“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur lebur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun lamanya, dirinya setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
_______
Bila tak suka, cukup tinggalkan!
Kalau memang terlalu buruk, harap berikan ulasan masuk akalnya!
Kita memang tidak saling mengenal, tetapi ada Malaikat yang selalu mencatat Amal. Ayo ... jaga jemari agar hati tetap bersih. Salam damai selalu 🙏😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
“Lah … Kakak nggak tahu apa? Kalau dulu sebelum si Rani berkuliah di ibu kota, sempat santer kabar kalau dia dan Bang Agam menjalin kasih,” Nita ikut berbicara.
Amala menggeleng, sama sekali tidak pernah mendengarnya.
“Kau macam tak tahu Kak Amala saja, Nit. Dia mana suka bergosip seperti kita,” Tari terkikik geli.
“Kalian ni,” Amala tersenyum masam.
“Kembali ke topik … Dengar-dengar ini ya, semenjak Rani di ibukota provinsi, setiap sebulan sekali bang Agam rutin ke sana. Banyak yang berasumsi kalau dia menemui Rani,” sambung Nita menggebu-gebu.
“Nah, kami para tukang ghibah sekarang lagi menantikan kabar terbaru tentang mereka,” Tari terkekeh geli, ia sudah mirip wartawan pemburu berita.
Amala terdiam, tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
‘Apa mungkin selama ini bang Agam menunggu Rani? Karenanya itu sampai umurnya mau 28 tahun masih betah melajang,’ batin Amala dipenuhi tanda tanya.
PLAK.
“Tari, kau mengagetkan saja!” Amala terkejut bahunya dipukul Tari.
“Kakak ni, diajak bergosip malah asik termenung!” sungut Tari.
“Jadi, saya harus menanggapi seperti apa? Lagipula kalau di lihat-lihat, mereka tu cocok, setara. Bisa dibilang pasangan serasi.”
“Serasi dari mana, Kak. Bang Agam tu laki-laki baik, sopan dan dermawan. Sedangkan si Rani sombongnya minta ampun. Kalau berpapasan dengan kami tak mau nya tersenyum, wajahnya macam Lembu habis makan sempak!” cemooh Nita, terlihat sekali ia tak suka dengan sosok Rani.
“Hust! Tak baik menilai seseorang hanya berdasarkan sekilas pertemuan!” tegur Amala lembut.
“Iya sih, tapi memang betulan kalau Rani angkuh, Kak! Banyak kok yang bilang macam tu!" Tari masih keukeuh pada asumsi nya.
“Sudah ya, saya jalan lagi! Supaya tak ketularan jadi biang gosip seperti kalian!” seloroh Amala bercanda. Yang langsung dibalas tawa Nita dan Tari, mereka sama sekali tidak tersinggung.
Sepanjang jalan pikiran Amala bercabang. Dia terusik oleh perkataan Tari dan Nita, Amala menghela napas panjang demi menghilangkan suara berisik batinnya.
“Baguslah kalau memang benar Bang Agam hendak menikah, dengan begitu Nyak Zainab tak lagi mengeluh tentang anak sulungnya yang belum laku-laku!” gumam Amala pelan, dulu ibunya bang Agam sering berkeluh-kesah bila bertemu dengannya.
***
“Sayang, kau kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Hasan mengelus surai istrinya yang sedari tadi terlihat gelisah di atas tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, mereka bersiap hendak tidur.
Wahyuni bangun dari pembaringan, duduk bersandar pada kepala ranjang. “Aku memiliki firasat yang tak baik, Bang. Sepertinya Mak Syam dapat menerka tindak-tanduk kita yang gencar mengulurkan tangan, ibunya Amala tu terlihat waspada.”
Hasan pun ikut bersandar, membawa sang istri masuk ke dalam pelukannya.
“Lalu, kita harus bagaimana?” tanyanya bingung, perjalanan cinta abang iparnya sangatlah rumit. Namun, di satu sisi ia kagum akan keteguhan hati bang Agam.
Wahyuni menghela napas panjang, menyamankan posisinya pada dada bidang sang suami. "Tak tahu lah, Bang. Semoga saja hanya perasaan ku saja, tetapi bila benar Mak Syam hendak menolak lagi rencana lamaran Bang Agam, Aku akan menjadi orang pertama yang menjauhinya!”
“Tak boleh begitu, jangan memendam benci apalagi memutus silaturahmi. Sedari awal kita paham betul kalau Beliau hanya menjalankan amanah dari almarhum suaminya,” ujar Hasan lembut mencoba memberi pengertian ke istrinya.
.
.
“Amala, doakan dagangan kami laris ya! Biar cepat kaya raya!” seloroh paman Budi, ia beserta temannya sesama bakul sayur-mayur bekerja sama dengan Amala.
“Pasti tu, Paman, Pakcik. Kalau jualan kalian laku keras, saya juga yang senang kecipratan rezekinya,” balas Amala sambil tersenyum simpul.
