya merasa seperti di rumah.
Arga berhenti di ruang tengah dan menoleh ke arahnya. “Ada yang ingin kamu ubah di sini?”
Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Nayla. “Tidak. Semuanya sudah sempurna.”
Arga mengangguk, lalu berkata, “Kalau begitu, pelayan akan menunjukkan kamarmu.”
Kamarmu. Kata itu terasa menonjok Nayla. Bukan kamar kita, tetapi kamarmu.
“Aku tidak tidur di kamar yang sama denganmu?” tanyanya ragu.
Arga mengangkat bahu. “Kalau kamu mau, boleh saja. Tapi aku pikir kamu ingin privasi.”
Jawaban itu membuat Nayla terdiam. Ia merasa seperti tamu di rumah ini, bukan sebagai istri.
---
Malam itu, Nayla duduk di tepi ranjang, memandangi bayangannya di cermin besar di depan tempat tidur. Gaun pengantin masih membalut tubuhnya, tetapi ia merasa seperti memakai kostum dalam drama yang tidak ia pahami alurnya.
Pintu kamarnya diketuk pelan. “Masuk,” katanya.
Seorang pelayan wanita masuk dengan tatapan sopan tetapi dingin. “Bu Nayla, ini minuman hangat untuk Anda.”
“Terima kasih.” Nayla mengambil cangkir itu, tetapi pelayan itu tidak langsung pergi.
“Maaf, Bu. Saya tahu ini bukan tempat saya, tetapi kalau saya boleh memberi saran…” Pelayan itu ragu sejenak.
Nayla menatapnya, bingung. “Apa?”
“Berhati-hatilah dengan Pak Arga.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. “Apa maksudmu?”
Pelayan itu hanya menunduk, tidak menjawab. Ia segera pergi, meninggalkan Nayla dengan lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya.
---
Esok paginya, sarapan sudah tersedia di meja makan. Arga sudah duduk di sana, membaca koran, sementara secangkir kopi mengepul di hadapannya.
Nayla duduk di seberangnya, mencoba mencari kata-kata untuk memecah keheningan. Namun, sebelum ia sempat bicara, Arga menurunkan korannya dan menatapnya.
“Kita akan mengadakan pesta kecil minggu depan,” katanya tanpa basa-basi.
“Pesta?” Nayla mengerutkan kening.
“Untuk rekan-rekan bisnis. Mereka ingin mengenal istriku.”
Kata istriku terdengar asing di telinga Nayla, seperti peran yang baru saja ia ambil tanpa latihan.
“Apa aku harus datang?”
“Tentu saja. Itu bagian dari peranmu.” Arga melanjutkan sarapannya tanpa memperhatikan ekspresi Nayla yang berubah.
---
Setelah sarapan, Nayla berjalan-jalan di sekitar rumah. Setiap sudutnya memancarkan kemewahan, tetapi tidak ada yang terasa hangat atau nyaman. Di sudut ruangan, ia melihat sebuah piano besar yang tampak berdebu. Ia mendekat dan menyentuh tutsnya dengan hati-hati, menciptakan nada pelan yang hampir tidak terdengar.
“Jangan mainkan itu.”
Suara Arga mengejutkannya. Nayla menoleh, mendapati suaminya berdiri di dekat pintu dengan tangan di saku celananya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Itu milik ibuku. Dia tidak suka orang lain menyentuhnya.”
Nayla menelan ludah, merasa bahwa rumah ini menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat.
---
Malam harinya, Nayla kembali ke kamarnya lebih awal. Ia merasa lelah secara emosional. Namun, saat ia berbaring di tempat tidur, matanya terbuka lebar, pikirannya terus berputar.
Ada suara langkah kaki di luar kamarnya. Awalnya pelan, tetapi semakin mendekat. Pintu kamarnya berderit terbuka, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
“Siapa di sana?” Nayla bertanya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban. Namun, ia merasakan hawa dingin yang aneh menyelimuti ruangan.
Nayla bangkit dari tempat tidur, berjalan mendekati pintu yang masih terbuka. Di ujung koridor, ia melihat bayangan seseorang menghilang di balik tikungan. Siapa pun itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini.