kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Dengan santai Yana menjawab, "Itu mas, Ustadz Sat..."
"Udah deh, malah keterusan," omel Adiba kesal mencubit perut Yana yang terus terkekeh.
Kedua pemuda itu saling berpandangan, "Ustadz Satria?"
"Mas kalau nggak mau bantu, kami lanjut dorong deh. Makin sore juga, nih!" sela Adiba dengan muka jutek.
"Tambal ban jauh, mbak. Kami ada alatnya kok. Tunggu bentar, ya?" ucap mas yang berkulit gelap, yang berganti memandang temanya yang berkaus hijau."Ambil sana, To."
"Oke," sahut si Yanto yang berkaus hijau. Lalu melesat dengan motor bebeknya.
"Tunggu sini dulu aja, mbak," ucap mas yang berkulit gelap itu sambil mendorong motor matik Adiba lebih ke tepi. Lalu berjongkok di atas rumput dan mengecek lagi kondisi ban.
Adiba mendesah pelan, merasa hari ini sangat sial. "Makin gelap kita nanti pulang nya, Yan."
"Iya, serem ya jalan ke sini. Mana banyak hutan ma sawah lagi." Yana bergidik ngeri.
"Jadi mbak berdua ini tamunya Ustadz Satria?" Pertanyaan yang mengalihkan percakapan Adiba dan Yana.
"Iya, Mas." Yana yang menjawab.
"Oohh, iya, tadi sempet ada yang ngomong sih," celetuk pemuda itu melirik Adiba. "Ustadz Satria dicariin sama cewek."
Tak lama si Yanto datang, dengan perangkat tambal ban. Rupanya ia tak datang sendiri, di belakangnya, mengekor ustadz Satria yang membawa ember yang berisi air dan pompa. Keduanya mengendarai motor.
Adiba melongo tak percaya, kesel juga, tapi Yana justru cengar-cengir menyenggol lengan Adiba. Adiba mendelik sebal padanya.
"Ini yang bocor?" tanya Satria turun dari motor dan si mas berkulit gelap itu menyalami dan mencium tangannya.
"Iya, Mas. Kok bisa ketemu sama Mas Satria?" tanya si mas-mas.
"Kebetulan tadi pas ambil tambal ban, Mas baru selesai nambal punya Mbak Novi," sahut Satria.
"Oohh,"
Ketiga pria itu sibuk menambal ban motor Adiba dan bercakap-cakap ringan. Adiba dan Yana yang menunggu sedikit jauh dari mereka hanya jadi pendengar aja. Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit, beberapa kali Adiba menggosok lengan atasnya karena ia hanya hanya mengenakan kaus lengan pendek. Hal itu tidak luput dari pengelihatan Satria meski pria itu sibuk menambal ban. Ia berdiri mengambil jaket yang ia simpan di jog motornya dan menyerahkannya pada Adiba.
"Udah mulai dingin, pake nih," ucap Satria.
Adiba melihat ke jaket hitam milik Satria, lalu berganti melihat Yana yang cengengesan. Jelas sekali jika Yana sedang menertawainya. Akan tetapi, Adiba kedinginan dan membutuhkan jaket itu. Dengan terpaksa, ia mengambil dan memakainya. Ia melirik sahabatnya yang menutup mulut dan cekikikan. Karena kesal, Adiba menginjak kaki Yana. Sementara Satria sudah kembali berkumpul dengan Yanto dan temannya menambal ban.
"Udah," ucap Satria setelah urusan menambal ban selesai.
"Makasih," ucap Adiba sedikit ketus.
Satria mengulas senyuman, "Ayo."
Adiba tersentak, begitupun dengan Yana sampai mengangkat kepala dan saling pandang dengan Adiba. Apa maksudnya kalimat ajakan itu.
"Ayo ke mana?" seru Yana dan Adiba bersamaan.
"Udah petang, jalan di sini juga sepi kalau malam. Penerangan juga minim. Jarang ada rumah penduduk kalau ada apa-apa sulit nyari bantuan. Jadi, Mas kawal kalian sampai rumah," jelas Satria memasang helm, begitupun dengan Yanto.
"Eehh?!" Adiba makin terperangah mendengar penuturan Satria. "Kawal sampai rumah?"
"Ayo jalan, keburu malam." Satria mulai menstater motornya. Lalu ia berganti berbicara dengan si hitam manis,"Mas pergi dulu sama Yanto kalau nanti ada yang nyari. Bilang aja ke kota bentar."
"Iya, Tadz." Angguk si pria berkulit gelap itu.