“Amala sudah kau hitung betul ‘kan, berapa jumlah sayur matang dalam kotak tadi?” tanya pakcik Leman.
“Sudah, Pakcik. Amala lebihkan 3 mika untuk keluarga di rumah.”
“Alhamdulillah. Senang sekali kami bisa menjadi Panter bisnis mu, Amala!” tutur paman Budi dengan gaya sok ke-barat-baratan.
“Partner, Paman!” Amala membetulkan kalimat yang salah.
“Amala, jangan kau dengarkan dia! Baca tulis dan berhitung saja masih suka salah-salah, gaya betul mau menggunakan bahasa luar angkasa!” cibir pakcik Leman, yang langsung disambut tawa.
“Ya sudah kami berangkat dulu! Semoga dagangan mu juga laris manis, Amala.”
“Aamiin Allahumma Aamiin,” balas Amala, ia memperhatikan dua motor yang membawa gerobak berisi kebutuhan dapur itu melaju menjauhi halaman belakang rumahnya.
Pakcik Leman dan paman Budi, dua orang yang direkomendasikan oleh bang Agam. Mereka memiliki rute berbeda dalam menjajakan dagangannya, sehingga tidak timbul rasa saling iri.
Sudah hampir 3 minggu Amala menggeluti usaha jualan sayur matang, bahkan kini menunya lebih dari 4 macam, ia juga menjual kue basah, serta camilan kering.
Setiap pagi dan sore, Amala berkeliling desanya sambil menjunjung dagangannya.
Sedangkan Mak Syam bekerja di ladang, ibunya Amala itu bersikeras tetap berkebun, sekarang ladang mereka di tanami kacang tanah.
.
.
“Bu bidan, itu yang namanya Amala. Sahabatnya Kak Wahyuni, dan kakaknya suster Nirma!” Winda salah satu perawat di puskesmas tengah memberitahu bidan Rani.
Rani pun memperhatikan sosok wanita yang menjajakan dagangannya. Senyum sinis tersungging di bibir ber lipstik merah muda.
‘Udik sekali wanita tu, pakaiannya juga ketinggalan zaman. Sepertinya dia tipe perempuan bermulut manis, sehingga bisa berteman dengan kak Wahyuni yang jelas-jelas berkasta tinggi.’
“Panggil dia! Saya mau membeli apa yang dijualnya,” titahnya dengan raut terlihat arogan.
“Kak Amala, tolong kesini sebentar!” panggil Winda.
Amala memasuki pekarangan puskesmas, begitu sampai di teras keramik putih, ia menurunkan ember.
“Kau jualan apa saja?”
Amala menatap wanita dihadapannya, yang mengenakan kemeja putih dan rok selutut berwarna senada, tanpa bertanya dirinya dapat menebak bila sosok ini adalah bidan Rani.
“Sayur matang, dan kue basah, Bu. Kalau berminat silahkan di pilih!” ucap Amala sopan.
Rani mengambil satu mika kue timpan, ia buka bungkusnya. “Ini terjamin 'kan kebersihannya? Takutnya begitu aku makan tak lama kemudian sakit perut.”
Amala tersenyum, memperlihatkan lesung di sudut bibirnya. “Alhamdulillah. Selama saya jualan, belum ada yang komplain.”
'Manis sekali senyumnya,’ Winda terpesona oleh senyum kakaknya Nirma.
“Oh … ya. Saya beli satu ini saja, menu sayurnya terlihat tak aa mengandung gizi, warnanya juga jelek.” Rani mengeluarkan uang dari saku bajunya. “Ambil kembaliannya, anggap saja saya bersedekah.”
Amala memasukkan lagi beberapa mika yang tadi dikeluarkan oleh Rani, setelahnya membuka dompet dan mengambil uang kembalian.
“Sebelumnya terima kasih sudah membeli dagangan saya, Bu Bidan. Namun, maaf, saya tidak menerima uang yang bukan hak saya. Kalau Anda ingin bersedekah, masukkan saja uang ini ke kotak amal masjid tu.” Amala menunjuk masjid besar yang di apit oleh bangunan puskesmas dan kantor balai desa.
“Semuanya, saya permisi!” Amala segera berlalu dari sana.
“Cih … Sombong betul gayanya!” cibir Rani, entah mengapa dia tidak suka melihat senyum menawan Amala.
.
.
"Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam,” sahut Amala membalas salam, ia berdiri di ambang pintu dapur, rautnya terlihat bingung melihat sosok laki-laki tidak dikenalnya sedang menurunkan satu karung besar yang entah berisi apa.
“Cari siapa ya? Lalu apa yang Anda bawa itu?”
“Saya menghantarkan hasil panen Mak Syam, kebetulan juga ingin melihat parasmu.” Dia mendekati Amala sambil tersenyum simpul.
“Anda, siapa …?”
.
.
Bersambung.