Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
apakah itu sebuah pernyataan cinta?
Aku dan mas bara akhirnya pergi dari kediaman wijaya.
"Kenapa diam aja?" Ditengah perjalanan mas Bara menggenggam tanganku dan memecah keheningan.
"Enggak kenapa-napa." Aku tersenyum melihatnya. Ia mencium tanganku.
"Apa kamu sedang memikirkan sesuatu?"
"Ya."
"Apa?"
"Sepertinya tempat mbak ana didalam hidupmu benar-benar spesial. Dan kurasa takkan ada seorangpun yang bisa menggesernya."
"Kenapa bicara begitu?" Ia menatapnya intens.
"Memang iya kan?" Kuberanikan membalas tatapannya.
"Dia memang spesial. Dan belum pernah ada wanita yang bisa mengusik posisinya." Aku mendadak sesak mendengarnya. Ah tuh kan dia sudah berhasil masuk kedalam hatiku. Aku mencoba membuang muka ke arah jendela. Mataku kenapa memanas seperti ini.
"Namun itu sebelum aku ketemu kamu." Aku menatapnya penuh tanya.
"Maksud mas?"
"Saat bersamamu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku sendiri tak mengerti karena aku belum pernah merasakan ini sebelumnya, hampir mirip dengan perasaanku pada Ana. Bedanya, padamu aku merasa tak rela jika ada yang menyentuhmu selain diriku, termasuk papa dan Erik." Aku menatapnya tak percaya.
"Papa dan bang erik? Tapi mereka keluargaku."
"Ya aku tahu. Aku sendiri tak mengerti kenapa perasaan itu ada pada diriku. Aku merasa kepanasan saat kamu bergelayut manja pada mereka. Kenapa bukan padaku saja sih?" Ia tersenyum menggodaku.
"Ish. Mas Bara." Aku menepuk lengannya pelan. Kurasa pipiku memerah dibuatnya.
"Tapi beneran loh. Ada perasaan didalam diriku yang menginginkanmu hanya untukku. Dan kamu tahu, reaksi tubuhku saat dekat denganmu itu sangat luar biasa. Adik kecilku ini seolah ingin selalu mengajakmu untuk membuat anak setiap waktu." Aku paham maksudnya. Karena ia menunjuk miliknya dibawah sana dengan mata.
"Ish. Dasar omes." Aku membuang muka menahan malu.
"Aku serius loh."
"Ya ya. Kurasa pada mbak ana pun mas Bara juga begitu. Jangan kira aku gak tahu ya kalau kalian sering melakukan ciuman dan mungkin saja kalian juga sering melakukan-."
Ciiit
Aku tak sempat menyelesaikan ucapanku karena mobil mas Bara tiba-tiba berhenti mendadak.
"Juga apa hmm?" Mas Bara menatapku tajam. Aku sedikit ngeri melihatnya, namun kucoba santai mengatasinya.
"Melakukan yang seperti kita lakukan semalam dan tadi, mungkin." Aku sedikit ragu mengatakannya, takut ia tersinggung dan marah.
"Bukan hal yang mustahil kan. Mengingat kalian yang sudah dewasa dan kalian juga dekat sudah sejak lama, kurasa semua itu bisa saja terja- mmmp." Ucapanku terhenti saat bibir mas Bara membungkam bibirku dengan ciumannya. Ah saking asyiknya berbicara, aku sampai tak sadar kalau mas Bara sudah melepas seatbeltnya.
"Jadi anggapanmu padaku sejauh itu?" Setelah cukup lama memagut bibirku ia akhirnya melepaskannya dan menatapku.
"Ya tidak ada yang tidak mungkin kan. Secara- mmmmp." Oh ya tuhan, ia kembali menciumku dengan buasnya. Cukup lama hingga aku hampir kehabisan nafas karena ia terlalu agresif melakukannya.
"Masih berpikir seperti itu?" Aku hanya diam dan menundukkan kepalaku. Aku takut jawabanku akan membuatnya kembali menciumku.
"Asal kamu tahu. Aku melakukan itu hanya denganmu saja. Ingat itu." Mas Bara menekan setiap ucapannya.
"Malam itu adalah yang pertama untukku. Kamu adalah wanita pertama dan akan menjadi satu-satunya teman Bercintaku Andara Mayra." Ucapannya membuatku menatap matanya, aku mencari kebohongan disana, namun aku tak menemukannya.
"Ya, seperti katamu tadi aku memang sering berciuman seperti yang pernah kamu lihat. Itu semata-mata demi kesenangan dalam berpacaran dan hanya sebatas itu. untuk melakukan lebih aku bersumpah aku tak pernah melakukannya. Dan tak ada dorongan dalam diriku untuk melakukannya seperti saat bersama dirimu." Ia menatapku dengan begitu dalam, matanya seolah sedang berusaha meyakinkanku bahwa apa yang ia ucapkan itu benar.
