Lusi, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Lusi berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Restu Ibu
Episode 35: Setelah presentasi rencana masa depan mereka, Ibu Rangga masih ragu, tetapi mulai melunak. Ia meminta waktu untuk mempertimbangkan semuanya. Rangga dan Lusi menunggu dengan sabar, tetap memperlihatkan cinta dan komitmen mereka.
Beberapa hari setelah presentasi, Rangga dan Lusi mengunjungi rumah keluarga Rangga lagi. Suasana kali ini lebih santai. Ibu Rangga menyambut mereka dengan senyum yang lebih ramah, walaupun masih terlihat sedikit ragu di matanya.
"Rangga, Lusi," kata Ibu Rangga, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. "Aku telah memikirkan semuanya. Kalian telah menunjukkan keseriusan kalian, dan aku melihat rencana kalian memang matang."
Rangga dan Lusi saling berpandangan, merasakan secercah harapan.
"Namun," lanjut Ibu Rangga, "aku masih perlu waktu untuk mempertimbangkan semuanya. Ini bukan keputusan yang mudah bagiku."
Rangga mengangguk mengerti. "Kami mengerti, Bu. Kami akan menunggu dengan sabar."
Lusi menambahkan, "Kami akan selalu menunjukkan cinta dan komitmen kami. Kami akan selalu ada untuk satu sama lain, dan untuk keluarga ini."
Ibu Rangga tersenyum kecil. "Terima kasih, Lusi. Kalian berdua telah menunjukkan bahwa cinta kalian memang tulus."
Rangga dan Lusi pulang dengan perasaan lega. Meskipun belum mendapatkan restu sepenuhnya, mereka telah membuat kemajuan yang signifikan. Ibu Rangga telah melunak, dan mereka yakin bahwa dengan terus menunjukkan cinta dan komitmen mereka, mereka akan mampu mendapatkan restu sepenuhnya.
Mereka akan terus menunggu dengan sabar, tetap memperlihatkan cinta dan komitmen mereka kepada keluarga Rangga. Mereka percaya bahwa waktu akan membuktikan ketulusan cinta mereka. Mereka akan terus berjuang, dengan harapan bahwa suatu hari nanti, keluarga Rangga akan menerima mereka sepenuhnya.
Beberapa minggu kemudian, Rangga dan Lusi kembali mengunjungi rumah keluarga Rangga. Kali ini, suasana terasa berbeda. Terasa lebih hangat dan penuh dengan keceriaan. Ibu Rangga menyambut mereka dengan pelukan hangat.
"Rangga, Lusi," kata Ibu Rangga, suaranya bergetar karena emosi. "Aku telah memikirkan semuanya dengan sangat matang. Aku melihat ketulusan cinta kalian berdua. Aku melihat keseriusan kalian dalam membangun masa depan."
Air mata mulai membasahi pipi Lusi. Ia merasa sangat lega dan bahagia.
"Aku menerima kalian berdua," lanjut Ibu Rangga, suaranya penuh dengan kasih sayang. "Lusi, kau sekarang bagian dari keluarga kami."
Rangga memeluk ibunya dengan erat. "Terima kasih, Bu. Kami sangat bahagia."
Lusi juga memeluk Ibu Rangga, mengucapkan terima kasih dengan suara bergetar. Ia merasa sangat bersyukur dan bahagia. Perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil. Mereka telah berhasil memenangkan hati Ibu Rangga.
Suasana makan malam terasa sangat meriah. Keluarga Rangga menyambut Lusi dengan hangat, menunjukkan penerimaan dan kasih sayang mereka. Rangga dan Lusi merasa sangat bahagia dan lega. Mereka telah melewati banyak rintangan, namun akhirnya mereka bisa bersama.
Mereka siap untuk memulai babak baru dalam hidup mereka, babak baru yang dipenuhi dengan cinta, kebahagiaan, dan dukungan dari keluarga. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun mereka akan selalu bersama, saling mendukung, dan menghadapi segala tantangan bersama-sama. Mereka telah membuktikan bahwa cinta mereka mampu mengatasi segala perbedaan dan rintangan.
Suatu sore, Rangga dan Lusi duduk di meja makan, dikelilingi oleh buku-buku katalog vendor pernikahan dan lembaran-lembaran kertas berisi catatan. Mereka sedang berdebat tentang tema pernikahan.
"Aku tetap ingin tema rustic, Sayang," kata Rangga, menunjuk ke sebuah foto di katalog yang menampilkan dekorasi pernikahan dengan nuansa kayu dan bunga-bunga liar.
Lusi menggelengkan kepala. "Rustic itu terlalu sederhana, Rangga. Bagaimana kalau tema garden party? Lebih elegan dan sesuai dengan keluarga kamu." Ia menunjuk ke foto lain yang menampilkan dekorasi pernikahan yang lebih mewah dengan banyak lampu dan bunga-bunga yang tertata rapi.
Rangga mengerutkan dahi. "Tapi aku suka yang natural, Sayang. Lebih dekat dengan alam."
"Tapi garden party lebih mewah, lebih... Instagrammable!" Lusi menekankan kata terakhir dengan penuh semangat.
Rangga tertawa. "Jadi, kamu mau pernikahan kita lebih Instagrammable daripada romantis?"
Lusi terbahak-bahak. "Ya, aku juga mau romantis, tapi foto-fotonya harus bagus juga, kan?"
Mereka berdebat lagi beberapa saat, sampai akhirnya mereka menemukan solusi kompromi: tema garden rustic. Mereka akan menggabungkan unsur-unsur natural dengan sentuhan elegan.
Kemudian, mereka beralih ke daftar tamu. Lusi memegang sebuah buku alamat yang tebal.
"Rangga, sepupu ke-tujuh kamu dari pihak Ibu itu harus diundang, kan?" tanya Lusi, suaranya sedikit ragu.
Rangga tersedak minumnya. "Sepupu ke-tujuh? Yang suka memelihara ayam kampung itu? Sayang, daftar tamunya sudah hampir 200 orang!"
Lusi tertawa. "Ya, tapi kan keluarga kamu besar. Kita harus mengundang mereka semua."
Rangga menghela napas. "Baiklah, tapi kita harus cari gedung yang lebih besar lagi!"
Mereka kembali tertawa. Proses perencanaan pernikahan memang melelahkan, namun juga menyenangkan dan penuh dengan momen-momen lucu yang akan menjadi kenangan indah bagi mereka berdua. Mereka berdua belajar untuk berkompromi dan saling memahami, membuat ikatan mereka semakin kuat.