Ceo duda dengan gadis sudah biasa, tapi Ceo janda dengan berondong baru luar biasa.
Zayn Albert, seorang pria tampan dengan segala kesederhanaannya. Ia harus membiayai sang nenek yang menjadi penderita kanker. Zayn membutuhkan banyak biaya, sehingga dia memutuskan untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi.
Tak di sangka, ia justru malah bertemu dengan Shea Lexix Wiratama. Seorang Ceo cantik yang merupakan janda anak dua. Zayn niatnya ingin melamar kerja, tetapi salah satu anak dari wanita itu justru menawarkan sang mommy padanya.
"Angkel, Angkel mau nda cama Mommy Kai? Mommy kai Janda." Ujar Kai dengan mata bulat menggemaskan.
"Om disini mau lamar kerja, bukan lamar jadi bapakmu Cil." Ringis Zayn.
Zayn akui, ibu dari anak kecil itu sangat cantik. Tapi, Zayn tahu diri. Dia datang hanya untuk melamar kerja. Namun, tak di sangka. Ceo cantik itu justru mengatakan sesuatu padanya.
"Kamu di terima."
"Terima kasih Bu! Terima ka ...,"
"Jadi suami saya."
"Hah?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Didikan Zayn
Zayn merasa bosan di rumah siang ini, apalagi Shea masih berada di kantornya. Sementara Kai, anak itu sedang tidur siang karena sudah masuk jam tidurnya. Mungkin, Zayn akan menerima tawaran Shea untuk kembali berkuliah saja. Sebab, dirinya merasa sangat bosan di rumah tak melakukan apapun. Jika ia berkuliah, dia juga bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik kan?
"Ngapain yah, bosen." Gumamnya.
Zayn pun beranjak keluar dari kamarnya, dia berjalan menuju dapur. Tiba-tiba, pria itu merasa haus. Setidaknya, di dapur ia bisa menemukan air dingin yang dapat melegakkan tenggorokannya. Namun, setibanya di sana. Zayn justru terkejut mendapati Azriel yang tengah berdiri di depan meja dapur seraya menundukkan kepalanya.
"Eh, Azriel? Enggak tidur siang?" Tanya Zayn basa basi.
Azriel hanya diam, anak itu mer3mas kuat kedua sisi celana nya. Wajahnya tampak terlihat takut. Melihat sikap Azriel saat ini, tentunya Zayn merasa heran. Padahal, dirinya hanya bertanya dengan suara yang lembut. Namun, mengapa Azriel terlihat takut sekali?
"Hei, ada apa hm?" Zayn mencoba menyentuh bahu Azriel, tetapi anak itu justru menjauh dengan perasaan yang takut.
Zayn menghela nafas pelan, dia mengingat perkataan Shea beberapa hari lalu. Jika memang Azriel takut padanya, Zayn tak akan memaksa anak itu. Ia memilih untuk mengambil gelas di lemari. Namun, tatapannya justru jatuh pada tempat sampah dimana terdapat pecahan piring.
Zayn berbalik, ia segera memegang bahu Azriel dan mengarahkan tatapan anak itu padanya. Ia sedikit merendahkan tubuhnya agar dapat melihat wajah Azriel dengan lekat. Jangan di tanyakan lagi bagaimana respon Azriel saat ini, anak itu tentunya merasa takut saat Zayn menatapnya seperti sekarang.
"Katakan yang jujur, apa yang telah terjadi?" Azriel menundukkan kepalanya, ia memainkan jari-jemarinya dengan perasaan gelisah.
Zayn sedikit gemas, ia menangkup wajah Azriel agar anak itu fokus menatapnya. "Om tahu, Om hanyalah ayah sambungmu. Tapi sekarang, anggaplah kita teman. Om tidak akan menyakitimu, begitu pun denganmu. Kalau kamu jujur, Om akan membantumu." Ujarnya.
"A-Azriel habis memecahkan piring, tolong jangan marah. Azriel sudah membersihkannya, jangan pukul Azriel hiks ...." Seru Azriel dengan air mata yang luruh di pipinya.
Zayn menegakkan tubuhnya, pria itu menghela nafas berat. Hanya karena persoalan piring pecah, kenapa Azriel setakut itu? Apakah trauma yang di alaminya sangat dalam? Apakah Shea juga mengerti tentang trauma anaknya saat ini? Ketakutan Azriel pada suatu hal yang sepele, sangat berlebihan dan ini tidak bisa di biarkan.
Zayn berjalan cepat menuju lemari, ia mengambil lima piring dari sana dan membawanya mendekat ke arah Azriel. "Ayo ikut Om!" Azriel ketakutan saat Zayn menarik tangannya. Anak itu hanya diam menurut, walaupun air matanya tak henti turun.
Azriel merasa takut, saat Zayn membawanya ke belakang rumah. Sampai, langkah Zayn terhenti setibanya ia berada di sudut rumah dekat dengan pintu gudang. Di sana, Zayn melepaskan tangan Azriel, dia lalu meletakkan kelima piring ya ia bawa di lantai.