"Alat tambal bannya, tolong disimpan di tempat biasa. Makasih ya, Ki."
Mau tak mau, Adiba melakukan perjalanan dengan dikawal Satria dan Yanto di belakang. Begitu masuk kota, dan mereka sempat berhenti di lampu merah. Adiba menyarankan Satria untuk pulang saja.
"Mas Satria pulang aja deh, ini udah masuk kota kok." Adiba mengangkat kaca helemnya.
"Nggak apa," tolak Satria halus.
"Nggak apa gimana?" tanya Adiba dengan muka masam.
"Kawal sampai rumah," jawab Satria enteng menatap lurus ke depan.
Hal yang Adiba paling takutkan, karena ia tak mau pak Mustofa dan bu Sawitri tau. Apalagi sampai bertemu dengan Satria.
"Adiba, aku langsung balik ke rumah aja deh," pinta Yana dalam perjalanan pulang.
"Eeh, kenapa?"
"Nggak enak nih," bisik Yana.
Adiba cemberut, dan terpaksa mengantar Yana ke rumah.
"Aku ikut main sini dulu aja deh," celetuk Adiba setelah sampai di depan rumah Yana. Ia menoleh pada Satria yang masih mengawal, lalu berkata,"kalian pulang aja deh, Mas. Aku masih mau main di sini."
"Eeh, nggak bisa. Sana balik," usir Yana yang merasa tak enak pada Satria yang sudah mengawal sedari Pakis tadi.
"Enggak, ah, aku main sini aja!" pinta Adiba memelas."Plis!"
"Balik, balik, nggak ada main-main," usir Yana mendorong tubuh Adiba kembali ke motor. Dengan wajah yang cemberut dan ditekuk, Adiba terpaksa pulang karena Yana tidak membiarkan dirinya main.
Pikiran tentang pak Mustofa yang mungkin akan meledeknya membuat Adiba cemas bukan main. Pasalnya, Adiba terus menolak keras Satria. Tetapi, ia sendiri malah pulang dikawal Satria. Akan lebih mengelikan lagi jika sampai bapaknya itu tau jika dia sampai datang ke rumah Satria. Adiba mendesah dengan wajah memelas.
Sesampainya mereka di depan rumah pak Mustofa. Adiba langsung mengusir Satria.
"Udah sampai rumah, kan. Udah, Mas Satria pulang aja," usirnya cemas jika sampai pak Mustofa sampai memergoki Satria yang mengantarnya pulang. Sudah pasti pertanyaan beruntun bakal keluar dari mulut bapaknya.
Belum sempat Satria membuka mulutnya, pintu rumah Adiba sudah dibuka.
"Adiba? Siapa itu?" Pak Mustofa celingukan melihat samar wajah Satria di tengah gelap malam dan cahaya lampu seadanya."Loh, Mas Satria?!"
"Assalamualaikum, Pak," sapa Satria turun dari motornya diikuti oleh Yanto.
"Wa'alaikum salam, beneran Mas Satria to ini!?" Pak Mus keluar dari ambang pintu hingga ke teras. Dengan santun, Satria mendekat bersama Yanto. Lalu menyalami Pak Mus bergantian.
"Kok bisa sama Mas Satria pulangnya, Diba?" Pak Mus heran,"Ayo, masuk dulu," ajaknya,"Buk, ada tamu. Mas Satria ini loh, calon mantu!" serunya dengan suara lebih keras pada sang istri."Bikinkan kopi tiga."
Adiba yang kesal karena sudah terlanjur kepergok hanya bisa menghentak kaki dengan raut masam. Menyusul Satria dan bapak nya masuk ke dalam rumah. Bertepatan dengan bu Sawitri yang keluar membawa minuman untuk tamunya.
"Ibuk masuk lagi ya, Mas Satria, masih ada kerjaan di belakang," pamit bu Sawitri setelah meletakkan tiga gelas kopi panas di meja beserta sepiring gorengan.
"Iya, Buk. Mangga," ucap Satria dan Yanto ramah dan kompak senyum.
Adiba memilih duduk disisi dalam dekat pak Mus, ia harus memastikan Satria tidak mengatakan hal-hal yang berbahaya dan memalukan dirinya.
"Kok bisa bareng sama Adiba?" tanya pak Mus akhirnya setelah sempat berbincang ringan dengan Satria.
"Tuh, kan?!" omel Adiba dalam hati mulai ketar ketir. "Jangan sampai deh Mas Satria ngomong Aku yang nyamperin ke sana."