Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Mario membuka pintu mobil dan membopong tubuh mungil Renaya keluar. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati, tak ingin membangunkan kekasihnya yang sudah terlihat sangat lelah.
Renaya sedikit bergerak dalam pelukannya, tapi tidak sepenuhnya terbangun. Mario tersenyum lembut sambil berjalan menuju pintu masuk apartemen. Di dalam, suasana tenang menyelimuti lorong menuju lift, hanya suara langkah kaki Mario yang terdengar. Dia menekan tombol lift dan menunggu dengan sabar hingga pintu terbuka.
Begitu lift terbuka, Mario melangkah masuk dengan Renaya masih dalam dekapannya, menuju lantai tempat mereka tinggal. Saat lift bergerak naik, ia sesekali melirik wajah kekasihnya yang tertidur
Setelah sampai di lantai tujuan, pintu lift terbuka dengan suara lembut, dan Mario melanjutkan perjalanannya menuju pintu apartemen mereka. Dengan cekatan, ia membuka pintu tanpa membangunkan Renaya, dan membawanya masuk ke dalam kamar tempat dimana mereka biasa tidur bersama. Mario merebahkan tubuh sang kekasih dengan perlahan di ranjang supaya tidak terbangun, kemudian membantu melepaskan sepatunya, dan menyelimutinya, tak lupa sebuah kecupan lembut mendarat di kening Renaya.
“Tidur yang nyenyak, sayang,” bisiknya.
Mario berjalan menuju sofa di ruang tamu, duduk dengan santai sambil meraih ponselnya. Ia membuka akun media sosialnya, jempolnya bergerak cepat di layar. Entah mengapa, pikirannya kembali tertuju pada pertemuan singkatnya dengan Bella di jalan tadi. Tanpa sadar, ia mencari nama itu di kotak pencarian: Bella Savera.
Saat hasilnya muncul, ia mengetuk akun yang muncul paling atas, dan di sana terpampang beberapa foto Bella—wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Foto-foto itu memperlihatkan sosok Bella yang masih saja memikat, seperti yang ia ingat. Senyuman Bella yang dulu pernah membuat hatinya berdebar kini terasa asing dan jauh.
Mario tersenyum samar, menatap layar. "Kamu masih saja cantik, Bella," bisiknya pada dirinya sendiri. Namun senyum itu tak lama bertahan. Sebuah bayangan masa lalu kembali mengusik pikirannya. "Sayangnya, kamu mengkhianati aku," lanjutnya pelan, suara batinnya dipenuhi oleh perasaan kecewa yang masih tersisa.
Mario masih duduk di sofa dengan pikiran yang bergelora, menatap layar ponselnya yang menunjukkan foto-foto Bella. Pikirannya kemudian melayang ke Renaya, dan ia memandang tas yang dibawa kekasihnya tadi. Rasa penasaran membuatnya mengambil tas tersebut dan membuka ponsel Renaya yang ada di dalamnya.
Dengan hati-hati, Mario membuka aplikasi WhatsApp dan mulai menelusuri pesan-pesan di ponsel Renaya. Beberapa pesan sudah terbaca dan dibalas, tetapi salah satu pesan menarik perhatiannya. Pesan itu berasal dari Arnold, yang Mario tahu adalah ayah Renaya.
Pesan dari Arnold berbunyi: “Renaya sayang, Papi sedang di Paris, kamu minta oleh-oleh apa, sayang?”
Renaya membalas dengan singkat: “Belikan tas saja, Pi.”
Mario membaca pesan tersebut dengan perasaan campur aduk. Ia menutup ponsel Renaya dan meletakkannya kembali di dalam tas, kemudian memandang layar ponselnya sendiri. “Pantas saja Bella bisa keluyuran bebas malam, suaminya sedang di Paris,” pikir Mario dengan nada sinis, menyadari bahwa situasi yang dilihatnya tadi malam mungkin tidak seperti yang terlihat pada pandangan pertama.
Setelah menaruh ponsel Renaya kembali di tasnya, Mario perlahan-lahan naik ke ranjang. Dia duduk di samping kekasihnya yang tertidur sangat nyenyak, wajah Renaya tampak damai dan tenang. Dengan lembut, Mario merentangkan tangannya dan memeluk Renaya dari belakang, merasakan kehangatan tubuhnya yang nyaman.
Dia memandang wajah Renaya dengan penuh kasih sayang, meresapi setiap detail dari ekspresi yang cerah meskipun sedang tidur. “Aku tidak akan membiarkan kamu sendiri, baby,” bisiknya lembut, suaranya penuh dengan ketulusan. “Aku akan selalu menemanimu. Suatu saat aku pastikan kita akan menikah, sekalipun mungkin Arnold, tidak akan pernah setuju dengan hubungan kita.”
Mario memeluk Renaya lebih erat, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya memejamkan mata, siap untuk tidur di samping orang yang sangat dicintainya.
Pagi itu, Renaya bangun lebih awal dari Mario, seperti biasanya, dan memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana di dapur. Suasana pagi yang cerah menyelimuti apartemen, dan aroma kopi serta roti panggang mulai memenuhi udara. Renaya sibuk mempersiapkan sarapan, senyumnya terlihat cerah meskipun masih setengah mengantuk.
Sementara itu, Mario yang baru terbangun merasakan aroma sarapan dan beranjak dari tempat tidur. Dengan langkah santai, ia menuju ke dapur dan menemukan Renaya yang sedang sibuk di sana. Tanpa ragu, Mario mendekat dan memeluk Renaya dari belakang, menikmati kehangatan tubuhnya.
