"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
"Ada lagi?" tanya Seno.
Alea menggeleng.
"Baiklah, karena kesepakatan sudah tercapai. Mari kita tentukan tanggal pernikahannya!" ucap Eyang Elaine dengan wajah sumringah.
"Tunggu! ... Tunggu!" seru Paman Emir yang membuat semua orang kini menatap bingung ke arahnya.
Paman Emir sendiri malah menatap Alea. "Gadis manis, jangan hanya permintaan ringan seperti itu yang kamu inginkan dari calon suamimu yang jelek itu. Kamu bisa meminta rumah mewah, mobil, perhiasan atau pulau pribadi darinya atau uang yang sangat banyak. Kau bisa membaginya denganku jika tak mampu menghabiskannya sendiri!" serunya menggebu-gebu yang membuat semua orang tercengang.
'Rumah mewah, mobil dan perhiasan? Bagaimana mungkin mereka menawarkan dengan begitu mudahnya. Sangat tidak pantas Alea mendapatkan semua itu!' batin Bianca ketika rasa iri mulai menelusup dalam hati.
Seno sendiri mendelik mendengar usulan Paman Emir. Bagaimana bisa Pamannya itu mempengaruhi calon istrinya agar bisa mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Ia beralih menatap Alea dan ingin tahu apa tanggapan gadis itu.
Alea sendiri mengulum senyum kecil, senyum yang berhasil membuat Seno tertegun dan kondisi jantungnya yang berubah menjadi tidak normal karena berdetak begitu cepat.
"Sa--."
"Maaf, sepertinya tidak cocok dengan Alea, hal-hal yang berbau kemewahan bertolak belakang dengan kepribadiannya!" Bianca menyela, memotong ucapan Alea.
Pernyataan Bianca terkesan meremehkan dan hal ini adalah salah satu bentuk usaha yang Bianca tempuh agar Alea tidak mendapatkan apa yang ditawarkan oleh Paman Emir. Dalam segi apapun Bianca menilai Alea tidak pantas.
Alea tersenyum sinis sembari menggelengkan kepalanya kecil.
"Ada apa Alea? ... Benar 'kan apa yang kakak katakan?" tanya Bianca yang ekspresi wajahnya menuntut agar Alea mengatakan iya.
Alea bergeming. Bianca kembali bersuara. "Alea tidak--."
"Cukup!" sela Paman Emir. "Aku tidak bertanya padamu, kenapa kau yang terus berbicara sejak tadi!" sentak Paman Emir jengkel dengan nada bicara sedikit membentak.
Bianca mengepalkan tangannya geram. "Sialan, dia mempermalukanku."
Arka sendiri tak kalah geram, tak terima Paman Emir berbicara dengan nada sedikit tinggi pada Bianca. Padahal, maksud Bianca baik, menggantikan Alea yang enggan berbicara.
Paman Emir mengabaikan para anggota keluarga Wicaksana yang menatapnya tidak senang, dia beralih menatap Alea.
"Aku ingin mendengar pendapat Alea. Gadis manis, katakan pendapatmu tentang usulanku tadi!" titahnya dengan senyum lebar.
Alea bergeming dan seluruh keluarga Ravindra dengan sabar menunggu, hingga tak lama kemudian Alea bersuara. "Saya rasa itu tidak pantas, Pa--."
"Paman, panggil aku paman seperti anak jelek itu memanggilku!" serunya menyela ucapan Alea.
"Saya rasa itu tidak pantas, Paman!" ulang Alea dengan nada suara yang tenang.
"Kenapa?" tanyanya dengan dahi berkerut, sekali lagi semua orang menunggu jawaban Alea.
"Keluargaku sudah mengambilnya untuk menyelamatkan perusahaan, jadi permintaanku cukup itu saja!"
Bianca merasa sangat marah sekarang, berani sekali Alea berkata seperti itu di depan keluarga Ravindra. 'Dia sengaja membuatku terlihat seperti aku sudah mengambil semua uang dari mereka dan sama sekali tak memberinya walau sedikit!'
"Kamu, benar juga!" jawab Paman Emir manggut-manggut.
Nyonya Camelia sendiri tak kalah geram.
'Aku akan menghajarmu nanti ketika mereka pulang. Dasar Alea gadis sialan,' batinnya memaki dan penuh dengan niat buruk.
"Baiklah, karena tidak ada lagi yang dibicarakan mari kita tentukan tanggal pernikahannya."
Seluruh anggota keluarga Wicaksana hanya bisa menelan kemarahan mereka atas Alea agar tidak meledak ke permukaan.
"Kami keluarga Wicaksana ikut saja apa kata pihak keluarga Ravindra. Sepertinya lebih cepat, lebih baik!" jawab Nyonya Camelia yang ingin Alea lebih cepat keluar dari sini.