"Mommy hiks ... mommy ...." Azriel menangis lirih, tubuhnya gemetar hebat saat ini.
Zayn seakan menulikan pendengarannya, ia menghiraukan tangisan Azriel. Pria itu lalu mengambil satu piring dan memberikannya pada anak laki-laki tersebut. "Lempar!" Titahnya dengan tatapan serius.
Azriel menghentikan tangisnya, anak itu langsung mengunci mulutnya rapat. D4danya terlihat kembang kempis, dia mengira jika Zayn marah karena dia menangis. Karena tak mendapat respon dari Azriel, Zayn langsung melempar piring itu ke dinding.
PYAR!!
Tentunya, Azriel sangat syok. Raut wajahnya terlihat pucat, matanya menatap ke arah pecahan piring yang berserakan di lantai. Posisi mereka memang jauh dari dinding, apalagi Zayn melemparnya dengan penuh kehati-hatian agar Azriel tak terkena pecahan piring itu.
"Kau mau mencoba melemparnya?" TAnya Zayn seraya tersenyum lembut pada anak itu.
Azriel menggeleng kaku, dia masih syok dengan apa yang terjadi di depannya. Tak sampai di sana, Zayn kembali melempar piring itu ke tembok. Azriel benar-benar mengamati nya, tatapannya langsung beralih menatap wajah Zayn yang terlihat sangat ceria.
Zayn mengambil satu piring kembali, lalu ia menyerahkannya pada Azriel. "Ayo, lakukan. Ini sangat menyenangkan." Pintanya.
Dengan ragu, Azriel mengambil piring itu. Lalu, ia melemparnya ke dinding. Tanpa di duga, bibir Azriel melengkungkan sebuah senyuman tipis. Tampaknya, ia mulai mengerti maksud Zayn. Melihat ekspresi anak itu saat ini, membuat Zayn juga turut tersenyum. Ia kembali mengambilkan piring untuk Azriel, dan anak itu kembali melemparnya.
Setelah piring yang ke lima pecah, Azriel menghela nafas panjang. Anak itu beralih kembali menatap Zayn yang menatapnya dengan senyuman lembut. Kemudian, dia memejamkan matanya sejenak saat daddy sambungnya itu mengusap kepalanya.
"Ayo, kita bersihkan." Ajak Zayn.
Azriel mengangguk, ia turut membantu Zayn membersihkan bekas pecahan tadi. Tentunya, Zayn tak membiarkan Azriel mengambil pecahan beling itu. Ia hanya meminta Azriel mengambilkan plastik dan juga sapu. Keduanya terlihat jauh lebih dekat dari sebelumnya.
"Maaf tuan, ini ada paket dari kurir." Seorang bodyguard datang dengan membawa sebuah kardus berukuran sedang di tangannya.
"Oh iya, terima kasih."
Zayn mengajak Azriel kembali ke dapur, lalu pria itu membuka kardus yang ia bawa tepat di hadapan anak tampan itu. Dengan tatapan bingung, Azriel mengamati apa yang sedang Zayn lakukan.
"Om sudah memesankan piring yang sama persis seperti yang kita pecahkan tadi." Terang Zayn.
Pria tampan itu membawa ke enam piring yang ia beli dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu, ia berbalik mendekati Azriel. Tanpa izin darinya, Zayn langsung menggendong anak menggemaskan itu dan membawanya mendekat ke arah lemari piring tersebut.
"Sekarang, coba hitung. Apa ada piring yang berkurang?" Tanya Zayn.
Azriel mencoba menghitung piring itu, awalnya ia memecahkan satu di tambah dengan lima piring yang keduanya pecahkan. Setelah menemukan jawabannya, Azriel beralih menatap Zayn yang tersenyum padanya. Seolah, pria itu tahu pasti jawaban anak laki-laki itu.
"Dengar ...." Zayn mendudukkan Azriel di meja dapur dan menatap anak itu dengan tatapan lekat.
"Jangan pernah takut! Kamu seorang pria, besar nanti kau akan menjadi seorang pemimpin. Laki-laki sejati tidak akan pernah lepas dari tanggung jawab. Apa yang kamu lakukan tadi sudah benar, membereskan kesalahan yang kamu buat. Tak ada salahnya kamu mengakui kesalahanmu, mommy pasti tahu jika kamu tidak sengaja." Azriel hanya mendengarkan Perkataan Zayn dengan seksama.
"Piring pecahnya bisa di bereskan gak? Bisa di ganti yang baru? Sekarang, apa ada piring yang pecah? Kenapa harus takut hm?" Lanjut Zayn.
"Maaf, aku salah." Lirih Azriel seraya menundukkan kepalanya.
Zayn tersenyum, ia menepuk pelan kepala anak itu. "Kalau kamu tak sengaja berbuat salah, kamu harus ...,"
"Berani mengatakan maaf dan membereskannya. Tidak perlu takut, karena Om yang akan mengganti kerugiannya."
"Eh?! Perasaan gak gitu deh." Batin Zayn merasa aneh dengan jawaban anak itu.
___
yg penting suaminya yg niat