GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13. Pelajaran Paling Killer
Malam telah menyelimuti langit, bulan pun mulai bersinar, tapi Kaesang belum juga kembali dari luar. Lingga sudah lapar dan mengajak mamanya untuk makan. Hanya mereka berdua yang ada di rumah. Tapi Zora terus menolak dan menyuruh Lingga untuk makan duluan.
Dia mengatakan untuk akan menunggu Kaesang pulang dulu. Dia khawatir Kaesang belum makan. Saat ini Zora tengah menunggu Kaesang di ruang tamu, matanya tak lepas dari pintu. Rasa khawatir dan cemas menyelimuti hatinya. Di mana Kaesang? Apa yang sedang dia lakukan?
Tadi saat pergi Kaesang tidak mengatakan sepatah kata pun, raut wajahnya dingin dan seperti menyimpan amarah. Zora bingung, apa yang membuat Kaesang bersikap begitu?
Lingga akhirnya makan sendiri karena perutnya sudah keroncongan. Ia membawa makanannya ke ruang tamu dan duduk di samping mamanya.
"Ma, kak Kae pasti udah makan di luar. Dia lagi ke tempat temannya mungkin. Yuk mama makan dulu sama aku. Nanti sakit perut loh gegara makannya telat." Lingga berusaha membujuk Zora untuk makan, dia mengatakan banyak hal untuk agar Zora mau makan dan tidak menunggu Kaesang terus.
Tapi Zora menggelengkan kepalanya. Dia tetap mau menunggu Kaesang. Dia sangat khawatir.
"Udah kamu nggak usah khawatirin mama. Kamu makan aja dulu, Mama masih mau nungguin kakak kamu. Dia nggak biasanya kayak gini loh. Kakak kamu itu nggak punya temen di sini, juga nggak punya pacar ...
Dia mau pergi ke mana kalau nggak ke rumah. Meskipun papa kamu itu punya banyak properti di sini, tapi kakak kamu itu nggak pernah mau datang ke satupun tempat milik papamu itu. Setelah pulang sekolah kakakmu itu selalu pulang ke rumah dan nggak kemana-mana lagi ...
Mama jadi khawatir, dia tadi perginya kayak sedang marah gitu loh. Dia aja nggak jawab waktu mama ngajak dia ngobrol. Ini udah malam, tapi dia belum pulang. Mama jadi khawatir. Kamu makan aja dulu, nanti mama nyusul," kata Zora, suaranya sedikit bergetar, mencerminkan kekhawatirannya.
Lingga yang mendengarnya ikut merasakan kekhawatiran Mamanya. Dia merasa sedih dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi pada kakaknya. Dulu, kakaknya tidak seperti ini. Kenapa sekarang dia berubah?
"Ya udah deh kalau mama mau nungguin Kak Kae, Aku makan dulu ya ma. Aku mau makan di sini aja nemenin mama." sahut Lingga, seraya mulai menyantap makanannya dengan lahap. Perutnya memang sudah keroncongan.
Tak berapa lama setelah itu pintu depan terbuka, dan Kaesang melangkah masuk. Lingga dan Zora sudah menunggunya di ruang tamu, tapi Kaesang langsung menuju kamarnya tanpa menyapa mereka.
Zora dan Lingga, yang melihat kedatangan Kaesang, buru-buru berdiri dan mencoba mengejarnya.
"Kae, kamu dari mana aja? kok baru pulang?" tanya Zora, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Kaesang hanya diam, tak menjawab pertanyaan Zora.
Lingga yang melihat sikap kakaknya yang terasa kurang aj4r kepada mamanya segera emosi. Kepalan tangannya mengeras, amarah menggelegak di dadanya.
"Bang, Lo tuh punya kuping nggak sih, hah?! di tanya mama tuh. Lo dari mana? ngelayap kemana Lo sampai malem gini baru pulang? mama khawatir tau nungguin Lo!" Lingga emosi, dia berteriak dan menghujani Kaesang dengan maki4n.