"Bagaimana kalau satu bulan dari sekarang?" tanya Eyang sembari memandang semua orang yang ada di ruangan secara bergantian.
Arka, Raya, Nyonya Camelia dan Bianca saling pandang lalu mengangguk setuju.
"Bagaimana, Seno?"
Seno yang mendengar pertanyaan Eyang, memutar bola matanya malas. "Terserah Eyang!"
"Karena semua sudah setuju, pernikahan Alea dan Seno dilaksanakan awal bulan depan, satu bulan dari sekarang!"
Semua menerima tanpa protes.
Arka menoleh pada jam yang tergantung di dinding, jarum jam menunjukkan pukul 08.00.
"Pembicaraan sudah selesai, sebaiknya kita makan malam dulu. Kami sudah menyiapkan hidangan terbaik untuk menyambut keluarga Ravindra!"
Eyang mengangguk setuju dan membawa rombongannya menuju meja makan mengikuti keluarga Wicaksana yang lebih dulu beranjak ke sana.
Alea berjalan sendirian, berada di tengah-tengah antara keluarga Wicaksana dan Ravindra. Tubuhnya yang masih demam membuat kepalanya terasa semakin nyeri, iya berusaha keras agar tidak terjatuh.
Seno yang berada di urutan paling akhir, memperhatikan Alea dengan dahi berkerut. Tangannya terangkat memberi kode pada Ilyas yang sedang mendorong kursi rodanya untuk mendekat.
Ilyas sengaja memperlambat jalannya dan ketika sudah ada jarak dengan rombongan di depan, Ilyas memencondongkan tubuhnya hingga posisi kepalanya berada tepat di samping telinga Seno.
"Buat aku duduk di sebelah calon istriku!"
pinta Seno berbisik dengan suara yang sangat pelan.
Ilyas tersenyum samar lalu mengangguk dan kembali meneruskan langkahnya mengikuti rombongan.
Seluruh keluarga Ravindra berada di sisi kanan dan keluarga Wicaksana berada di sisi kiri, Arka berada di tengah sebagai kepala keluarga sekaligus tuan rumah.
"Nona, bisakah anda bertukar tempat duduk dengan saya?"
Alea mendongak dan menatap pria salah satu rombongan keluarga Ravindra yang sejak awal kedatangannya tidak pernah mengeluarkan suara dengan pandangan bingung.
"Bertukar tempat duduk?" ulang Alea yang takut dirinya salah mendengar akibat kepalanya yang semakin nyeri.
"Benar, tempatnya terlalu sempit untuk kami tiga pria yang berbadan besar. Jika Nona berkenan bertukar tempat, mungkin bisa sedikit memberikan kelonggaran!"
Eyang Elaine menatap Seno dengan mata memicing, sorot matanya seolah berkata. "Ulahmu?"
Seno mengabaikan Eyang dan memilih fokus terhadap Alea, menanti bagaimana reaksi gadis itu.
"Maaf, Tuan. Sepertinya tempat ujung sana masih kosong, Anda bisa sedikit bergeser jika terasa sempit," ujar Raya memberi saran.
Ilyas mengabaikan ucapan Raya, ia tetap berdiri di hadapan Alea.
"Bagaimana, Nona?" tanya Ilyas menuntut.
Meski alasan Ilyas terkesan tak masuk akal,Alea tetap menuruti permintaan Ilyas untuk bertukar tempat, ia tidak ingin terjadi perdebatan jika menolak.
Seno mengulum senyum samar ketika Alea sudah duduk di sebelahnya. Semua itu tak luput dari perhatian Eyang Elaine dan tentu saja membuat Eyang senang.
"Ambilkan makanan untukku!"
Alea yang mendengar Seno seperti bergumam, menoleh. Seno juga turut menoleh hingga keduanya beradu pandang.
"Ambilkan makanan untukku!" titahnya sekali lagi. Namun, dahi Seno berkerut saat melihat mata Alea memerah.
Rasanya Alea ingin menyerah saja, suhu tubuhnya meningkat dan kepalanya semakin sakit. Namun, ia tetap menuruti perintah pria yang akan menjadi calon suaminya itu.
Seno memperhatikan Alea yang bergerak lamban dan sesekali memejamkan matanya erat.
'Ada apa dengan gadis ini?' batinnya.
Brak!
Alea meletakkan piring berisi makanan ke atas meja dengan keras, matanya terpejam dengan bulir-bulir keringat muncul di dahinya. Tubuhnya terhuyung hendak terjatuh, tetapi Seno dengan sigap mencekal pergelangan tangan Alea dan menariknya ke dalam pangkuan.
Eyang Elaine memekik. "ALEAA!" Eyang berdiri dan berjalan menghampiri Alea yang sedang tak sadarkan diri di pangkuan Seno.
"Apa yang terjadi?!" tanyanya berseru panik.