Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keyakinan Rania
"Elgar Alexander Bramantyo, itu nama lengkap Elgar, Aluna," ungkap Rania.
"Bramantyo...?" Aluna menggeleng tidak percaya. "Maksud kamu dia memiliki hubungan dengan keluarga Bramantyo ?"
"Ya." Rania mengangguk. "Elgar itu … sebenarnya … anak sulung tante Arleta dan om Adrian," ungkap Rania lagi.
"Hah!" Aluna memejamkan matanya erat-erat lantas membukanya kembali.
Suasana tiba-tiba menjadi hening, saking terkejutnya Aluna tidak tahu harus merespon dengan apa saat ia tahu kebenaran akan Elgar. Lidahnya terasa kaku saat itu.
"Aluna, maaf. Aku tidak bermaksud membohongimu," jelas Rania.
"Rania … kenapa kamu sembunyikan ini dariku?" tanya Aluna.
"Elgar yang memintanya, dia juga mengancanku melalui Farel kalau aku tidak mau menurutinya," jawab Rania. "Elgar kabur dari rumah karena dia tidak mau dijodohkan."
"Ya, tante Arleta pernah bercerita padaku mengenai itu," ucap Aluna.
"Omanya sangat keras, begitu juga dengan Elgar. Mereka bertengkar setiap hari. Jadi … Elgar memilih untuk pergi sampai omanya kembali ke Amerika atau sampai rencana perjodohan itu batal," jelas Rania. "Waktu itu Elgar menemui Farel untuk mencarikan dia tempat yang tidak terjangkau oleh keluarganya. Farel pun akhirnya terpikir untuk menjadikan dia sopirmu. Saat itu aku tidak setuju, tapi Farel membujukku," ucap Rania.
"Pantas saja wajah Elgar sangat mirip dengan Adrian. Tapi … waktu itu aku tidak yakin," cicit Aluna.
Aluna bersandar sambil memeluk bantal, ia kembali mengingat awal pertemuannya dengan Elgar, jam tangan dengan harga ribuan dolar yang melingkar di pergelangan tangan laki- laki itu, reaksi Elgar yang tidak biasa saat dirinya menyebut nama Arleta Bramantyo, juga saat dirinya menyinggung rencana perjodohan itu. Belum lagi dengan mudahnya Elgar mendapatkan infomasi mengenai Camelia dan juga dengan mudah mendapatkan kunci duplikat kamar hotel pengunjung lain. Ck, kenapa dirinya tidak bisa berpikir jika Elgar itu bukan orang sembarangan.
"Astaga … kenapa aku baru sadar mengenai hal ini, kamu juga terkejut saat tante Arleta mengatakan akan menjodohkan aku dengan anaknya, bukan?" ucap Aluna.
Rania mengangguk cepat dan tersenyum seraya menunjukkan deretan giginya. "Sebenarnya aku ingin mengatakan hal yang sebenarnya waktu itu padamu, tapi aku tidak berani. Sekarang Elgar sudah menunjukkan dirinya sendiri padamu, jadi akupun bisa mengatakan yang sejujurnya padamu."
"Dan satu hal lagi, Aluna. Belum banyak orang yang tahu identitas Elgar. Bramantyo sengaja merahasiakannya sampai Elgar benar-benar siap jadi pewaris. Dan rencananya saat ulang tahun adiknya nanti, Bramantyo akan mengumumkan pewaris mereka dan … perjodohan itu. Tapi … Elgar keburu kabur," ungkap Rania lagi, kali ini wajahnya sangat serius.
"Maka dari itu Hariz juga tidak mengenali Elgar," ucap Aluna di sambut anggukkan oleh Rania.
"Lupakan tentang ini, Rania." Aluna mengusap wajahnya sembari mengembuskan napas berat. "Sekarang jujur aku tidak tahu apakah aku menghadapi dirinya atau tidak. Apalagi dengan tindakan yang sebelumnya aku lakukan. Semua ini membuatku merasa canggung."
"Tenang saja, dia tidak akan selamanya marah padamu. Dia pasti akan kembali baik setelah amarahnya mereda. Lebih baik sekarang kamu ganti bajumu dan makan, setelah itu beristirahatlah," ucap Rania mencoba menenangkan Aluna.
Aluna mengangguk, "baiklah."
Aluna melakukan apa yang Rania perintahkan. Ia masuk ke kamar mandi memakai baju yang pelayan itu bawa.
Perempuan itu mematut dirinya di depan cermin wastafel, melihat pantulan dirinya sendiri saat itu. Dress berwarna peach, panjangnya sampai batas lutut. Sangat pas di tubuhnya. Dari mana Elgar tahu ukuran pakaiannya bahkan ukuran pakaian dalamnya pun Elgar tahu.
Selesai mengganti pakaian Aluna kembali ke kamar. Masih ada Rania di sana. Ia kembali duduk di sofa bersama Rania lantas memakan makanan yang ada. Aluna memasukkan suap demi suap makanan ke mulutnya, menelannya dengan susah payah. Bukan karena rasa makanannya tidak enak, melainkan pikiran Aluna yang masih kacau mengingat perselingkuhan Hariz dengan Camelia. Bersamaan dengan itu Aluna juga memikirkan tindakan selanjutnya yang akan ia ambil. Karena tidak mungkin dirinya hanya duduk manis sambil menunggu putusan perceraian itu.
"Aluna … makan dengan benar," tegur Rania.
Aluna yang sedang melamun tersadar lantas menaruh sendok di tangannya ke atas piring.
"Aku sudah kenyang, Rania," ucap Aluna.
"Kamu hanya makan sedikit," tegur Rania.
"Dalam situasi seperti ini mana bisa aku makan." Aluna menaruh sendok ke atas piring lantas menyadarkan tubuhnya ke punggung sofa, meraih bantal dan menaruhnya di atas pangkuannya, pandangannya menatap ke langit-langit kamar. Rania pun melakukan hal yang sama.
"Kenapa kamu harus menyiksa dirimu demi laki-laki seperti Hariz," ujar Rania.
"Aku ingin segera berpisah dari laki-laki itu. Mungkin setelah itu hidupku kembali normal," jelas Aluna.
"Tenang saja, aku yakin Elgar akan dengan senang hati membantumu," sambung Rania menoleh ke arah Aluna.
"Kenapa kamu begitu yakin?" tanya Aluna menoleh ke arah Rania yang juga sedang melihat ke arah dirinya.
"Karena aku pikir dia menyukaimu." Rania tersenyum lantas menaik-turunkan kedua alisnya untuk menggoda Aluna.
Aluna tertawa kecil untuk merespon perkataan Rania lantas kembali melihat ke atas. "Jangan bercanda. Aku perempuan yang sudah menikah dan sebentar lagi aku akan menjadi janda," celetuk Aluna. "Dia tidak mungkin memiliki perasaan padaku."
"Kita lihat saja nanti Aluna. Feelingku mengenai ini tidak akan salah," ucap Rania penuh percaya diri.
Aluna menari napas panjang kemudian menegakkan kembali tubuhnya. "Rasanya aku mengantuk. Bisakah kamu antar aku pulang ke apartku?" Aluna.
"Beristirahatlah di sini, Aluna," suruh Rania.
"Tapi —"
"Aku takut Hariz akan mencarimu, Aluna. Tetaplah di sini untuk beberapa hari. Tempat ini sangat aman," pinta Rania.
Aluna mengangguk seperti anak yang penurut.
Keduanya berjalan ke tempat tidur. Aluna langsung merebahkan tubuhnya, menarik selimut sampai batas dada.
Rania duduk di tempat tidur, membantu merapikan selimut yang Aluna kenakan. "Tidurlah, aku akan keluar melihat Farel."
-
-
"Aluna, sudah tidur," ucap Rania saat berjalan menuruni anak tangga.
"Dia baik-baik saja?" tanya Farel.
"Ya, Sayang." Rania memilih duduk di pinggir sofa yang Farel dudukki. "Tapi tadi dia sempat syok saat tahu siapa, Elgar."
"Kamu memberitahunya?" Elgar melihat sekilas ke arah Rania.
"Kamu menunjukkan diri. Jadi … tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap merahasiakannya dari Aluna."
"Dia membuat aku gila hari ini." Elgar mengambil minuman kaleng di depannya lantas meminumnya.
"Aku salut kamu masih bisa menjaga kewarasanmu," puji Rania.
"Ada apa memangnya?" tanya Farel seraya meminum minuman yang sama dengan Elgar.
"Kamu tahu, Sayang?" Rania merangkul pundak Farel. "Aluna mengajak Elgar having s*x."
"Aaa … Itu aku no coment, Honey." Farel melipat bibir untuk menahan tawanya.
"Dia gak aku apa-apain," ketus Elgar. "Gigit bibirnya doang," aku Elgar yang langsung mendapatkan lemparan bantal oleh Rania tepat mengenai wajahnya.
UHUK UHUK
Farel tersedak mendengar pengakuan Elgar. Sebab ini kali pertamanya Farel mendengar Elgar melakukan kontak fisik dengan seorang perempuan.
"Kamu menyukai Aluna, Elgar?" tanya Rania.
"Aku tidak tahu?" jawab Elgar.
"Tidak tahu atau belum tahu?" kelakar Farel membuat Elgar terdiam seketika.