Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
...20 April 2023...
Hujan di bulan april, Kiana termangu menatap halaman yang basah. Rintiknya lebat, tanpa angin, tanpa petir. Ada syahdu yang menguar. Membawa Kiana pada lamunan tanpa ujung. Menjadikan masa lalu laksana film dokumenter yang diputar, hanya saja tanpa warna monokrom.
Kiana tersentak saat bel pintu rumahnya berbunyi. Memilih bangkit walau malas. Ia tidak tahu atas asas kepentingan apa, pada pagi hari menjelang siang dicuaca yang dingin lagi hujan ini, seseorang memilih bertamu. Terlebih lagi, ke rumahnya.
...Kiana terdiam. Pintu rumah yang dibukanya menampilkan sosok Dio dalam balutan t-shirt berwarna putih. Sebagian bajunya basah, mungkin terkena rintik hujan saat ia berlari ke rumah. Nampak mobilnya yang di parkir di luar gerbang....
Melihat rambut Dio yang juga sedikit kuyup membuat Kiana hampir tersenyum, meski urung. Ditatapnya Dio dengan menyelidik.
..."Ada perlu apa?"...
Terdengar jahat, namun Kiana sedang memberi batas. Ia tidak bisa terlalu jauh melangkah, sebab hatinya yang ia pertaruhkan. Ini self defense.
"Aku mau jenguk Mama," jawab Dio seraya menyodorkan parcel buah.
Kiana mengernyit, "Mama sudah sehat. Kamu nggak perlu repot-repot."
"Tapi aku mau."
"Tapi aku yang nggak mau."
"Kenapa?"
Kiana mengusap wajahnya kasar. Ia sudah berulang kali mengatakan pada Dio bahwa ia enggan berhubungan kembali dengan dirinya. Jangankan rujuk, bertemu selayaknya teman pun rasanya sulit bagi Kiana. Itu jadi alasan yang tepat, mengapa ia memilih menghilang selama dua tahun lamanya. Dari kehidupan Dio maupun orang-orang yang mengenalnya.
"Because I don't want to get stuck again on the same feeling, the same situation and the same illness. Berapa kali harus aku bilang, Dio." Kiana frustasi. Ia mengacak rambutnya kesal. "Aku berterima kasih atas bantuan kamu pada mama. Pun bila kamu mau membantu soal Dewanti, I'm very grateful. Tapi ... syarat yang kamu kasih itu nggak masuk akal. Rujuk? Untuk kita? Untuk pernikahan yang selama tiga tahun lamanya tumbuh tanpa cinta? Selain aku yang terluka, tidak ada apa-apa di sana."
Dio menghela napas berat. Ia juga sama lelahnya dengan Kiana. Bila kini Kiana lelah diyakinkan, Dio juga lelah meyakinkan. Tapi, ia tidak punya pilihan lain. Ia hanya ingin rujuk, menjalani kehidupannya dengan Kiana seperti dulu, that's enough. Jangan tanya kenapa. Sebab selain perintah eyang, ia juga tidak tahu alasan lainnya.
"Siapa yang datang, Kia?" Suara mama Kiana memecah hening keduanya. "Kenapa nggak disuruh masuk?"
Kiana merutuk dalam hati. Ini pasti tidak cepat selesai.
"Dio?"
Mama Kiana sudah berdiri di dekat mereka berdua. Ia sudah belajar berjalan walau sebelah tangannya harus repot dengan kruk.
"Masuk, nak."
Dio menatap Kiana sekilas untuk kemudian masuk ke dalam rumah mengikuti mantan mama mertuanya. Keduanya duduk di sofa untuk kemudian Kiana menyusul. Ia tidak bergabung, hanya meletakkan parcel buah yang diberikan Dio di meja dan berlalu menuju dapur.
"Mau teh atau kopi? Jangan minta yang nggak ada," teriak Kiana dari arah dapur.
Dio mendengus geli, "Air putih aja."
"Oke, kopi," jawab Kiana seenaknya.
Mama Kiana menggeleng heran, "Kiana ngeselin, ya?"
Dio tersenyum sopan. "Tapi manis," komentar Dio tanpa sadar.
"Hah?" Mama Kiana terkejut dengan jawaban Dio.
Dio tidak mengklarifikasi. Ia hanya mengalihkan pandangannya kearah lain. Menikmati tenangnya rumah mungil ini dengan latar suara hujan yang masih terus turun. Tak lama, Kiana datang dengan secangkir kopi dan beberapa makanan ringan.
"Ayo nak, dimakan," tawar Mama Kiana.
Dio mengangguk. "Sekarang rasanya gimana, Ma? Ada yang masih sakit?"
Mama Kiana tersenyum. "Nggak ada, sebentar lagi juga mama pulih."
Dio mengangguk. "Syukurlah. Kemudian ... Ma, soal tante Dewanti, eyang bilang bahwa kita harus mengajukan tuntutan. Harta waris yang seharusnya diatur oleh hukum agama dan negara itu, telah dimanipulasi oleh mereka. Rumah, perusahaan, juga beberapa property, itu seharusnya atas nama Mama. Sepertinya tante Dewanti memanipulasi semuanya saat ayah sakit."
