“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 08
Mak Syam hendak menyusul sang anak di dapur, dia ingin meminta maaf kepada Amala. Dulu dirinya ikut andil dalam membujuk sang putri agar mau bertunangan dengan Yasir. Dia juga yang meminta tolong kepada Amala, supaya membantu secara maksimal pendidikan Nirma.
Baru beberapa langkah, kepala Mak Syam terasa berat, bumi seolah berputar dipenuhi ribuan kunang-kunang. Tubuh Mak Syam luruh ke lantai, dia kehilangan kesadaran.
Bugh.
“Mamak? Bangun Mak!”
Amala mengguncang pundak ibunya yang terbaring di lantai papan bersuhu dingin. Dia membopong badan lemas Mak Syam, meletakkan tubuh kurus itu di atas sofa panjang lalu Amala mengambil senter, secepat mungkin menghempas pintu depan dan berlari menembus hujan. Tujuannya adalah warung sembako seberang jalan yang masih terlihat buka.
Tak dihiraukannya suara gemuruh halilintar, tak dirasanya batu kerikil yang menggores telapak kaki tak beralas. Baju Amala seketika basah kuyup.
“Bang Agam! Bang Agam!” teriaknya begitu sampai di teras warung, tidak ada siapapun di sana.
“Ya Allah, Amala! Ada apa?” seru Wahyuni, adiknya Agam. Dia begitu terkejut melihat penampilan teman masa kecilnya.
“Tolong aku, Yun! Mamakku pingsan. Tolong antarkan ke puskesmas!” pinta Amala, suaranya bergetar hebat dengan linangan air mata bercampur tetesan air hujan yang membasahi wajahnya.
Yuni pun langsung berlari ke belakang warung, dia berteriak memanggil abangnya yang berada di lumbung padi, tidak jauh dari warung
Agam bergegas ke warung. Dia langsung mengamati penampilan Amala.
Yuni pun menceritakan kemalangan yang menimpa Amala.
“Tunggu di rumah! Saya ambil mobil dulu!” titah Agam, dia langsung ke belakang.
“Terima kasih,” cicit Amala, tapi sepertinya bang Agam tidak mendengar. Amala pun langsung berpamitan kepada Yuni, dia berlari lagi pulang ke rumahnya.
Ibunya masih pingsan, tak berapa lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, lalu sosok tinggi tegap berahang tegas itu menghampiri Amala dan Mak Syam.
“Biar saya yang menggendong!”
“Baik, Bang.” Amala mengikuti Agam dari belakang, begitu tubuh sang ibu sudah direbahkan pada bangku penumpang mobil minibus. Amala berbalik hendak pergi ke samping rumahnya.
“Kau mau kemana, Mala?” tanya Yuni, dia ikut serta menemani sang Abang.
“Aku mau ke samping ambil sepeda, tolong antarkan Mamak ku ke puskesmas ya. Aku mengikuti kalian dari belakang.”
“Ikut saja dengan kami! Biar cepat sampai!”
“Nggak usah Yun, lagipula bajuku basah kuyup. Nanti tempat duduknya ikutan basah dan kotor.”
Wahyuni menepuk keningnya, Amala masih sama seperti dulu, tidak enakan jadi orang.
“Yuni, kau duduklah di belakang! Pangku kepala Mak Syam. Dan kau, Nur … cepatlah masuk dan duduk di bangku depan!” Agam bertitah tanpa melihat Amala, dia bergegas memutari mobil dan masuk di bangku kemudi. Untung saja di depan rumah Mak Syam ada pohon mangga besar. Jadi mobilnya terlindungi dari air hujan.
Amala menurut, dia merasa terintimidasi oleh suara bariton milik Agam.
Mobil pun melaju pelan, menempuh waktu hampir 10 menit. Melewati dua bukit dan 3 pos ronda yang dijaga pemuda desa. Agam membunyikan klakson setiap melewati pos ronda.
Tak berselang lama, mobil Agam sudah terparkir di samping halaman puskesmas yang buka 24 jam. Dia kembali membopong tubuh Mak Syam, membawanya ke ruang tindakan.
Darah rendah Mak Syam kambuh, dia diharuskan menginap satu malam. Pak Mantri yang memeriksa merasa khawatir kalau sampai vertigo Mak Syam ikutan kambuh. Jadilah sekarang lengan Mak Syam diinfus, beliau juga belum sadar.
Jangan tanyakan bagaimana keadaan Amala, dia cemas, kedinginan, bibirnya sampai membiru, sedari tadi menahan tangis dan menekan rasa takutnya.