"Aku sendiri bingung dengan semua ini. Tapi itulah yang aku rasakan." Ia menarik dirinya kembali bersandar pada kursi kemudinya. Ia memakai seatbeltnya dan melajukan mobilnya kembali.
"Aku harap kamu percaya."
Aku sendiri hanya diam tak tahu harus berkata apa.
Kami kembali bekerja dengan profesional. Tapi fokusku hari ini benar-benar kacau karena perkataan mas Bara tadi.
"Besok kita akan ke bali. Kamu siap-siap yah."
"Ke bali?" Aku yang sedang mengeringkan rambut habis mandi menatapnya bingung.
"Iya. Aku ada proyek baru disana. Sekalian kita honeymoon kilat." Ia memelukku dari belakang.
"Tapi beberapa hari lagi aku wisuda mas." Aku membalik tubuhku menatapnya.
"Aku ingat. Tapi aku pastikan jika kita sudah kembali sebelum kamu wisuda. Bagaimana?" Ia merengkuh pinggangku merapat pada tubuhnya. Oh tuhan, dia sudah mengeras. Ini ancaman bagiku. Aku yakin setelah ini pasti dia minta jatah lagi.
"Okey. Diajak liburan siapa yang sanggup menolak iy kan?" Aku tersenyum dan mendorong dadanya pelan agar ia keluar.
"Eh kok aku diusir?" Mas Bara nampak tak terima saat ia ada di luar kamarku.
"Aku capek. Aku gak mau kalau harus diajak lembur lagi malam ini. Nanti aja yah kalau di bali."
Cup aku mengecup pipinya lembut kemudian berlari menutup pintu kamarku dengan cepat.
"Ya ampun sayang. Kamu tega sekali."
"Maaf mas. Bukankah aku harus siap-siap untuk besok."
Ting
Sebuah pesan masuk dari nomor mas Bara.
"Jangan lupa bawa baju berenda yang mama beli waktu itu yah."
Oh astaga. Dia masih mengingat baju itu. Tapi tak ada salahnya aku membawanya, toh aku masih menyimpannya juga kan.
Pagi-pagi sekali kami sudah lepas landas. Untung saja semalam aku menolak lembur, jika tidak kami pasti sudah ketinggalan pesawat karena terlambat bangun.
Hari pertama mas Bara langsung membawaku menuju lokasi proyeknya berada. Di lahan pinggir pantai dengan pemandangan yang cukup memanjakan mata. Proyek kali ini adalah proyek pembuatan Resort. Kali ini mas Bar hanya sedang meninjau lokasinya terlebih dahulu sebelum ia menyetujui kesepakatan.
"Bagaimana sayang?"
"Bagus mas. Sepertinya jika kita membuat resort disini akan banyak sekali peminatnya. Untuk perizinannya bagaimana?"
"Semuanya tidak masalah. Tinggal menunggu keputusanku saja. Iya atau tidak."
"Terus apa yang menjadi pertimbangan mas?"
"Aku takut om Hardi akan melakukan sesuatu lagi dan tentu kali ini aku tak akan tinggal diam. Saat proyek di bogor aku sempat akan memperkarakan kasusnya, tapi kakek tahu dan memintaku untuk kembali bersabar. Kamu ingatkan saat kita menginap di rumah kakek malam itu, aku disuruh menghadap kakek sebelum tidur. Saat itu kakek berbicara panjang lebar padaku. Poin pentingnya kakek tak ingin jika anak keturunannya sampai berselisih dan memperebutkan duniawi yang hanya akan memecah keutuhan keluarga.
Kakek hanya memiliki dua orang putra, papa dan om Hardi. Keduanya sama-sama kakek besarkan dengan kasih sayang dan pendidikan yang sama. Hanya saja prestasi yang papa dan om hardi dapatkan tak sama. Papa lebih unggul dan selalu membanggakan. Dan itu membuat om Hardi iri, bahkan berbuntut padaku yang sebenarnya tak bersalah apa-apa padanya."
"Hmm mas Bara optimis saja. Kita lihat bagaimana kedepannya, yang penting mas bara fokus dan teliti. Mas bara kan cerdas. Aku yakin mas Bara bisa mengatasi apapun dengan kecerdasan yang mas Bara miliki." Aku menggenggam tangannya. Meyakinkan dirinya agar ia percaya pada kemampuannya.
"Makasih ya." Ia menatapku dan memegang tanganku erat. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku lembut. Ah sempurna sekali pemandangan kali ini, berciuman dengan back ground Sunset sore yang indah.