Zora yang mendengar amarahnya, menoleh cepat ke arah Lingga dan menggelengkan kepala. Ia mencoba menenangkan Lingga, meminta agar ia tidak lagi berkata kasar atau membent4k Kaesang.
Kaesang tentu ikutan emosi mendengar maki4n Lingga. Sorot mata Kaesang berbinar amarah, tatapannya tajam menusuk. Ia berbalik, menatap lurus ke arah Lingga.
"Gue nggak nyuruh mama nungguin gue tuh. Terserah gue lah gue mau pergi kemana. Itu bukan urusan Lo atau siapapun. Gue capek, gue mau istirahat!" Kata-kata yang cukup pedas dan nyelekit keluar dari bibir Kaesang. Setelahnya dia berbalik dan kembali menuju kamarnya, menaiki tangga.
Lingga hendak membalas, namun Zora menahan tangannya, menghentikan niat Lingga yang hendak membalas ucapan Kaesang.
Zora menoleh ke arah Kaesang, air matanya menetes perlahan, membasahi pipinya. "Kamu udah makan, Kae?
Kalau belum makan dulu yuk, tadi mama udah nyuruh bibi masak banyak makanan. Mama juga belum makan. Kita makan bareng-bareng yuk di ruang makan," Zora mengajak Kaesang untuk makan. Karena dia kira Kaesang belum makan.
Kaesang tidak membalikkan badannya dan tetap berjalan. "Aku udah makan. Mama makan aja berdua sama Lingga."
Kaesang beranjak dari sana, langkahnya menuju kamarnya. Pintu kamar terbuka, dan dia melangkah masuk. Setelah pintu tertutup rapat, dia langsung menuju kamar mandi.
Di tempatnya, Lingga mengajak mamanya ke ruang makan. Dia menyuruh mamanya untuk makan, meskipun sebenarnya sedikit enggan untuk Zora makan.
Akhirnya Zora benar-benar makan makanan yang diambilkan oleh Lingga. Dia makan itu sampai habis. Lingga berusaha mengalihkan perhatian Zora dengan mengajaknya bicara.
Perlahan, senyum kembali merekah di wajah Zora, mengusir kesedihan yang sempat menyelimuti hatinya.
********
Keesokan harinya, Tyas berangkat ke tempatnya ngajar setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya. Dia masih marah kepada kedua orang tuanya yang ingin menjodohkannya. Tadi sebelum berangkat mereka kembali membahas soal perjodohan itu, tapi Tyas acuh dan langsung berangkat.
Kini dengan motor maticnya Tyas hampir sampai di sekolah tempatnya mengajar. Namun, nasib berkata lain, di tengah jalan, si kuda besi itu tiba-tiba mogok. Saat itu waktu sudah hampir mepet, membuat Tyas panik dan buru-buru turun dari motornya.
"Haduh, ini kenapa lagi, aku kan mau ada jam pagi ini. Kok ya pas banget mogoknya disini." keluh Tyas, matanya tertuju pada si roda dua yang tak berdaya. Dia ingin membawanya ke bengkel, tapi jaraknya lumayan jauh dari lokasi ini.
Tyas menengok ke kanan dan kiri, berharap ada taksi atau angkot yang lewat. Sayangnya, jalanan tampak sepi. Rasa panik mulai menggerogoti dirinya. Bagaimana caranya agar bisa sampai di sekolah tepat waktu?
"Ck, kok nggak ada angkot lewat sih?! haduh udah mau telat nih. Ayo dong satu aja angkot lewat, aku keburu telat!" Tyas terus ngedumel sendiri, berharap ada satu angkot yang lewat.
Posisi motornya mogok jauh dari pemukiman, di tengah rimbunnya hutan yang membuat jalanan sepi. Saat itu, dia sengaja memilih jalan pintas untuk menghemat waktu, namun takdir berkata lain, motornya malah mogok.
Tiba-tiba dari kejauhan ada sebuah mobil Lamborghini putih lewat dan berhenti di depan Tyas. Mobil itu tampak cantik dan menawan, seperti harganya yang fantastis.
