Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elgar Alexander Bramantyo
Aluna sudah berada di kamar mandi cukup lama. Sebenarnya ia sudah selesai membersihkan diri dari beberapa menit yang lalu, tetapi ia masih ragu untuk keluar. Akan tetapi setelah memikirkannya, tidak mungkin dirinya tinggal selamanya di tempat itu. Aluna akhirnya keluar dari kamar mandi, hanya dengan memakai Bathrobe berwana putih dan handuk kecil warna senada menggulung rambutnya yang basah.
Aluna mengedarkan pandangannya ke ruangan itu. Ia baru sadar ada di mana dirinya sebenarnya. Aluna kembali mengedarkan pandangannya dan menemukan keberadaan Elgar.
Kecanggungan Aluna rasakan saat melihat Elgar duduk bertelanjang dada. Laki-laki itu duduk bersandar pada sandaran sofa, satu tangannya memegang gelas berisi minuman, yang jelas bukan minuman biasa, satu tangannya lagi direntangkan ke atas sandaran sofa.
Sebenarnya keduanya sempat bertemu pandang, tetapi Elgar lebih dulu memutus pertemuan pandangan itu. Aluna sadar Elgar masih marah padanya, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.
"Elgar —"
"Duduk!" tukas Elgar.
Elgar menunjuk sampingnya dengan matanya lantas kembali menenggak minuman yang ada di tangannya.
Aluna cukup kaget dengan nada bicara Elgar. Suara berat nan tegas Elgar membuat Aluna takut. Benar-benar sikap Elgar berubah dalam sekejap. Tidak ingin membuat Elgar bertambah marah Aluna tetap mengangguk, meskipun Elgar tidak melihatnya secara langsung. Laki-laki itu hanya fokus pada minuman di tangannya.
Aluna melangkah ragu-ragu ke deket Elgar, mengarahkan pandangannya ke sana- ke mari. Saking tidak fokusnya berjalan kaki Aluna menabrak pinggiran sofa.
DUK
Aluna meringis lantas mengusap-usap lututnya.
Elgar bergeming? Tentu tidak.
"Jangan lagi kamu mencoba untuk minum minuman beralkohol, Aluna!" tekan Elgar. "Aku tahu kamu minum sesuatu waktu di hotel." Elgar melihat ke arah Aluna sekilas lantas kembali menuangkan minuman itu ke dalam gelas sampai setengah gelas lantas menenggak minuman beralkohol itu sampai habis.
Aluna mengangguk patuh lantas duduk di samping Elgar. Satu tangannya memegangi bathrobe bagian dada yang terbuka. Melihat Elgar bertelanjang dada membuat Aluna merasa canggung. Apalagi saat mengingat ajakan having sex itu. Aluna takut Elgar berpikir yang macam-macam mengenai dirinya.
"Elgar —"
"Tunggu sebentar lagi. Akan ada orang yang membawa pakaian untukmu," tukas Elgar.
"Terima kasih, Elgar," cicit Aluna.
"Rania juga sebentar lagi datang," ucap Elgar.
"Rania …?" Aluna menggeleng. "Kamu memberi tahu pada Rania?"
"Memang apa lagi yang bisa aku lakukan?" ujar Elgar nada bicara sangat tegas.
Perdebatan Elgar dan Aluna terhenti saat bel berbunyi. Elgar menaruh gelas ke atas meja, berdiri, beranjak dari tempat duduknya. "Tetap di sini!" perintah Elgar.
Elgar melangkah dengan satu tangan ia masukan ke dalam saku celananya, meninggalkan Aluna di kamar sendiri.
Aluna sendiri masih memandangi kepergian Elgar, ia baru sadar betapa memikatnya tubuh laki-laki itu. Warna kulitnya yang putih, tubuhnya yang tinggi dan tegap. Aluna juga masih ingat betul wajah tampan Elgar. Auranya benar-benar begitu memikat.
BRAK!
Lamunan Aluna buyar ketikan Elgar sudah menghilang di balik pintu juga menghilang dari pandangannya.
"Aluna … apa yang sedang kamu pikirkan," gerutu Aluna pada dirinya sendiri.
Aluna berdiri, berpindah ke tempat tidur. Untuk sesaat Aluna memerhatikan sprei berwarna abu-abu yang nampak berantakan. Ada senyuman yang membingkai di wajah Aluna, jika saja ia bersama pria lain mungkin kejadiannya akan berbeda.
Aluna merapikan seprei itu sebelum duduk di atasnya. Bersamaan dengan itu pintu kamar dibuka dari luar, Aluna pikir Elgar kembali, tetapi bukan.
"Aluna."
Aluna melihat Rania berdiri di depan pintu.
"Ya Tuhan, Aluna!" Rania melangkah cepat. Ia membuang tasnya ke tempat tidur kemudian memeluk Aluna. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Rania kemudian menarik diri dari pelukan itu.
"Aku tidak apa-apa," jawab Aluna.
"Ayo duduk." Rania menuntun Aluna duduk di tepi tempat tidur. "Elgar mengubungiku dan mengatakan semuanya. Aku terkejut Aluna. Bagaimana suamimu bisa berbuat seperti itu."
