Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Yang Kacau
Malam ini, mansion megah keluarga Arvin penuh dengan suara musik klasik yang mengalun lembut, bercampur tawa para tamu yang memenuhi aula utama.
Pesta ulang tahun Lunaira kini digelar meriah. Dekorasi serba pink dan emas, lengkap dengan balon unicorn, membuat ruangan terlihat seperti kerajaan peri.
Namun di tengah kemegahan itu, Selvira, istri pertama Arvin, dan putri kecilnya, Vara, menjadi pusat perhatian tersembunyi.
Selvira, wanita anggun bergaun biru sederhana namun elegan berjalan turun dari lantai tiga dengan putrinya, Vara, yang mengenakan gaun biru mungil dengan pita biru.
Meski baru berusia tiga tahun, Vara memiliki pembawaan yang membuat orang sulit mengalihkan pandangan.
Terlihat Arvin dan Amara yang sedang berbincang dengan para tamu, seketika menoleh ke arah ibu dan anak itu.
Hubungan Arvin dan Selvira memang semakin renggang, bahkan keduanya sangat jarang bertemu.
Awalnya Vara ingin mengajaknya keluar dari rumah itu, setelah insiden malam itu. Namun, Selvira menolaknya dengan lembut dan mengatakan akan menyelesaikan masalahnya.
Saat tiba di aula utama, Amara mendekati Selvira dengan senyum yang tampak terlalu lebar, diikuti oleh Lunaira yang melangkah anggun dengan gaun penuh payet.
"Mbak Selvira, akhirnya kau datang juga. Aku hampir khawatir kau terlalu sibuk untuk menghadiri acara sebesar ini," kata Amara dengan nada yang jelas bermaksud menyindir.
"Tentu saja, Mbak Amara. Aku tidak akan melewatkan ulang tahun Lunaira. Vara juga sangat bersemangat untuk hadir, bukan begitu, sayang?" Selvira menoleh ke Vara.
Vara mengangguk polos, menatap Lunaira dengan senyum manis. Tapi dalam hatinya mengomel.
Males banget hadiri pesta yang diisi para manusia bermuka dua! batin Vara.
"Celamat ulang tahun, Kak Lunaila! Pecta ini indah sekali. Apa Kak Lunaila yang mendecain cemua ini?" tanya Vara polos.
Lunaira terkejut, tidak menyangka pertanyaan seperti itu dari anak sekecil Vara.
"Eh, tidak. Mama yang mengurus semuanya," jawab Lunaira sinis.
Beberapa tamu berdecak kagum melihat penampilan Vara yang sangat cantik. Mereka bahkan memuji Vara dan bertanya siapa gerangan anak itu..
Lunaira, merasa terganggu dengan perhatian yang mulai beralih ke Vara, mencoba mengembalikan sorotan pada dirinya sendiri.
"Mama, tadi aku menunjukkan pada teman-teman kalau aku bisa membaca cerita dengan lancar. Semua orang bilang aku sangat pintar!" katanya bangga.
Cih! Mau pamer nih! batin Vara.
Amara tersenyum lebar merasa punya kesempatan. "Tentu saja, sayang. Kau memang anak yang luar biasa. Vara pasti tidak tahu apa-apa soal membaca, kan? Padahal di usia Lunaira saat tiga tahu, dia sudah pintar mengenal huruf," sahutnya sombong.
Dih! Emak-emak kayak gini nih suka membanding-bandingkan anak orang! Perlu diberi pelajaran ini! batin Vara.
Vara memiringkan kepala, tersenyum kecil. "Aku juga cudah bica membaca celita tapi aku lebih cuka mendengalkan celita mama cebelum tidul, Kak Lunaila, celita favolit Kakak apa?" tanyanya.
"Um ... aku suka Putri Salju. Kau tahu cerita itu, kan? Pasti tidak!" Lunaira menjawab sombong.
"Tentu aja aku tahu. Tapi apakah Kakak tahu kalau celita Putli Calju peltama kali belasal dali Jelman? Nama aslinya Schneewittchen. Altinya 'putli dengan kulit ceputih calju." Vara berbicara seperti orang dewasa.
Lunaira melongo, tidak tahu harus berkata apa. Para tamu yang sebelumnya meremehkan Vara mulai memandangnya dengan takjub.
Ibu bergaun merah berceletuk, "Anak ini luar biasa. Bagaimana bisa dia tahu hal seperti itu di usia tiga tahun?"
Bisik-bisik kagum mulia terdengar, bahkan Arvin merasa takjub dengan putrinya Vara. Tapi dia tak berani mendekat, apalagi dia memiliki kolega bisnis yang datang.
Amara, yang merasa posisi Lunaira terancam, mencoba mengalihkan perhatian.