Pemiliknya, seorang pemuda dengan seragam sekolah yang membuatnya tampak tampan dan berkarisma, seperti artis Korea, keluar dari mobil dan menghampiri Tyas.
"Motor ibu kenapa?" tanya orang itu kepada Tyas.
Tyas menoleh, matanya menangkap sosok Kaesang berdiri di hadapannya, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Oh, ehm motor saya mogok Kae. Saya berusaha cari angkot tapi nggak nemu dari tadi." keluh Tyas, raut wajahnya masih terlihat frustasi dengan motornya yang mogok.
"Jalanan disini sepi Bu. Saya tadi iseng lewat sini, eh malah ketemu ibu. Disini jarang ada angkot yang lewat meskipun ini masih di daerah metropolitan. Ayo ibu sama saya saja ke sekolahnya. Nanti keburu telat loh." Kaesang berusaha menawarkan bantuan dengan mengajak Tyas pergi ke sekolah bersamanya, naik ke mobilnya.
Tyas terlihat ragu-ragu. Mobil Kaesang, sebuah Lamborghini yang harganya selangit, bahkan lebih mahal dari rumahnya, membuatnya sedikit sungkan.
Kaesang yang melihat Tyas diam kembali berkata. "Udah ibu nggak usah bingung. Motor ibu tinggal aja disini, nanti biar saya telpon orang bengkel langganan saya buat ambil motor ibu." Kaesang, dengan senyum tipis, mengulurkan tangannya ke arah Tyas.
"Ayo Bu kita berangkat," katanya, "mobilku di sana." Tyas, sedikit ragu, menerima uluran tangan Kaesang dan berjalan bersamanya.
Di mobil, Kaesang membukakan pintu untuk Tyas. "Silakan masuk," ujarnya. Tyas, masih sedikit gugup, masuk ke dalam mobil. Kaesang menyusul, menutup pintu dan duduk di balik kemudi.
"Sabuk pengamannya," kata Kaesang sambil menunjuk ke sabuk pengaman Tyas. Tyas berusaha memasangkannya sendiri, tapi agak kesusahan.
Akhirnya, Kaesang dengan cepat membantu memasangkannya. Wajah mereka sangat dekat, dan Kaesang bisa merasakan napas Tyas yang sedikit tersengal. Detak jantungnya berdebar kencang, sama seperti jantungnya sendiri.
Mereka saling menatap, tanpa sepatah kata pun terucap. Tatapan mereka penuh makna, seperti sebuah bahasa bisu yang hanya mereka berdua yang mengerti.
"Cantik," ucap Kaesang tanpa sadar.
Pipi Tyas langsung bersemu merah mendengar pujian Kaesang. "A-apa Kae?" tanyanya, pura-pura tak mendengar. Matanya berbinar-binar, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
Kaesang langsung salah tingkah mendengar Tyas mendengar ucapannya. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, memalingkan wajahnya kearah lain.
"Hehe nggak Bu. Kita berangkat sekarang ya, udah kurang sepuluh menit nih. Semoga nggak telat." Kaesang, yang tadinya grogi dan rada-rada salting, langsung meringis. Wajahnya memerah, kayak kepiting rebus! Cepat-cepat, dia nyalain mesin mobilnya dan langsung meluncur ke sekolah.
Mobil Lamborghini putih nan gagah itu berhenti tepat di parkiran sekolah. Tyas dan Kaesang, yang baru saja turun dari mobil, langsung berpisah. Tyas berbelok ke arah ruang guru, sementara Kaesang melenggang ke kelasnya.
Wajah Tyas masih sedikit memerah, tersipu malu karena pujian Kaesang tadi. Mereka berdua saling melempar senyum tipis sebelum Tyas melangkah masuk ke ruang guru.
Sementara itu, Kaesang mengambil ponselnya dari dalam tas dan menghubungi bengkel langganannya untuk mengambil motor Tyas yang mogok tadi. Setelah itu, dia kembali melangkah ke kelasnya. Hari ini adalah harinya matematika. Pelajaran paling killer di Genius High School.
Bersambung ...