"Karena wanita itu bisa membantu bisnisnya berkembang pesat," jelas Aluna dengan wajah yang masih menunduk.
"Kamu datang sendiri?" tanya Aluna.
"Aku datang bersama Farel. Dia di bawah bersama Elgar," jawab Rania.
"Maafkan aku sudah merepotkan kalian semua," cicit Aluna.
"Apa yang kamu katakan, Aluna? Aku tidak suka kamu bicara seperti itu," tegur Rania.
"Elgar marah padaku, Rania," adu Aluna.
"Aku juga sebenarnya marah padamu. Kamu menyembunyikan hal sebesar ini dariku," ucap Rania.
"Rania …." Aluna menjadi tidak enak pada Rania.
"Aku bercanda, Aluna," ucap Rania diikuti tawanya. "Sekarang katakan kenapa Elgar marah padamu?" tanya Rania.
"Aku …" Aluna menggantung ucapannya ragu untuk mengungkapkan kebodohannya pada Rania.
"Aluna …," desak Rania. "Ada apa? Kenapa bisa kamu merasa Elgar marah padamu?"
"Rania … aku mengajaknya having s*x," aku Aluna.
"Apa?" Rania terbelalak karena terkejut, reflek Rania pun berdiri. "Kamu ngajak Elgar … having …s*x?" Rania menggeleng tidak percaya. "Astaga, Aluna! Apa kamu tidak waras?" maki Rania.
"Anggap saja seperti itu," ucap Aluna suaranya mulai serak menahan tangis. "Aku kacau saat itu. Aku tidak sadar mengucapakan kalimat itu," sambung Aluna. Kini perempuan itu sudah menangis meratapi kebodohannya.
"Terus, Elgar mau?" tanya Rania masih tidak bisa menghilangkan rasa terkejutnya. "Kamu sama Elgar melakukannya?" tanya Rania beruntun.
Aluna menggeleng untuk menjawab pertanyaan Rania.
"Syukurlah!" Rania mengusap wajahnya dan menarik napas lega. "Aku tidak akan memaafkanmu maupun Elgar jika kalian benar-benar melakukannya, Aluna," ancam Rania.
"Ya, tapi sekarang dia marah padaku karena ini," ucap Aluna.
"Jelas, Aluna. Dia akan sangat marah dalam hal ini." Rania kembali duduk sambil mengenggam tangan Aluna. "Dia paling tidak suka tubuhnya disentuh oleh wanita sembarangan, Aluna. Dia sangat menjaga itu dan jika ada yang berani menyentuhnya maka akan berakibat fatal. Dan satu hal lagi, Aluna … Elgar membenci wanita murahan."
TOK TOK TOK
Obrolan mereka terhenti ketika ada yang mengetuk pintu kamar itu. Rania menoleh ke arah pintu begitu juga dengan Aluna. Dengan segera Aluna menghapus air matanya.
"Aku buka pintunya," ujar Rania.
Rania berdiri, berjalan ke pintu lantas membukanya. Di luar ada dua orang perempuan berpakaian layaknya pelayan, berdiri dengan membawa paper bag di tangannya dan pelayanan satu lagi membawa nampan dengan makan dan minuman di atasnya.
"Maaf, nona Rania. Tuan muda meminta kami datang untuk membawa makanan dan juga minuman untuk nona Aluna," ucap salah satu pelayanan itu.
"Baiklah, ayo masuk." Rania membuka pintu lebar-lebar dan menyingkir untuk memberikan jalan pada dua orang pelayan itu.
Dua orang pelayan itu masuk lantas meletakkan makanan juga paper bag di atas meja.
"Nona Aluna, tuan muda meminta kami mengantar makanan juga pakaian untuk Anda," ucap salah satu pelayan.
"Tuan muda?" Kening Aluna mengerut karena bingung.
"Elgar mengirim semua itu untukmu," ucap Rania. "Mereka pelayan di rumah Elgar."
"Apa maksudmu, Rania?" tanya Aluna.
Rania tidak langsung menjawab pertanyaan dari Aluna. Pandangannya mengarah pada dua pelayan itu.
"Kalian pergilah. Selanjutnya saya yang urus," perintah Rania.
"Baik, Nona." Kedua pelayan itu pun pergi.
"Aku meminta penjelasan darimu, Rania. Apa maksud semua ini? Siapa Elgar sebenarnya?" tanya Aluna lantas berdiri di tepi tempat tidur.
"Ganti bajumu lebih dulu, baru aku jelaskan," suruh Rania.
"Jelasin dulu," tolak Aluna.
Rania mengembuskan napas kasar, "Baiklah. Ayo duduk!"
Rania membawa Aluna duduk di sofa. Untuk apa menyembunyikan kebenaran akan Elgar pada Aluna jika Elgar sendiri sudah menunjukkan jati dirinya pada Aluna.
"Rania ... aku menunggumu," desak Aluna.
"Elgar Alexander Bramantyo," ucap Rania.
"Apa?" Aluna menggeleng masih belum mengerti perkataan Rania.
"Itu nama lengkap Elgar, Aluna," jelas Rania.
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang