"Aliza suka kak diva!!"
"gue gak suka Aliza!!"
"kak diva jahat!!"
"bodo amat"
apakah seorang Aliza akan melelehkan hati seorang ketua OSIS yang terkenal dingin dan cuek itu?atau Aliza akan menyerah dengan cintanya itu?
"Aliza,kenapa ngejauh?"
"kak diva udah pacaran sama Dania"
"itu bohong sayang"
"pret"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akuadalahorang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
takut ditolak,chapter 3
Aliza masih duduk di kelas, sementara teman-temannya sudah pulang. Ada yang dijemput, ada juga yang memilih pulang sendiri. Namun entah kenapa, Aliza merasa malas untuk pulang. Dia hanya duduk sendirian sambil bermain ponsel.
"Kenapa belum pulang?"
Suara itu membuat Aliza menoleh. Ternyata yang berbicara adalah Nathan, abangnya, yang datang bersama teman-temannya, termasuk Diva—ketua OSIS yang sempat dia kagumi tadi pagi.
"Kenapa Abang ke sini?" tanya Aliza, buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Nyembunyiin apa, Dek Aliza?" goda Gavin, ikut memperhatikan gerak-geriknya.
Aliza menatap Gavin sinis. "Gak nyembunyiin apa-apa, cuman masukin aja," jawabnya setengah ragu sambil melirik Nathan.
"Masih kangen sama Ikbal, ya?" sindir Gavin sambil tertawa kecil.
Aliza hanya diam, sementara Bagas dan Gavin langsung menggoda serempak, "Ciee, gamon!"
"Apa sih?!" balas Aliza kesal. Dia berusaha menyangkal. "Aliza cuman... males buat pulang." Namun, nadanya terdengar seperti berbohong. Nathan hanya mengangguk, tidak banyak komentar.
"Ya udah, ayo pulang," ajak Nathan.
Aliza mengangguk setuju.
"Jadi futsal?" tanya Diva sambil menggendong tasnya.
"Jadi, nanti gue nyusul," jawab Nathan. Diva mengangguk kecil.
"Emang lo gak ada urusan lagi di sini?" tanya Bagas kepada Diva.
Diva menggeleng. "Udah selesai."
Semua mengangguk tanda paham, kecuali Aliza yang terus menatap Diva.
"Tadi gak papa?" tanya Nathan sambil merangkul bahu Aliza saat mereka berjalan keluar kelas.
"Enggak, cuman kesel aja. Tadinya Aliza ke sana mau minta duit buat makan malam di kafe bareng teman-teman," jelas Aliza.
Nathan mengangguk. "Terus?"
"Gak jadi, soalnya Aliza dituduh mau caper ke Kak Diva," jawabnya dengan nada kesal.
Nathan tertawa kecil lalu mencubit pipi Aliza pelan. "Ya udah, jangan diambil hati. Lagian gak penting juga."
Aliza mengangguk pelan.
"Dia emang udah lama suka sama Diva, tapi Divanya gak suka sama Dania," kata Nathan santai.
Mendengar itu, Aliza refleks menoleh ke arah Diva yang tampak sedang berjalan di depan mereka. Saat mata mereka bertemu, Aliza buru-buru mengalihkan pandangan ke depan lagi.
Banyak juga yang suka... jadi insecure, pikir Aliza, merasa kecil hati. Dia mendesah pelan, ragu-ragu untuk bisa mendekati Diva, sang ketua OSIS yang karismatik dan dikenal paham agama.
---
"Woyyy!!" seru Cesya tiba-tiba muncul bersama Jack, pacarnya. Gavin, yang terkenal suka julid, langsung menatap sinis melihat kemesraan mereka.
"Hilih, tau tempat lo kalau pacaran!" sindir Bagas sambil merangkul Gavin. Gavin mengangguk setuju dengan ucapan Bagas.
"Iri bilang, bos!" Cesya meledek Gavin,membuat Cesya ingin sekali menggampar mulutnya, tapi Jack buru-buru menahan tangannya.
"Jadi nggak, Za?" tanya Cesya sambil melirik Aliza yang sedang masuk ke mobilnya. Aliza menengok keluar jendela mobil dan menjawab santai, "Jadi. Tapi awas lo kalau lelet, gue denda lo!"
Cesya mengangguk dan mengacungkan jempol.
"Jadi apaan tuh?" tanya Gavin penasaran sambil menatap Aliza.
"Biasa, nongki," jawab Aliza singkat sembari menyalakan mesin mobilnya.
"Gue duluan!" teriak Diva yang sudah melaju dengan motornya, mengenakan helm full-face.
"Gue duluan, Bang!" tambah Nathan sambil menyalakan motornya.
"Jemput gue, Za!!" teriak Cesya dengan nada kesal.
Brmmmmmm!
"Babi!" maki Cesya melihat Aliza malah mengebut tanpa menjawab permintaannya.
"Diva! Besok gue bakal kasih sarapan buat lo! Tunggu di kelas atau aula! Byeee!" seru Aliza sambil menyetir, setengah badan terlihat keluar dari jendela mobilnya.
Brmmmmmm!
Diva, yang dari tadi melaju pelan sambil bengong, hanya bisa melihat mobil Aliza melaju cepat sambil mendengar teriakannya. Ia menghela napas pelan.
"Nggak jelas banget, adiknya si Nathan," gumam Diva sambil menggeleng pelan, malas menanggapi.
Saat mendengar azan berkumandang, Diva langsung mengarahkan motornya ke masjid terdekat. Ia memutuskan mampir untuk menunaikan salat sebelum melanjutkan kegiatan futsalnya.
