Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Setelah kejadian itu, tubuh Rose bergetar hebat. Kakinya terasa begitu lemas hingga hampir tak mampu menopang tubuhnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya terasa kaku, seolah semua kata tertahan di tenggorokan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dalam diam, membiarkan bulir-bulir air mata mengalir di pipinya.
Dylan melihat kondisi Rose dengan sorot mata penuh kekhawatiran. “Rose,” katanya lembut, suaranya bergetar sedikit. “Kau tidak apa-apa?”
Rose hanya menggeleng pelan, menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang semakin menjadi. Napasnya terdengar berat, dan tubuhnya terlihat semakin lunglai. Tanpa berpikir panjang, Dylan mendekat, lalu berjongkok di hadapannya.
“Pegang pundakku,” ucapnya dengan nada tegas, namun tetap lembut.
Rose memandangnya, matanya masih berkaca-kaca. Ketika ia tidak memberikan respons, Dylan mengangkat tubuhnya dengan hati-hati, menggendongnya dalam posisi bridal.
“Aku akan membawamu ke atas,” ujarnya, langkahnya mantap meskipun wajahnya menunjukkan kegelisahan.
Rose tidak melawan. Tubuhnya terasa terlalu lemah untuk menolak, dan meskipun hatinya sempat ingin bersikap tegar, kehangatan pelukan Dylan membuatnya merasa sedikit lebih aman.
Di dalam lift, suasana begitu sunyi. Rose menyandarkan kepalanya di dada Dylan, mendengar detak jantungnya yang stabil, sesuatu yang menenangkan di tengah kekacauan yang baru saja terjadi.
“Pak Dylan…” suaranya hampir tak terdengar.
“Hm?” Dylan menunduk sedikit, mendekatkan telinganya ke wajah Rose.
“Aku takut…” bisiknya lirih.
Dylan mempererat pelukannya. “Aku tahu. Tapi kau aman sekarang. Aku janji, Rose, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.”
Ketika mereka sampai di pintu apartemen Rose, Dylan menurunkannya dengan lembut agar ia bisa mengambil kunci. Namun, tangan Rose masih gemetar sehingga ia kesulitan membukanya. Dylan mengambil kunci dari tangannya dengan hati-hati. “Biar aku,” katanya, lalu membuka pintu dan membantu Rose masuk.
Di dalam apartemen, Dylan membimbing Rose untuk duduk di sofa. Ia mengambil segelas air dari dapur dan menyerahkannya. “Minumlah, ini akan membantumu sedikit tenang.”
Rose menerima gelas itu dengan tangan yang masih gemetar. Setelah meneguk airnya, ia merasa sedikit lebih baik, meski tubuhnya masih terasa berat.
Dylan duduk di sampingnya, menatapnya dengan sorot mata lembut namun penuh kekhawatiran. “Rose, aku tahu ini sulit bagimu. Tapi aku ingin kau tahu, aku akan ada di sini untukmu. Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian.”
Rose mengangguk pelan, lalu menatap Dylan. “Kenapa kau selalu ada di saat aku membutuhkanmu?”
Dylan tersenyum tipis, lalu menyentuh pundaknya dengan lembut. “Karena aku peduli. Aku ingin melindungimu, Rose, apa pun risikonya.”
Mendengar itu, air mata Rose kembali mengalir. Tapi kali ini, bukan karena takut, melainkan karena rasa hangat yang mulai memenuhi hatinya. Di tengah rasa trauma yang masih menggantung, ia mulai menyadari bahwa Dylan mungkin bukan hanya sekadar atasan. Ia adalah seseorang yang benar-benar tulus ingin menjaganya.
****
Rose menarik napas panjang, mencoba menenangkan perasaannya yang masih berkecamuk setelah kejadian malam itu. Ia menatap Dylan yang duduk di sampingnya, ekspresinya penuh perhatian dan kekhawatiran. Hatinya berdebar melihat betapa serius Dylan ingin melindunginya, tetapi di saat yang sama, pikiran tentang masa depannya kembali menyeruak.
Setelah beberapa saat hening, Rose akhirnya membuka suara, suaranya lirih namun tegas. “Pak Dylan, ada sesuatu yang harus kau tahu.”
Dylan menatapnya dengan fokus. “Apa itu?”
Rose memainkan jemarinya, tampak gugup. “Magangku di sini akan segera selesai. Setelah itu… aku akan kembali ke Korea Selatan. Itu sudah menjadi rencanaku sejak awal.”
Dylan tertegun sejenak, tetapi ia tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Rose, seolah mencoba memahami apa yang baru saja dikatakannya.
Rose melanjutkan dengan suara sedikit bergetar. “Aku tahu… kau bilang ingin menjagaku, bahkan lebih dari sekadar atasan. Tapi… jika kita benar-benar melanjutkan hubungan ini, apakah kau siap untuk menjalani pernikahan jarak jauh? Aku masih punya pekerjaan dan tanggung jawab lain di Korea. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”
Dylan menghela napas panjang, lalu menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Rose. Ia meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Rose, aku tidak pernah melihat jarak sebagai penghalang. Kalau aku serius padamu—dan aku memang serius—aku akan melakukan apa pun untuk membuat ini berhasil. Termasuk pernikahan jarak jauh, kalau itu yang kau inginkan.”