“Kenapa tidak membangunkan aku, Baby?” Mario bertanya lembut, suaranya penuh kehangatan dan kekaguman. “Daddy tidurnya nyenyak banget ya!?”
Renaya menoleh sedikit, tersenyum manis saat merasakan pelukan Mario. “Aku tahu kamu lelah, Daddy. Aku pikir biarkan kamu tidur sedikit lebih lama,” jawabnya lembut, sambil melanjutkan menyiapkan sarapan.
Mario menyandarkan dagunya di bahu Renaya, merasakan kedekatannya yang menyenangkan. “Terima kasih, sayang,” katanya sambil memeluknya lebih erat. “Sarapan ini pasti enak sekali, seperti kamu.”
Renaya tertawa kecil, merasa bahagia dengan perhatian Mario. “Ayo, duduklah. Sarapan siap,” ujarnya sambil menyajikan hidangan di meja. Mereka berdua duduk bersama, menikmati sarapan pagi yang sederhana itu.
Setelah mereka selesai sarapan, Mario dan Renaya duduk bersama di meja, menikmati sisa-sisa makanan dan berbicara ringan. Mario, penasaran tentang rencana Renaya hari itu, bertanya sambil memandangi kekasihnya dengan penuh perhatian.
“Jadi, hari ini libur kuliah kan? Mau kemana?” tanya Mario, mencoba memahami apa yang ada di rencana Renaya.
Renaya tersenyum, menatap Mario sambil mengaduk cangkir kopinya. “Mau pulang ke rumah sebentar, Dad. Daddy mau ikut?”
Mario tampak mengerutkan keningnya, ekspresinya menunjukkan ketidaksetujuan yang samar. “Mau apa pulang ke rumah? Kenapa?”
Renaya menghela napas kecil, menyadari kekhawatiran Mario. “Papi sedang di Paris,” jelasnya, “Aku di minta Mbok Sanah ke rumah karena, biasalah... istri muda Papi, kata si mbok, pulang pagi entah dari mana.”
Mario mengerutkan dahi, perasaan cemburu dan rasa tidak nyaman mulai timbul. “Oh, jadi ada masalah di rumah?” tanyanya dengan nada sedikit prihatin.
Saat Mario dan Renaya bersiap untuk berangkat, Renaya melanjutkan percakapan dengan Mario, mengungkapkan sedikit kekhawatirannya tentang situasi di rumahnya.
“Tante Bella itu sebenarnya baik dan lembut,” kata Renaya, “tapi kalau nggak ada Papi, kok kayaknya bebas banget. Mbok Sanah jadi takut, Dad.”
Mario mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan kepedulian. “Jadi, ada ketegangan antara Tante Bella dan Mbok Sanah, ya?” tanyanya sambil mengemudikan mobil menuju rumah Renaya.
Renaya mengangguk. “Iya, sepertinya begitu. Mbok Sanah bilang Tante Bella lebih berani melakukan hal-hal yang tidak biasa ketika Papi tidak ada di rumah. Dia merasa tidak nyaman dan khawatir tentang apa yang mungkin terjadi.”
Mario menghela napas panjang, merasa beban tanggung jawab yang tidak ringan. Dengan nada yang penuh keputusan, ia berkata, “Kalau begitu, Daddy ikut saja ke rumahmu. Toh lagi nggak ada Papi kamu!”
Renaya menoleh ke arah Mario, terkejut namun juga merasa lega. “Benar, Dad? Terima kasih! Aku merasa lebih tenang kalau kamu ada di sana.”
Mario mengangguk, ekspresinya menunjukkan ketulusan dan kepedulian. “Tentu saja, Baby. Aku ingin memastikan kamu dan Mbok Sanah merasa aman. Kita hadapi ini bersama-sama.”
Mario membawa mobilnya menuju sebuah kawasan perumahan elite, di mana rumah-rumah mewah berdiri megah dengan harga milyaran rupiah. Ia memasuki salah satu gerbang rumah yang memiliki desain yang sangat elegan, lalu memarkirkan mobilnya di area parkir pribadi.
Renaya segera turun dari mobil dan melangkah menuju rumah dengan langkah cepat, disusul oleh Mario yang mengikuti di belakangnya. Mereka memasuki rumah yang sangat luas dan bergaya modern, dengan interior yang menawan. Begitu masuk ke dalam, mereka disambut oleh Mbok Sanah, yang sudah menunggu di ruang tamu.
“Non, akhirnya datang juga,” kata Mbok Sanah dengan nada lega, wajahnya menunjukkan campuran rasa senang dan khawatir.
Renaya tersenyum dan menghampiri Mbok Sanah. “Tante Bella mana, Mbok?”
Mbok Sanah menjawab, “Ada di kamarnya. Tapi...” dia terhenti sejenak, tampak ragu.
Belum sempat Renaya melangkah lebih jauh menuju tangga untuk naik ke lantai dua, sebuah suara lembut terdengar dari arah tangga. “Tumben kamu pulang, Ren?”
Renaya menatap Bella. “Ada barang yang mau aku ambil, Tante,” katanya, lalu langsung menaiki tangga menuju lantai dua dan masuk ke kamarnya tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut.
Mario berdiri di ruang tamu, matanya tetap tertuju pada Bella dengan ekspresi terlihat dingin. Setelah Renaya pergi, dia melangkah mendekati Bella,“Ternyata kamu tidak pernah berubah di balik sikap lembutmu, Bel.”
jadi wajib baca dan masuk rak.