Kiana tidak berkomentar. Ia sudah menduganya. Sebab sejahat apapun ayahnya hingga berpaling pada Dewanti, ia tetap tidak akan menendang Kiana dan mamanya ke jalanan. Tanpa menyisakan apapun.
"Penjambret mama kemarin yang sudah buat mama kecelakaan juga sudah ditemukan. Benar kata Kia ma, mereka suruhan tante Dewanti. Ini semakin lebih mudah bagi kita membalik keadaan. Hanya saja, mungkin prosesnya cukup panjang. Memerlukan kesediaan mama dan Kia untuk bolak-balik ke pengadilan."
Kiana memandang Dio dalam diam. Ada sirat kagum melihat bagaimana ia mengurus hal-hal yang memusingkannya bisa selesai secepat ini. Terlebih, laki-laki itu jarang sekali bicara panjang lebar. Menggemaskan sekali ternyata mendapatinya begitu cerewet menjelaskan ini dan itu pada mamanya.
Mama Kiana mengangguk, sesaat setelahnya memeluk Dio. Mama Kiana menepuk punggung Dio pelan. Kiana terkejut, terlebih Dio.
"Terima kasih ya, nak. Dio sudah membantu mama dan Kiana."
Dio mengangguk. Dio memilih menyesap kopinya saat mama Kiana melepaskan pelukannya.
"Mama tadi nggak sengaja dengar, ehm ... kalian mau rujuk?"
Pertanyaan Mama Kiana tentu saja membuat keduanya terkejut. Tidak, Kiana yang jauh lebih terkejut. Dio hanya sesaat saja, sebab detik berikutnya, laki-laki itu sudah berhasil menguasai diri.
"Nggak, ma."
"Iya, ma."
Keduanya menjawab bersamaan dengan kalimat yang jauh bersebrangan.
Kiana dan Dio saling menatap.
"Aku nggak mau, ma," tambah Kiana dengan intonasi tinggi.
"Kenapa?" tanya Mama Kiana entah pada siapa.
Kiana menunjuk pada dirinya. "Kenapa? Ya ... karena ehm ... pokoknya nggak bisa."
"Maksud mama, Dio. Kenapa Dio mau rujuk sama Kia?"
Dio mengalihkan atensinya pada Mama Kiana. Sesaat ia nampak berpikir. "Karena ternyata dua tahun yang aku lalui tanpa Kia terasa berbeda, ma. Hari-harinya. Suasananya. Semuanya. Jelas sekali berbeda."
Jawaban Dio yang terkesan ambigu membuat Kiana menghela napas. "Nah ini ... kenapa aku memilih nggak mau rujuk."
"My heart changed suddenly, too. Feeling lonely, maybe. I also don't know what this feeling is called. Hanya merasa ... senang saat Bandung membuat aku dan kamu bertemu lagi."
"Itu tetap tidak bisa dijadikan landasan untuk bisa membangun rumah tangga. We once tried it. Dan bisa dilihat hasilnya sekarang?"
Kiana memalingkan pandangannya ke halaman rumah yang masih dihiasi gerimis. Ia masih mencoba untuk menahan luapan amarahnya agar tidak luruh dalam bulir-bulir air mata. Sangat memalukan baginya bila Dio melihatnya menangis ... lagi.
"Dio tahu, 'kan bagaimana Kia sayang sama Dio dulu? Mama lihat, hanya Kia yang punya perasaan itu dan mama cukup tahu rasanya. Itu hal yang nggak mudah sekaligus menyakitkan."
Kiana menatap mamanya, sedang Dio terpekur dengan menumpukan pandangan pada gelas keramik putih yang berisi kopi separuh. Keduanya diam menyimak.
"Dan Dio ingin mengulangnya? Kembali menikah dengan Kia? Apa jaminannya kalau keadaan yang sama tidak terulang?"
Dio tertohok, tentu saja. Ia tidak bisa menjamin apapun.
"Sebagai mamanya, tentu saja sangat sulit bagi mama untuk menyetujui ini semua."
Dio menatap mantan mama mertuanya dengan sorot mata sedih. Ia tahu, perjalanannya untuk membuat Kiana kembali pasti tidak akan mudah. Namun rasanya tetap saja sedih kala mendengar mama Kiana mengatakan hal seperti tadi. Berupa fakta yang sialnya sulit dibantah.
Ia tidak bisa memberikan jaminan apapun.
Lantas, bagaimana Kiana bisa mau kembali padanya?
Ia sendiri masih jadi si laki-laki yang gamang soal komitmen.
"Berikan aku tiga kali kesempatan untuk menyatakan perasaanku, Kia. Kalau dalam tiga kali aku menyatakan perasaanku dan kamu masih belum bisa menemukan hal yang bisa menjamin kita bahagia, then I'll stop."
Kiana terkejut, mamanya pun demikian. Dio menatap Kiana dalam, membalas pandangan terkejut perempuan itu. Seolah dari matanya, ia ingin memohon untuk diberikan kesempatan.
Kesempatan yang sudah ia sia-siakan tiga tahun lamanya.
^^^^^
Jangan lupa tekan like dongggg
bagus banget recommended