Agam menghampiri Amala, ia membawa sesuatu di tangannya. Agam membungkuk di depan Amala yang sedang duduk pada kursi tunggu. Menyodorkan sepasang sandal swallow yang tadi diambilnya dari dalam mobil. Sandal yang biasa dipakainya ketika hendak shalat di masjid, pria berkaos polos dan celana panjang itu juga memberikan sepasang kaos kaki yang masih baru.
Amala terkesiap, dia sampai menarik kakinya.
“Pakailah! Lantainya begitu dingin.”
Agam kembali menegakkan badan. Tadi dia memperhatikan kaki Amala yang biasanya selalu berbalut kaos kaki, terlihat kotor dan juga terdapat goresan luka samar. Mungkin gadis di hadapannya ini begitu panik, sampai melupakan menutup aurat kakinya.
Amala segera memakai kaos kaki dan sandal kebesaran berwarna putih, dia begitu sungkan. Lagi dan lagi kembali menyusahkan. Di sampingnya ada Yuni yang mengamati.
“Mala, boleh kami masuk kerumah mu? Mengambil pakaian ganti dan juga selimut. Tidak mungkin kau semalaman mengenakan baju basah, selimut Mak Syam juga begitu tipis. Pasti Beliau kedinginan tengah malam nanti,” ujar Wahyuni.
Mala mengangguk menyetujui. Agam dan Yuni langsung bergegas. Mereka kembali naik mobil menuju rumah Amala.
\*\*\*
“Ya Allah,” gumam Wahyuni lirih, dia begitu prihatin melihat baju yang biasa dikenakan Amala terdapat tiga tambalan di bagian pundak dan ketiak. Pantas saja wanita cantik itu selalu mengenakan hijab lebar, selain memang wajib, juga berguna untuk menutupi pakaiannya yang robek.
Agam melihat apa yang dilakukan sang adik, dia pun terdiam. Netranya mengamati ruangan yang tak luas, hanya ada satu set sofa tua, lemari kayu dan mesin jahit.
Kemudian pria berambut hitam legam berpotongan cepak itu pergi ke dapur. Tanpa bersuara Agam membuat teh hangat, juga mengambil dua bungkus roti yang ada di atas meja kayu sangat sederhana.
Setelah selesai, mereka kembali lagi ke puskesmas.
Posisi Amala masih sama seperti tadi, duduk sendirian. Dia tidak berani masuk ke dalam ruang rawat lantaran pakaiannya yang basah. Ibunya sempat sadar, sekarang tertidur lagi efek obat tidur yang diberikan oleh pak Mantri.
“Amala, gantilah dulu! Ini ada juga minyak kayu putih, tadi aku mengambil di bufet dan satu botol teh hangat, aku yang membuatnya.”
Yuni menyodorkan plastik berwarna hitam, begitu Amala menerima dan pergi ke toilet di pojok puskesmas. Wahyuni memalingkan wajah, ia tersenyum hangat menatap abangnya yang berwajah tegas. Sengaja dirinya tidak memberi tahu tentang teh dan juga minyak kayu putih, semua itu demi menyelamatkan Amala dari rasa malu serta sungkan.
Selesai urusan, mereka berpamitan. Amala juga sudah mengenakan pakaian kering.
“Yuni, Bang Agam, terima kasih.” Amala menunduk dalam, dia begitu bersyukur bertetangga dengan orang baik, walaupun keluarga Agam kaya raya dan berpendidikan, mereka tidak sombong, tidak membedakan kasta, sangat rendah hati.
Wahyuni memeluk tubuh Amala. Dia mengusap punggung wanita tangguh ini. “Jangan sungkan begitu, orang tua kita sudah bertetangga sejak dulu, dan kita bersahabat dari sewaktu didalam kandungan. Jadi, sudah sepantasnya saling tolong menolong.”
.
.
Sementara di tempat lain.
“Besok datanglah ke rumah ibumu. Minta kembali emas tanda pengikat Mas dan mbakmu, benda itu bukan lagi hak dia. Setelahnya, jual emasnya dan belilah pakaian baru yang banyak! Kau harus selalu berpenampilan elegan, tunjukkan kalau kita orang berada dan berpendidikan.” Di sela-sela penyatuan mereka, Yasir memberikan titah.
Nirma mendesah, sesekali melenguh nikmat, tubuh mereka sudah basah oleh keringat.
“Bagaimana kalau mbak Mala, tidak mau memberikannya …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu