bercerita tentang Boni, seorang pemuda lugu yang kembali ke kampung halamannya setelah merantau selama 5 tahun. Kedatangannya disambut hangat oleh keluarga dan sahabatnya, termasuk Yuni, gadis cantik yang disukainya sejak kecil.
Suasana damai Desa Duren terusik dengan kedatangan Kepala Desa, pejabat baru yang sombong dan serakah. Kepala desa bermaksud menguasai seluruh perkebunan durian dan mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit.
Boni dan Yuni geram dengan tindakan kepala desa tersebut dan membentuk tim "Pengawal Duren" untuk melawannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyusun Strategi Awal
Pagi-pagi sekali, Boni terbangun dengan semangat baru. Suara ayam berkokok dari kandang belakang rumahnya seolah menjadi tanda bahwa hari ini adalah awal dari petualangan kecil mereka sebagai Tim Pengawal Duren. Ia menyusuri koridor rumahnya, menghirup aroma wangi nasi goreng yang dimasak ibunya. Boni duduk di meja makan sambil tersenyum.
Ibunya menyodorkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul hangat. “Sarapan yang banyak ya, Nak. Hari ini pasti sibuk.”
Boni tertawa kecil. “Iya, Bu. Hari ini kami mau mulai patroli pertama di kebun durian.”
Setelah sarapan, Boni berpamitan kepada ibunya dan bergegas menuju kebun durian, tempat mereka berkumpul setiap pagi. Sesampainya di sana, ia melihat Yuni sedang duduk di atas akar pohon yang besar, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu. Wajahnya tampak ceria, seperti biasa, dengan rambutnya yang diikat ke belakang.
“Pagi, Boni!” sapa Yuni sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Yuni! Kamu duluan, nih?” Boni balas menyapa sambil tersenyum.
“Iya, aku terlalu bersemangat buat jaga kebun durian kita!” jawab Yuni sambil tertawa kecil.
Tak lama, Budi muncul dengan seikat bambu kecil di tangannya. “Nih, aku bawa bambu buat jebakan sederhana. Rencananya, kita pasang di sepanjang jalan setapak di kebun.”
Yuni memandang bambu itu dengan heran. “Kamu yakin itu bakal berhasil, Bud? Jangan-jangan nanti malah kamu sendiri yang kena jebakan itu!”
Budi terkekeh, “Tenang aja, Yun. Aku udah atur semuanya. Ini cuma buat latihan, kok!”
Sambil menunggu Pak Jono dan Mamat yang sedikit terlambat, mereka bertiga mulai mengobrol dengan santai. Boni menceritakan pengalamannya merantau di kota, bagaimana ia kangen suasana desa yang tenang, dan bagaimana akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Yuni dan Budi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyela dengan candaan.
Tak lama, Pak Jono dan Mamat datang dengan membawa beberapa peralatan sederhana. Pak Jono membawa alat ukir kecil, sementara Mamat membawa tali tambang yang sudah diikatkan beberapa daun kering.
“Maaf telat, tadi ada ayam yang nyelonong ke kebun tetangga,” kata Pak Jono sambil menghela napas.
Mamat menimpali sambil tertawa, “Ayam Pak Jono tuh suka cari perhatian, Pak! Mau ikutan tim Pengawal Duren mungkin.”
Mereka semua tertawa mendengar candaan Mamat. Setelah suasana kembali tenang, mereka pun mulai membahas rencana patroli pertama mereka di kebun durian.
“Kita mulai dari bagian barat dulu,” ujar Boni sambil menunjuk peta kebun yang sederhana. “Di sana paling banyak pohon durian yang sedang berbuah. Kita cek jalur-jalur masuknya dan lihat apakah ada tanda-tanda orang asing yang masuk.”
Budi dengan penuh semangat mengeluarkan seikat bambu yang dibawanya tadi. “Aku mau pasang jebakan di jalur masuk utama. Nanti kalau ada yang lewat, jebakan ini bakal berbunyi. Kita bisa langsung tahu kalau ada yang mencoba masuk.”
Pak Jono yang bijak mengangguk. “Ide yang bagus, Bud. Tapi hati-hati, jangan sampai ada warga yang kena jebakan kita. Kita nggak mau bikin ribut sama orang desa.”
Boni, Yuni, dan Budi pun berjalan ke arah barat kebun durian, dengan Pak Jono dan Mamat mengikuti di belakang. Sepanjang jalan, mereka bercanda dan sesekali berhenti untuk memperhatikan sekitar. Matahari semakin tinggi, sinarnya menyusup di antara dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan di tanah yang menambah suasana kebun durian yang damai.
Sesampainya di titik yang ditentukan, mereka mulai bekerja. Budi memasang jebakan sederhana dari bambu yang diberi tali, sementara Mamat memanjat pohon tinggi untuk mengawasi keadaan. Yuni dan Pak Jono berjaga-jaga di sekitar, memastikan tidak ada yang melihat aktivitas mereka.
Saat Budi sedang sibuk memasang jebakan, ia tak sengaja menarik tali terlalu keras hingga bambunya terlepas dan mengenai kakinya sendiri. “Aduh!” seru Budi sambil meloncat kesakitan.
Yuni tertawa kecil, “Kataku juga apa, Bud! Kamu sendiri yang kena jebakanmu!”
Budi tertawa malu. “Ah, sial! Tapi ini cuma kejadian sekali aja kok. Nanti kalau Kepala Desa atau orang-orangnya datang, pasti mereka yang kena.”
Setelah semua jebakan terpasang, mereka duduk beristirahat di bawah pohon durian. Pak Jono mengeluarkan termos berisi teh hangat, dan mereka minum bersama sambil menikmati suasana alam yang tenang.
“Kadang aku berpikir, kampung kita ini benar-benar tempat yang indah,” kata Yuni sambil menatap jauh ke arah pepohonan yang hijau. “Sayang sekali kalau nanti jadi kebun sawit.”
Pak Jono mengangguk pelan. “Itulah sebabnya kita harus melindungi desa ini. Kebun durian ini bukan cuma soal mata pencaharian, tapi juga soal warisan yang harus kita jaga.”
Boni terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Pak Jono. Ia semakin yakin bahwa apa yang mereka lakukan ini bukan sekadar perjuangan melawan Kepala Desa yang serakah, tapi juga perjuangan untuk menjaga warisan dan kenangan masa kecil mereka.
Setelah istirahat, mereka melanjutkan patroli ke bagian lain kebun. Sepanjang jalan, mereka berbagi cerita, dari cerita lucu masa kecil hingga rencana-rencana kecil yang ingin mereka lakukan di desa. Mamat bercerita tentang mimpinya membuka warung kelontong, sementara Yuni bercerita tentang keinginannya mengembangkan pariwisata kebun durian.
Setelah hampir seharian berkeliling kebun, mereka akhirnya kembali ke titik awal. Jebakan sudah terpasang, dan mereka semua merasa lega telah menjalankan langkah pertama dari misi mereka.
Sebelum berpisah, Boni mengajak teman-temannya untuk berkumpul kembali di rumahnya malam itu. Mereka semua setuju, terutama setelah Boni mengatakan ibunya akan membuatkan kue pisang favorit mereka. Masing-masing pulang ke rumah mereka dengan hati yang hangat, merasa bahwa ikatan persahabatan mereka semakin erat.
Malam harinya, seperti yang dijanjikan, mereka berkumpul di rumah Boni. Ibunya menyajikan kue pisang yang harum, dan mereka semua duduk melingkar di ruang tamu, menikmati makanan dan mengobrol dengan santai.
“Ini baru namanya kehidupan,” kata Mamat sambil menggigit kue pisangnya. “Kumpul bareng teman-teman, makan enak, dan nggak perlu mikirin masalah berat.”
Pak Jono tertawa. “Tapi, jangan lupa juga dengan misi kita. Kita masih harus melindungi kebun durian dari Kepala Desa.”
Yuni mengangguk. “Iya, Pak Jono benar. Tapi aku yakin, selama kita bersatu, kita pasti bisa menjaga desa ini.”
Boni merasakan kehangatan di hatinya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya bukan hanya soal materi atau pencapaian besar, tapi juga soal kebersamaan dan rasa saling peduli. Malam itu, mereka berbincang hingga larut, membicarakan rencana-rencana mereka, saling bercanda, dan mengenang masa-masa indah yang mereka lalui bersama.
Sebelum berpisah, mereka semua saling berjanji untuk tetap bersama dan melindungi desa mereka, apa pun yang terjadi. Dan dengan hati yang penuh semangat dan tekad, mereka pulang ke rumah masing-masing, siap menyambut tantangan berikutnya.
Hari itu diakhiri dengan perasaan damai dan keyakinan bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Tim Pengawal Duren resmi beraksi, dengan hati yang siap melindungi kampung halaman mereka dari ancaman siapa pun yang berusaha merusaknya.