"Yah, semua anak punya bakat masing-masing. Tapi Lunaira jelas lebih unggul dalam hal seni. Sayang, kenapa tidak tunjukkan tarian yang kau pelajari?"
Dih! Baru segitu udah merasa sombong! batin Vara
Namun sebelum Lunaira sempat bergerak, Vara melangkah maju.
"Ibu Amala, aku juga cuka ceni. Apakah Kak Lunaila tahu cala melukis dengan cat ail? Aku balu caja menyelecaikan lukican bunga untukmu cebagai kado dali aku!"
Amara terdiam. Ia tahu bahwa Lunaira hampir tidak pernah memegang kuas. Bahkan Lunaira juga ikut terdiam.
Amara segera mengalihkan perhatian, dia tak ingin kalah. Jadi, dia masih berusaha untuk menjatuhkan Selvira bersama anaknya.
"Selvira, aku selalu kagum dengan caramu menjaga kedudukan di rumah ini meskipun … ya, keadaan sudah berbeda. Rasanya sulit, bukan, tinggal sebagai bagian kecil dalam rumah tangga yang besar ini?!" suara Amara terdengar merendahkan.
Beberapa tamu di sekitar mereka tertawa kecil, ikut menambah rasa tidak nyaman. Mereka tidak menyangka jika Selvira dan putrinya orang ketiga dalam hubungan Amara bersama sang suami, Arvin.
Mereka juga berpikiran jika Selvira dan anaknya hanya menumpang disini. Apalagi Arvin terlihat sangat memanjakan Amara.
Seorang tamu, wanita bergaun merah dengan anting berlian besar, mendekati mereka.
"Oh, jadi ini Selvira dan putrinya? Kupikir mereka lebih suka tinggal di tempat yang lebih ... sederhana." Wanita itu menutup mulutnya sambil terkekeh kecil.
"Tentu saja. Maksudku, tidak mudah menjadi tamu permanen di rumah milik orang lain, 'kan?" sahut wanita bergaun hijau.
"Seharusnya dia dan putrinya merasa segan, apalagi dia hanyalah orang ketiga dalam rumah tangga, nyonya Amara dan tuan Arvin!" sahut yang lain sinis.
Wah! Nih orang perlu di lem mulutnya! batin Vara geram.
Para tamu tertawa lagi, sementara Amara tersenyum puas. Selvira tetap tenang, tapi Vara memandang para tamu itu dengan mata tajam yang penuh kecerdasan.
"Tante, kalau ceceolang tinggal di lumahnya cendili, apakah itu belalti meleka tamu?" tanya Vara dengan nada polos.
Tamu bergaun merah terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
Vara kembali melanjutkan ucapannya, "Aku dengal dali oma Lena Mahaldika, lumah ini dibangun atas nama Mama Celvila cebelum aku lahil. Jadi cebenalnya, ciapa yang menumpang?"
"Apalagi, Mama cebagai istli peltama tentu mendapatkan kedudukan yang lebih baik. Dibandingkan istli kedua yang hanya numpang belsama anaknya!" ucap Vara pedas.
Keheningan tiba-tiba menyelimuti kelompok itu. Selvira menahan senyum, sementara Amara tampak tidak nyaman dan juga sangat geram.
Orang-orang mulai berbisik tentang kebenaran itu, mereka terkejut setelah tahu jika teman mereka Amara adalah istri kedua
"Ayo sayang! Sepertinya acara tiup lilin dimulai!" Amara lebih menghindar dan mencoba mengalihkan perhatian.
Kedua ibu dan anak itu naik ke panggung diikuti oleh Arvin. Tapi yang membuat mereka panas, karena Amara diam-diam di cibir oleh tamu.
Mereka tidak menyangka jika Amara lah yang istri kedua, dan menjadi benalu di rumah tangga Selvira dan Arvin.
Belum acara inti masuk, mereka tiba-tiba pulang semua sambil mengajak anak-anak mereka. Tentu membuat Amara dan putrinya syok. Sedangkan Arvin tidak tahu harus berkata apa.
Amara langsung menghalangi mereka semua, membuat para tamu mendelik sinis.
"Nyonya-nyonya dan Tuan-tuan! Acara belum selesai, kenapa kalian ingin pulang?" tanya Amara lembut.
"Maaf Nyonya Amara! Kami tidak ingin anak kami berteman dengan anak seorang pelakor! Takut anak kamu juga sama sifatnya seperti ibunya!" ucap wanita bergaun merah.
Amara mencoba menahan amarahnya. "Lho, tunggu —"
Mereka segera melangkah keluar, tanpa mendengar ucapan dari Amara. Membuat wanita itu merasa frustasi. Lunaira kini sudah menangis.