Rose terkejut mendengar ketegasan dalam nada suara Dylan. “Kau benar-benar akan melakukannya?” tanyanya, matanya membelalak sedikit.
Dylan mengangguk mantap. “Ya. Aku tahu kau memiliki impian dan tanggung jawab di Korea, sama seperti aku di sini. Aku tidak akan memaksamu untuk meninggalkan semuanya demi aku. Tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu. Jika ini berarti kita harus menjalani hubungan jarak jauh, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tetap dekat, bahkan dari kejauhan.”
Rose menunduk, matanya berkaca-kaca. “Tapi Pak Dylan, ini tidak akan mudah. Kau tahu itu, bukan? Pernikahan jarak jauh penuh dengan tantangan, dan aku tidak ingin menyakitimu… atau diriku sendiri.”
Dylan tersenyum lembut, mengusap punggung tangan Rose. “Aku tahu, Rose. Aku tidak mengatakan ini akan mudah. Tapi aku percaya, jika kita benar-benar saling mencintai, kita bisa melewati semuanya. Aku hanya ingin kau tahu, aku siap memperjuangkanmu, apa pun risikonya.”
Rose terdiam, hatinya bergejolak. Ia tahu Dylan tulus, tetapi pikiran tentang jarak dan kehidupan yang berbeda tetap membayanginya. Akhirnya, ia mengangguk pelan, memberikan sedikit senyuman meski hatinya masih diliputi keraguan.
“Baiklah,” katanya lirih. “Kita akan lihat bagaimana nanti. Tapi aku harap kau tahu, aku tidak ingin membuat janji yang tidak bisa aku tepati.”
Dylan meraih wajah Rose dengan kedua tangannya, membuatnya menatap langsung ke dalam matanya. “Aku tidak butuh janji apa pun, Rose. Aku hanya butuh kau percaya padaku, seperti aku percaya padamu.”
Mata Rose kembali berkaca-kaca, tetapi kali ini ada kehangatan yang mengalir di hatinya. Meski masa depan terasa penuh ketidakpastian, ia merasa sedikit lebih tenang karena tahu bahwa Dylan benar-benar ada untuknya.
***
Mata Rose masih terkunci pada Dylan ketika suasana di antara mereka menjadi begitu hening, seolah dunia di luar tidak lagi ada. Tatapan Dylan melembut, dan tanpa ia sadari, tubuhnya bergerak lebih dekat ke arah Rose.
“Rose…” bisiknya pelan, hampir seperti sebuah doa.
Sebelum Rose sempat merespons, Dylan menundukkan kepala dan mengecup bibirnya dengan lembut. Sentuhannya begitu hangat dan penuh kehati-hatian, seolah ia takut melukai sesuatu yang rapuh.
Rose terkejut, tubuhnya membeku. Ini adalah ciuman pertamanya—sesuatu yang selama ini ia bayangkan hanya akan terjadi pada saat yang sangat istimewa. Tapi kini, ia bahkan tidak tahu harus merasa apa. Jantungnya berdetak begitu cepat, seolah hampir melompat keluar dari dadanya.
Dylan menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Ia menarik diri perlahan, matanya membulat dengan ekspresi setengah panik. “Rose… aku… maaf. Aku tidak bermaksud—”
Rose masih terdiam, wajahnya memerah hingga telinganya. Ia menunduk, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Suaranya lirih saat akhirnya ia berbicara. “Itu… itu ciuman pertama saya…”
Dylan tertegun. “Ciuman pertama?” gumamnya, lalu wajahnya menunjukkan penyesalan yang dalam. “Rose, aku benar-benar minta maaf. Aku terlalu terbawa suasana. Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman.”
Rose mengangkat pandangannya perlahan, menatap Dylan dengan wajah yang masih memerah. Ia menggigit bibir, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku… tidak tahu harus berkata apa. Tapi…” Ia menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. “Aku tidak merasa tidak nyaman… hanya saja… semuanya terasa begitu cepat.”
Dylan menatapnya dengan serius, mencoba memahami perasaannya. “Aku tidak akan memaksa apa pun padamu, Rose. Jika kau merasa aku terlalu gegabah, aku akan mundur. Tapi aku ingin kau tahu satu hal—aku benar-benar peduli padamu. Dan apa yang barusan terjadi… itu tulus dari hatiku.”
Rose kembali terdiam. Kata-kata Dylan, seperti sebelumnya, begitu jujur dan penuh arti. Meski ia masih merasa canggung, ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak bisa memungkiri perasaan hangat yang mulai tumbuh.
“Aku…” Rose akhirnya berkata dengan suara pelan, “Aku hanya butuh waktu, Pak Dylan. Semua ini masih baru bagiku.”
Dylan mengangguk, ekspresinya lembut. “Tentu. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kau butuhkan. Aku hanya ingin kau tahu, aku di sini, Rose. Aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
Rose mengangguk pelan, meski wajahnya masih merah padam. Dalam hati, ia tahu bahwa kejadian malam ini akan selalu ia ingat—bukan hanya karena kejutan yang datang tiba-tiba, tetapi juga karena ia mulai menyadari bahwa Dylan mungkin adalah orang yang selama ini ia cari tanpa ia sadari.