---
Aliza dan Nathan baru saja tiba di rumah. Begitu masuk, Aliza langsung berlari ke arah Nathan dan memeluk lengannya dengan manja. Nathan yang melihat tingkahnya merasa ada sesuatu yang aneh. Ia yakin Aliza pasti punya maksud tertentu.
Aliza tersenyum penuh semangat, tapi Nathan hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba menghindari tatapan itu.
"Mau apa?" tanya Nathan tanpa basa-basi.
"Abang mau futsal? Aliza ikut yaaa," jawab Aliza sambil tersenyum manis.
Nathan mengernyitkan dahinya, bingung dengan permintaan itu. Tidak biasanya Aliza ingin ikut.
"Tumben banget. Bukannya biasanya nongkrong?" Nathan duduk di sofa, masih curiga.
"Kan nongkrong bisa nanti, jam delapan. Ini baru jam lima, masa futsal malam-malam?" sahut Aliza sambil mengambilkan minuman dingin untuk dirinya dan Nathan.
Nathan mendesah pelan. "Futsalnya juga mulai jam tujuh, selesai jam sembilan. Habis itu baru nongkrong di kantin BI Asri sampe jam sepuluh, terus pulang," jelasnya santai.
Mendengar itu, Aliza langsung memasang wajah kecewa. "Yah, masa futsalnya jam tujuh, Bang?" keluhnya sambil melempar tasnya sembarangan ke lantai.
Nathan mengangkat bahu. "Diva masih ngaji dulu, jadi kurang orang kalau dia gak datang," jawabnya.
Aliza terdiam sejenak, lalu tatapannya berubah cerah. "Ngaji? Astaga, suami idaman banget! Yaudah, Aliza ikut, tapi cuma sampai jam delapan ya! Deal? Thanks, Bang!" Aliza langsung berlalu pergi dengan riang, meninggalkan Nathan yang masih terpaku melihat kelakuannya.
Nathan menggelengkan kepala sambil menghela napas. "Kayaknya anak ini lahir di ujung hidung deh, tingkahnya aneh banget, ada aja gebrakan nya" gumamnya. Ia pun naik ke atas untuk membersihkan diri sebelum bersiap-siap futsal.
---
"GOAL!!!"
Bagas baru saja mencetak gol ke gawang tim lawannya, membuat Gavin bersorak kegirangan. Bagas hanya mendengus kesal melihat kegembiraan Gavin yang berlebihan. Di sisi lain, Nathan dan Aliza baru tiba di lapangan futsal. Namun, Diva belum juga terlihat.
Aliza duduk di bangku pemain cadangan sambil memegang jaket Nathan. Tingkahnya sudah seperti pacar Nathan saja, meski mereka sebenarnya hanya saudara. Tak lama, Diva akhirnya datang dan duduk di dekat Aliza.
Saat melihat wajah tampan Diva dari dekat, Aliza tiba-tiba merasa grogi. Ia pun mencoba membuka percakapan.
"Kak Diva tadi ngaji dulu, ya?" tanya Aliza. Diva hanya mengangguk tanpa sedikit pun menoleh ke arah Aliza.
"Kak Diva suka banget main bola, ya?" tanya Aliza lagi, masih penasaran. Diva kembali mengangguk singkat.
"Oh, kalau nanti Persib main, Kak Diva nobar di mana?" Aliza terus mencoba memancing respons lebih panjang dari Diva.
"Di rumah," jawab Diva datar.
"Kenapa gak di rumah Kak Nathan aja? Seru, lho! Biasanya ada Kak Gavin sama Kak Bagas juga," usul Aliza dengan semangat.
"Kalau ada waktu," sahut Diva sambil berdiri dan mulai melakukan pemanasan.
Aliza mengernyitkan dahi. Emang sesibuk itu, ya? pikirnya dalam hati.
"Kalau ada waktu? Kan tayangnya pas weekend," tanya Aliza lagi, berusaha mencairkan suasana.
"Iya, tapi kadang mager. Malas keluar rumah," jawab Diva santai sambil tetap fokus pada pemanasannya.
Merasa penasaran, Aliza melontarkan pertanyaan lain. "Berarti Kak Diva gak punya pacar, ya?"
Diva berhenti sejenak, mengerutkan dahi sambil melirik ke arah Aliza. "Gak penting," jawabnya tegas.
Aliza terdiam, sedikit kaget dengan jawaban itu. "Kenapa gak penting? Kan kalau ada pacar, jadi ada penyemangat," serunya, mencoba membela pendapatnya.
Diva menghela napas. "Masih bocil, gak usah mikirin pacar-pacaran. Fokus aja dulu raih cita-cita."
Setelah mengatakan itu, Diva beranjak pergi menuju lapangan. Tapi Aliza belum menyerah.
"Kalau ada yang ngejar Kakak, gimana?!" seru Aliza sedikit berteriak saat Diva hampir masuk ke lapangan.
Diva menoleh sebentar. "Ya gak kenapa-kenapa," jawabnya santai.
"Kalau suka, Kakak bakal terima gak?" Aliza bertanya lagi sambil mendekati Diva.
Diva menatapnya sebentar sebelum menjawab. "Kalau suka, terima. Kalau gak suka, tolak."
Jawaban sederhana itu sukses membuat Aliza tertegun. Sekarang, ia bingung sendiri. Haruskah ia mencoba membuat Diva jatuh cinta dulu? Tapi di sisi lain, ia takut Diva justru akan menolaknya.
---